BID'AH ATAU SUNNAH {1}

Apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta wejangan/pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shahibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.

Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits di atas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61). Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’.

Dari hadits Jabir yang pertama di atas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah: 23: ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhaan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).

Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk!
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shahih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya. Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak!

Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat...” (“Kullu bid’atin dhalalah”), serta tidak ada istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid'ah, maka hukumya haram, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhai berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. 'Aisyah ra, Khalifah 'Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid'ah , tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar dengan tidak mengurangi rasa hormat dan tetap menjaga etika