SEJARAH HIDUP IBNU 'ATHAILLAH

Ibnu ‘Atha’illah lahir di Mesir pada pertengahan abad ke 7 H./ke-13 M, nama lengkapnya adalah Tajuddin Abu Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Abdul Karim Ibnu ‘Atha’illah al-Judzami al-Maliki al-Iskandar Ibnu Farhun. sejauh data yang ada, dan ia wafat ditempat yang sama pada tahun 709 H./1309 M. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di Mesir. Dibawah pemerintahan Mamluk, meski menjadi pusat agama dan pemerintahan dunia Islam belahan timur setelah kekhalifahan Baghdad hancur pada tahun 656 H./1258 M.

Data mengenai awal kelahiran Ibnu ‘Atha’illah dan ketika ia dilahirkan sangat minim, tidak ada sumber secara pasti menyebutnya, meski dapat dikatakan secara masuk akal bahwa ia lahir sekitar pertengahan abad ke –7 H./ke 13 M. Ia lahir di keluarga terhormat penganut mazhab Maliki dari Iskandaria.

Sejak Awal Ibnu ‘Atha’illah di persiapkan untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Imam Malik. Ia mempunyai guru-guru terbaik di semua disiplin ilmu hukum, seperti disiplin Ilmu tata bahasa, hadits, tafsir al-Qur’an, teologi Asyariyah, dan juga litelatur arab pada umumnya. Kemampuannya dalam mazhab Maliki segera menyedot perhatian banyak orang terhadapnya dan tidak lama kemudian para tokoh Iskandaria yang ada pada masa itu membandingkannya dengan sang kakeknya yang bernama Abdul Karim Ibnu ‘Atha’illah yang terkenal itu sebagai faqih (ahli hukum). Ia mengikuti dari salah satu dari sekolah-sekolah agama atau madrasah-madrasah, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang ayubiyah di Iskandaria untuk studi hukum. Ia mempelajari hukum, khususnya pada aspek-aspek mazhab Maliki.

Mazhab Maliki adalah mazhab Fiqih (hukum Islam) yang dominan di wilayah Maghribi (Maroko) dan telah mengakar lama di Iskandaria kendati sebagian besar orang-orang Mesir menganut Mazhab Syafi’I . Hal ini karena letak wilayah Iskanadria adalah persimpangan jalan antara Masyriq dan Maghrib. Banyak orang maghrib yang menetap di Iskandaria karena suasana disana sangat dan menyenangkan. Dalam perkembangan berikutnya, kota pelabuhan itu, memberi corak Mazhab Maliki dan bahkan suasana khas Maghribi. Hal ini mempertegas orentasa keberagaman di wilayah tersebut dimana mazhab Maliki tertanam di wilayah tersebut; tertanam pada dinasti Bani Ibnu ‘Atha’illah dan demikian pula pada Ibnu ‘Atha’illah.

Gerakan-gerakan yang terjadi pada masa sufisme, salah satunya berlangsung tidak lama berselang dengan kelahiran Ibnu ‘Atha’illah, sehingga gerakan sufisme itu sangat berpengaruh terhadap masa depan spiritual Ibnu ‘Atha’illah. Abu Hasan al-Syadzili mendirikan zawiyah pertamanya di Tunis pada tahun 625 H./1227 M. setelah berhasil di sana ia punya satu pandangan yang mendorongnya untuk pergi ke arah timur. Jadi, Iskandaria, akhirnya menjadi pusat tarekatnya di tahun 645 H/ 1244 M, hanya sekitar enam tahun dari tanggal kelahiran Ibnu ‘Atha’illah. Di Iskandaria dibangun menara-menara besar. Menara itu menjulang tinggi dan disalah satu menara itu, Abu Hasan al-Syadzili menjalankan tugasnya sebagai guru, disitu dijadikan sebagi pusat pengajaran keduanya, bahkan di Kairo, ditengah-tengan kerajaan, ia mencapai kesuksesan yang luar biasa.

Tarekatnya tergolong sebagi tarekat yang mempunyai ciri khas sebagaimana ajaran Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat beliau secara murni, karena para tokohnya tidak menggunakan baju yang berbeda dalam memahami dan mengimplikasikan ajaran nabi Saw. Dengan kata lain Abu Hasan al-Syadzili mengajarkan murid- muridnya untuk mengintergrasikan keseharian mereka dalam tarekat secara khusyu’ dan cermat, bakhan ia tidak suka mengabsahkan calon murid jika ia punya profesi.
Ma’rifat merupakan pandangan tarekatnya. Sebagaimana para guru lain sebelumnya, ia menegaskan bahwa orang-orang yang memiliki kemampuan ma’rifat tidak direduksi pada orang-orang Zuhhaad belaka atau para ahli ibadat, meski Zuhhaad dan para ahli ibadat merupakan unsur dalam tarekatnya.

Abu Hasan al-Syadzili mengatakan, bahwa ma’rifat benar-benar merupakan puncak tingkat keagamaan seseorang dalam Islam dan tidak mempunyai tahapan analitis yang rumit untuk mencapainya, sebagaimana halnya dengan ajaran Ibn Arabi.
Kita tidak punya alasan untuk percaya bahwa ibnu ‘Atha’illah pernah bertemu dengan Abu Hasan al-Syadzili, namun perlu diketahui bahwa ayah Ibnu Atah’illah adalah murid Abu Hasan al-Syadzili dan salah satu tokoh yang dijadikan rujukan oleh Ibnu ‘Atha’illah ketika ia menyususn karya biografinya. Latha’if terhadap dua guru pertama tarekatnya. Namun sekalipun itu benar, ia telah bertemu dengan Abu Hasan al-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah, bisa dipastikan Ibnu ‘Atha’illah pada waktu itu sekitar umur lima atau enam tahun, untuk mengambil manfaat dari pertemuannya. Sementara itu, Abu Hasan al-Syadzili meninggal digurun pasir timur Mesir, Humyitsira, tahun 656 H. 1258 M, beberapa minggu setelah terjadi penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol.

Sebelum Abu Hasan al-Syadzili wafat, ia menunjuk Abul Abbas al-Mursi (W.686 H./1288 M.), muridnya di Tunis, sebagai penggantinya kelompok (jamaah tarekat) di Andalus. Ia meneruskan untuk memegang kendali tarekat itu dalam menara yang sama yang digunakan sebagai zawiyah oleh gurunya. Pada masa Abul Abbas al-Mursi, muncul guru-guru tarekat yang berada di wilayah Masyrik dan Mahgrib. Pada waktu itu sufisme telah muncul sebagai suatu realitas yang hidup dan fenomena yang berjalan.para guru pindah dari satu wilayah ke wilayah lain, namun Abul Abbas al-Mursi sama sekali tidak pernah meninggalkan Iskandaria.Tampaknya juga Abul Abbas al-Mursi tidak mempunyai hubungan erat dengan para penguasa dan tokoh-tokoh terkemuka pada waktu itu. Ia, sebagaimana gurunya, tidak menulis seluruh do’a-do’a ahzab yang diajarkannya, namun popularitasnya tidak sebanding dengan gurunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar dengan tidak mengurangi rasa hormat dan tetap menjaga etika