ZAKAT FITRAH {makanan pokok atau uang}

Perintah puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-II Hijriah, pada tahun yang sama diwajibkan pula membayar zakat fitrah, bagi kaum muslimin, baik laki-laki atau perempuan, tua ataupun muda, hamba ataupun merdeka, yang berpuasa ataupun tidak puasa. Kewajiban berpuasa hanya dibebankan kepada orang-orang tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Fikih Islam yaitu
Islam, mukallaf, sanggup, sehat dan muqim (tidak musafir). Sedangkan kewajiban membayar zakat fitrah, berlaku kepada semua kaum muslimin meskipun tidak berpuasa. Barangkali inilah yang membedakan istilah "Zakat Fitrah: dengan "Zakat Fitri". "Zakat Fitrah" berarti "Zakat Diri", maka berlaku kepada semua individu muslim, dan "Zakat Fitri" berarti zakat yang diwajibkan karena telah melaksanakan ibadah puasa, dengan kata lain setelah berbuka puasa dari satu bulan penuh diwajibkan mengeluarkan sebagian makanan pokok, sebagai penutup kekurangan-kekurangan pelaksanaan ibadah puasanya dari hal yang sia-sia atau yang dapat mengurangi pahala puasanya.

Dan berdasarkan pengertian ini, sebagian ulama seperti Imam Waki' Ibnu al Jarrah menyamakan hikmah Zakat Fitrah sama dengan hikmah Sujud Sahwi dalam shalat, karena terlupa, atau shalat sunat rawatib untuk menutupi kekurangan shalat wajib yang telah dilaksanakan.Zakat Fitrah tidak sama dengan Zakat Harta, Zakat Perniagaan, Zakat Pertanian, Zakat Ternak, yang memiliki nishab (kadar tertentu) dan haul (cukup setahun), Zakat Fitrah tidak memiliki nishab dan haul, kalaupun dikatakan nishab ialah, memiliki makanan pokok yang lebih untuk kebutuhan satu hari satu malam hari raya Aidil Fitri, bila kriteria ini dipenuhi maka wajib mengeluarkan Zakat Fitrah.

Diriwayatkan dari jama'ah dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasul Saw. mewajibkan Zakat Fitrah di bulan Ramadhan satu sha' (segantang) dari kurma, atau satu Sha' dari gandum, atas setiap orang yang merdeka atau hamba laki-laki atau perempuan dari kaum muslimin. Dan pada riwayat Bukhari ada tambahan, atas anak kecil atau orang tua, dan pada riwayat Abu Hurairah ada tambahan atas orang kaya dan orang fakir. Hadits di atas sebagai dasar hukum, bahwa Zakat Fitrah yang wajib dikeluarkan adalah berupa makanan pokok, seperti kurma, gandum, beras, jagung dan lain-lain, sesuai dengan makanan pokok yang dikonsumsi di negeri tertentu, dan yang dimaksud dengan makanan pokok adalah makanan yang dikonsumsi untuk kelangsungan hidup manusia di negeri itu baik pada musim senang ataupun pada musim sulit. Dan negeri kita ini rata-rata makanan pokoknya adalah beras, dan disesuaikan pula dengan jenis beras dan mutu yang dikonsumsi dengan Zakat Fitrah yang dikeluarkan, sehingga tidak ada perbedaan antara beras yang dikonsumsi dengan beras yang dizakati.

Membayar Zakat Fitrah berupa makanan pokok, disepakati keabsahan dan kesahihannya oleh Jumhur Fuqoha (mayoritas ulama Fikih) baik dari kalangan Malikiah, Syafiiah, dan Hanabilah karena berdasarkan hadits di atas. Tidak dibolehkan menyalahi Sunnah yang telah ditentukan oleh Rasul Saw., lagi pula Rasul Saw. telah menetapkan hak Mustahak (orang yang berhak menerima zakat) dalam bentuk makanan pokok. Dan menggesernya dari makanan pokok ke dalam bentuk uang, seyogianya mendapat persetujuan dari pada Mustahik (orang-orang yang berhak) dan itu sulit dilakukan, karena di Muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) tidak akan menanyakan persetujuan asnaf yang delapan sebelum menunaikan zakat fitrahnya, dan sipenerima zakat itupun belum ditentukan pribadi-pribadinya. Masih menurut Jumhur (mayoritas) ulama, bahwa Zakat Fitrah adalah Ta'abudiah dan Ta'abudiah sifatnya Tauqifiah tidak boleh menggantinya dengan yang lain.

Menurut mazhab Hanafi, Umar bin Abdul Aziz, Hasan al Basri, Abu Ishak, Atho' dan lain-lain, mereka membolehkan berzakat fitrah dengan uang. Berdasarkan hadits nabi Saw: Aqhnuhum fi hazal yaum: cukupkan mereka (fakir miskin) pada hari ini, (hari raya Idul Fitri). Mencukupkan kebutuhan fakir miskin pada hari raya tidak mesti dengan makanan pokok, bisa juga dengan uang bahkan dengan uang lebih baik, karena dapat digunakannya untuk makan dan lain-lain. Lagi pula para sahabat nabi Saw. ada yang membayar Zakat Fitrah senilai setengah sha' (gantang) dari qamh (gandum yang belum digiling), karena senilai dengan satu sha' (gantang) kurma dan syair (gandum yang sudah dihaluskan). Ini berarti pernah dilakukan oleh para sahabat berzakat fitrah senilai dengan satu sha', meskipun alat penilai pada masa itu bukan dengan mata uang. Lalu persoalannya apakah mata uang belum ada pada masa Rasul Saw., sehingga beliau mencontohkan langsung berzakat dengan uang.

Perbedaan pendapat antara jumhur dan Hanafiah tidak sebatas antara makanan pokok dan nilainya saja, tapi mereka juga berbeda pendapat tentang ukuran satu sha' (gantang) yang dipergunakan pada masa Rasul Saw. bila ditakar dengan takaran Internasional yaitu kilogram. Menurut pendapat jumhur ulama (Malikiah, Syafi'iyah, Hanabilan) 1 sha' (gantang) = 2751 gram atau 2,75 Kg. Berdasarkan riwayat Abi Said Al Khudry, dan hadits riwayat Daar Quthni dari Malik bin Anas.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, 1 sha' sama dengan 3800 gram atau 3,8 kg. Berdasarkan penafsiran hadits Tsa'labah bin Shair al-Uzry, dan demikian pula sha' (gantang) yang dimiliki oleh Umar ra. (lihat Fiqh Islam wa'adilatuhu, wahbah Az-Zuhaily 2 : 909). Perbedaan pendapat antara jumhur dan Hanafiah baik dari jenis yang dizakati atau nilainya, ataupun ukurannya, tidak dapat dihindari karena sulitnya mencari ukuran sha' yang dipakai oleh Rasul Saw. dan makanan pokok pada masa Rasul Saw. dan berzakat dengan beras, belum juga dikatakan mengikuti Rasul Saw, dengan sepenuhnya karena Rasul berzakat dengan kurma, gandum, susu kering, tentu akan menimbulkan kesulitan bagi kaum muslimin di negeri ini untuk mengikutinya. Oleh sebab itu berzakat fitrah dengan makanan pokok masih dalam penafsiran kontekstual terhadap hadits di atas.

Kedua pendapat di atas tidak ada larangan untuk mengamalkannya, sama ada berzakat fitrah dengan 2,75 kg beras atau dengan 3,8 kg beras, atau berzakat fitrah dengan uang senilai 3,8 kg beras, yang menjadi permasalahan adalah berzakat fitrah dengan uang senilai 2,75 kg beras yang terakhir ini tidak dibenarkan karena persoalan ini dipandang batal oleh kedua mazhab di atas, mazhab jumhur (mayoritas) ulama memandang tidak sah zakat fitrahnya karena memang tidak dibolehkan berzakat dengan uang. Sedangkan menurut mazhab Hanafi dipandang tidak sah juga karena tidak cukup nilai yang dizakati di dalam istilah Fiqih persoalan ini disebut Talfiq.
Semoga ibadah kita diterima Allah Swt. Amin. Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar dengan tidak mengurangi rasa hormat dan tetap menjaga etika