SEJARAH HIDUP AL-ASY'ARI

Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari.Datuknya, Abu Musa Al-Asy’ari merupakan salah satu shahabat terkemuka. Menurut beberapa riwayat, Abul Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H / 935 M.

Menurut ibnu Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan merupakan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada shahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari.

Sepeninggal Isma’il bin Ishaq, ibunda Ali bin Isma’il menikah dengan Al-Jubba’i, seorang Mu’tazilah terkemuka, ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i. Al-Jubba’i mendidik Ali bin Isma’il menjadi tokoh Mu’tazilah.

Pada usia 40 tahun, Abul Hasan Al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, beliau diperingatkan Rasulullah agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Konsep Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang berkembang hingga saat ini banyak berpijak kepada konsep yang disusun oleh Imam Al-Asy’ari atau pun Imam Al-Maturidi. Walau ada beberapa perbedaan, namun konsep mereka sangat mirip.

Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya

Abul Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan Mu’tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat, tetapi Substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.

Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan Mu’tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara ta’wil (berbeda dengan mujassimah dan musyabbihah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

Akal dan Wahyu

Walaupun Al-Asy’ari dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari aqal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan aqal.

Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada aqal.

Keadilan

Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Namun Al-Asy’ari tidak setuju bahwa Allah harus berbuat adil, sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun terhadap makhluq, karena Dia adalah Penguasa Muthlaq.

Kedudukan Orang Berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu dari keduanya. Jika tidak mu`min, maka ia kafir. Mu`min yang berbuat dosa besar adalah mu`min yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa, kecuali oleh kafir haqiqi.

1 komentar:

  1. Mesti di kaji dan bahas sampai menemukan titik bahwa akidah asy'ari adalh benar tidak menyimpang dari alqur'an dan hadits dengan hukum akal tentunya. Kalau tidak maka kita hanya silau dengan kebesaran Asy'ari.. bahs tauhid asy'ari dengan benar!! Wajib mustahil jaiz akli...
    karena akidah asy'ari bukanlah sebuah pendapat yang siapapun boleh tidak sependapat..Haihata.......

    BalasHapus

Silahkan Komentar dengan tidak mengurangi rasa hormat dan tetap menjaga etika