AQIDAH-AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

1. Apakah yang dimaksud dengan ilmu agama yang (hukum mempelajarinya) fardlu ‘ain ?
Jawab: Diwajibkan atas setiap mukallaf (baligh dan berakal) untuk mempelajari kadar ilmu agama yang ia butuhkan seperti masalah aqidah (keyakinan), bersuci, shalat, puasa, zakat bagi yang wajib mengeluarkannya, haji bagi yang mampu, maksiat-maksiat hati, tangan, mata dan lain-lain. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Katakanlah (wahai Muhammad) tidaklah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui” (Q.S. az-Zumar: 9)
Dalam hadits disebutkan:
Maknanya: “Menuntut ilmu agama (yang dlaruri / pokok) adalah wajib atas setiap muslim (laki-laki dan perempuan)” (H.R. al Bayhaqi)

2. Apakah hikmah dari penciptaan jin dan manusia ?
Jawab: Untuk diperintahkan Allah agar beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dan tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali (Aku perintahkan mereka) untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S.adz-Dzariyat: 56)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun” (H.R. al Bukhari dan Muslim)

3. Bagaimanakah sahnya ibadah ?
Jawab: Beribadah kepada Allah (hanya) sah dilakukan oleh orang yang meyakini adanya Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada
sesuatupun yang menyerupai-Nya” (Q.S. asy-Syura: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Tuhan tidak bisa dipikirkan (dibayangkan)” (H.R. Abu al Qasim al Anshari)
Al Ghazali berkata:“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.

4. Kenapa Allah mengutus para rasul ?
Jawab: Allah mengutus para rasul untuk mengajarkan kepada umat manusia hal-hal yang membawa kemaslahatan (kebaikan) dalam agama dan dunia mereka. Dan untuk mengajak mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “…Maka Allah mengutus para nabi untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan” (Q.S. al Baqarah: 213)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Perkataan paling utama yang aku dan para nabi sebelumku adalah ucapkan LAA ILAHA ILALLAH (tiada yang disembah dengan benar kecuali Allah)” (H.R. al Bukhari)

5. Apakah arti Tauhid ?
Jawab: Tauhid adalah:
“Tauhid adalah mensucikan (Allah) yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya”.
Sebagaimana dijelaskan oleh al Imam al Junayd. Maksud beliau dengan al Qadim adalah Allah yang tidak mempunyai permulaan, sedangkan al Muhdats adalah makhluk. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada
sesuatupun yang menyerupai-Nya” (Q.S. asy-Syura: 11)
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya: Perbuatan apa yang paling utama? Rasulullah menjawab:
Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya” (H.R. al Bukhari)

6. Jelaskan mengenai keberadaan Allah !
Jawab: Allah ada, tidak ada keraguan akan ada-Nya. Ada tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk dan ada tanpa tempat dan arah. Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Tidak ada keraguan akan adanya Allah” (Q.S. Ibrahim: 10)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan tidak ada
sesuatupun selain-Nya” (H.R. al Bukhari dan lainnya)

7. Apakah makna firman Allah:
وهو معكم أينما كنتم
Jawab: Maknanya bahwa Allah mengetahui kalian di manapun kalian berada, sebagaimana dikatakan oleh Imam Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Malik dan lain-lain.
Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dan sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu” (Q.S. ath-Thalaq: 12)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Janganlah kalian memaksakan diri untuk mengeraskan suara (secara berlebihan), karena kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli dan ghaib, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang maha mendengar lagi maha dekat (secara maknawi,
bukan secara fisik)” (H.R. al Bukhari)
Maknanya bahwa tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah.

8. Apakah dosa yang paling besar ?
Jawab: Dosa paling besar adalah kufur. Dan termasuk kufur adalah syirik. Syirik adalah menyembah selain Allah. Allah ta’ala berfirman tentang Luqman, bahwa Luqman berkata:
Maknanya: “Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah (syirik) karena menyekutukan Allah (syirik) adalah kezhaliman yang besar” (Q.S. Luqman: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pernah ditanya: apakah dosa yang paling
besar ? beliau menjawab: “Engkau menyekutukan Allah padahal Ia telah menciptakanmu” (H.R. al Bukhari dan lainnya)

9. Apakah arti ibadah ?
Jawab: Ibadah adalah puncak ketundukan dan ketaatan sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh as-Subki. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Aku (Allah), maka beribadahlah kepada-Ku” (Q.S. al Anbiya’ : 25)

10. Apakah الدعاء (kadang) bermakna ibadah ?
Jawab: Ya, Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya aku hanyalah beribadah kepada Tuhanku dan tidak menyekutukan-Nya dengan seorangpun” (Q.S. al Jinn: 20)
Maknanya bahwa aku menyembah atau beribadah kepada Allah.
Allah juga berfirman:
Maknanya: “Maka janganlah kamu menyembah (beribadah) seorangpun di samping (menyembah) Allah” (Q.S. al Jinn: 18)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda yang maknanya adalah: “Doa adalah ibadah” (H.R. al Bukhari)
Makna ibadah dalam hadits ini adalah kebaikan.

11. Apakah الدعاء (kadang) mempunyai arti selain ibadah ?
Jawab: Ya, Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Janganlah kamu jadikan doa (panggilan) Rasulullah di antara kamu seperti
panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain” (Q.S. an-Nur: 63)

12. Apakah hukum memanggil (Nida') seorang nabi atau seorang wali, meski tidak di hadapan keduanya, dan apa hukum meminta kepada nabi atau wali sesuatu yang biasanya tidak pernah diminta oleh umat manusia ?
Jawab: Itu semua boleh dilakukan, karena perbuatan seperti itu tidaklah dianggap beribadah kepada selain Allah. Ucapan “Wahai Rasulullah” semata bukanlah syirik. Dalam sebuah hadits yang tsabit disebutkan bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani (salah seorang sahabat Nabi) mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam saat musim paceklik di masa pemerintahan Umar ibn al Khaththab –semoga Allah meridlainya- lalu Bilal berkata (di depan makam Nabi): “Wahai Rasulullah ! mohonlah (kepada Allah) agar diturunkan air hujan untuk umatmu, karena sungguh mereka telah binasa” (H.R. al Bayhaqi dan lainnya). Apa yang dilakukan sahabat Bilal ini sama sekali tidak diingkari oleh sahabat Umar dan para sahabat lainnya, bahkan mereka menilai perbuatan
tersebut bagus. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menzhalimi diri mereka (berbuat
maksiat kepada Allah) kemudian datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah,
dan Rasulullah-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah maha menerima taubat lagi maha penyayang” (Q.S. an-Nisa: 64)
Juga dalam hadits yang tsabit telah disebutkan: Bahwa Ibnu Umar mengatakan:
YAA MUHAMMAD (wahai Muhammad) ketika merasakan semacam kelumpuhan pada kakinya (H.R.al Bukhari dalam kitabnya al Adab al Mufrad)

13. Jelaskan mengenai arti “Istighatsah” dan “Isti’anah” disertai dengan dalil ?
Jawab: Istighatsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti’anah maknanya lebih luas dan umum. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat” (Q.S. al Baqarah: 45)
Dalam hadits disebutkan: "Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam" (H.R. al Bukhari). Hadits ini merupakan dalil dibolehkannya isti’anah (meminta pertolongan) secara umum kepada selain Allah. Namun hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfa’at secara hakiki kecuali Allah.

14. Terangkan tentang tawassul dengan para nabi?
Jawab: Para ulama sepakat bahwa tawassul dengan para nabi itu boleh. Tawassul adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya, dengan disertai keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki hanyalah Allah semata. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dan carilah hal-hal yang (bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Q.S. al Mai-dah: 35)
Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang yang buta untuk bertawassul dengannya. Lalu orang buta tersebut melaksanakannya di belakang (bukan di hadapan) Nabi,
maka Allah mengembalikan penglihatannya (H.R. ath-Thabarani dan dishahihkannya)

15. Jelaskan mengenai tawassul dengan para wali !
Jawab: Boleh bertawassul dengan para wali, tidak diketahui ada orang yang menyalahi kebolehan ini dari kalangan Ahlul Haqq (orang-orang yang berada di jalur kebenaran), baik generasi Salaf maupun Khalaf. Dalam hadits diceritakan bahwa Umar bertawassul dengan ‘Abbas (paman Rasulullah). Umar berkata:
“Ya Allah kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami (‘Abbas) (supaya Engkau turunkan air hujan)” (H.R. al Bukhari)

16. Terangkan mengenai hadits al Jariyah (sebuah hadits di mana Rasulullah
bertanya kepada seorang budak perempuan: “Aina Allah?, lalu ia menjawab:Fi as-Sama”)!
Jawab: Hadits tersebut mudltharib (diriwayatkan dengan lafazh matan yang berbeda-beda dan saling bertentangan sehingga menjadikannya dihukumi sebagai hadits dla’if). Adapun sebagian ulama yang menganggapnya shahih, menurut mereka bukan berarti hadits ini mengandung makna bahwa Allah menempati langit. Imam an-Nawawi mengomentari hadits ini dengan mengatakan: “Aina Allah adalah pertanyaan tentang derajat dan kedudukan-Nya bukan mengenai tampat-Nya”. Aina Allah berarti seberapa besar pengagunganmu terhadap Allah ?. Jawabannya: “Fi as-Sama” mempunyai makna bahwa Allah, derajat dan kedudukan-Nya sangat tinggi.Tidak boleh diyakini bahwa Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut tentang tempat (di mana) Allah ? dan juga tidak boleh diyakini bahwa budak perempuan itu bermaksud Allah menempati langit. Imam Ali ibn Abi Thalib –Karramallahu wajhah- berkata:
“Tidak boleh dikatakan di mana bagi Dzat yang menciptakan di mana (tempat) …”
(Disebutkan dalam kitab ar-Risalah al Qusyairiyyah karya Abu al Qasim al Qusyairi).

Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath menyatakan:
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada (pada azal) dan belum ada tempat serta makhluk, dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya” (Q.S. asy-Syura: 11)
Dalam hadits: Maknanya: “ Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu
selain-Nya” (H.R. al Bukhari)

17. Orang yang mencaci maki Allah hukumnya adalah kafir. Jelaskan mengenai hal ini disertai dengan dalil !
Jawab: al Qadli ‘Iyadl mengutip Ijma' (kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencaci maki Allah adalah kafir meskipun dalam keadaan marah, bercanda atau hati yang tidak lapang (meski hatinya tidak ridla dengan makian terhadap Allah yang diucapkan oleh lisan).
Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah (kepada mereka) Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok (melecehkan), tidak usah kalian meminta maaf, kalian benar-benar menjadi kafir setelah kalian beriman” (Q.S. at-Taubah: 65-66)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Sungguh seorang hamba jika mengucapkan perkataan (yang melecehkan atau menghina Allah atau syari’at-Nya) yang dianggapnya tidak bahaya, (padahal perkataan tersebut) bisa menjerumuskannya ke (dasar) neraka (yang untuk mencapainya dibutuhkan waktu) 70 tahun (dan tidak akan dihuni kecuali oleh orang kafir)” (H.R. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hadits ini hasan)

18. Sebutkan dalil dibolehkannya ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan ?
Jawab: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Lakukanlah ziarah kubur, karena sesungguhnya ia dapat mengingatkan kalian akan kehidupan akhirat” (H.R. al Bayhaqi)

19. Bagaimanakah cara masuk Islam ?
Jawab: Cara masuk Islam adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan dengan mengucapkan istigfar . Adapun firman Allah tentang Nabi Nuh ‘alayhi as-salam bahwa ia mengatakan:
Maknanya adalah bahwa Nabi Nuh menyeru kepada kaumnya untuk masuk Islam dengan beriman kepada Allah dan Nabi-Nya Nuh ‘alayhi as-salam supaya Allah mengampuni mereka.
Dalam hadits disebutkan:
Maknanya: “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sehingga mereka
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah” (H.R. al Bukhari dan Muslim)

20. Jelaskan mengenai hukum mengucapkan pujian (mad-h) untuk Rasulullah ?
Jawab: Hukumnya boleh dengan Ijma' (kesepakatan para ulama').
Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad mempunyai perilaku yang agung” (Q.S. al Qalam: 4)
Allah juga berfirman:
Maknanya: “… dan mereka memuji, mengagungkan dan membela Rasulullah” (Q.S. al A’raf: 157)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa suatu ketika ada sejumlah perempuan yang memuji Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dengan mengatakan di hadapan Nabi:
“Muhammad adalah seorang tetangga yang sangat agung” (H.R. Ibnu Majah)
Telah disebutkan dengan sanad yang shahih bahwa tidak sedikit sahabat Nabi yang memuji-muji Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam seperti Hassan ibn Tsabit, 'Abbas dan yang lainnya, dan Rasulullah sendiri tidak mengingkari hal tersebut, bahkan sebaliknya justru menganggapnya sebagai perbuatan yang baik.

21. Jelaskan tentang siksa kubur !
Jawab: Beriman akan adanya siksa kubur adalah wajib, ketetapan akan adanya siksa kubur telah disepakati oleh umat Islam (Ijma’) dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia telah kafir. Allah ta’ala berfirman:
Maknanya: “Kepada mereka (orang-orang kafir pengikut Fir’aun) dinampakkan neraka pada pagi dan petang (di kuburan mereka), dan pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat): Masukkan Fir’aun dan orang-orang yang mengikutinya dalam kekufuran ke dalam siksa (neraka) yang sangat pedih” (Q.S. Ghafir: 46)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
Maknanya: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur” (H.R. al Bukhari)

wallahu a'lam

POKOK-POKOK AQIDAH YANG TERKANDUNG DALAM SYAHADAT, YANG WAJIB DI KETAHUI DAN DI YAKINI OLEH SETIAP MUSLIM

Wajib bagi semua mukallaf untuk memeluk agama Islam, meyakininya untuk selamanya dan melaksanakan segala hukum-hukum yang diwajibkan atasnya. Di antara hal yang wajib diketahui dan diyakini secara mutlak, dan wajib diucapkan seketika jika memang dia (mukallaf) kafir, atau jika tidak (ia bukan seorang kafir) maka wajib mengucapkannya dalam shalat, adalah dua kalimat syahadat:

Makna ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH : aku mengetahui, meyakini dan mengakui (dengan ucapan) bahwa tidak ada yang disembah dengan hak (benar) kecuali Allah, yang Esa,tiada sekutu bagi-Nya, tidak terbagi-bagi, tidak bermula, tidak didahului dengan ketiadaan, Maha Hidup, tidak membutuhkan kepada yang lain, tidak berakhir, Maha Pencipta, Pemberi rizki, Maha mengetahui, Maha Kuasa, yang mudah bagi-Nya melakukan segala apa yang Ia kehendaki. Segala apa yang Ia kehendaki terjadi dan segala apa yang tidak Ia
kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada daya untuk menjauhi perbuatan dosa kecuali dengan pemeliharaan-Nya, dan tidak ada kekuatan untuk berbuat ta'at kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-
Nya. Allah memiliki segala sifat kesempurnaan yang layak bagi-Nya dan Maha Suci dari segala kekurangan bagi-Nya.

Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Hanya Allah yang tidak memiliki permulaan (Qadim), segala sesuatu selain-Nya memiliki permulaan (Hadits-baharu). Dia-lah sang Pencipta,segala sesuatu selain-Nya adalah ciptaan-Nya (makhluk). Segala yang ada (masuk ke dalam wujud),benda dan perbuatannya, mulai dari (benda yang terkecil) dzarrah hingga (benda terbesar) 'Arsy, segala gerakan manusia dan diamnya, niat dan lintasan fikirannya; semuanya itu (ada) dengan penciptaan Allah, tidak ada yang menciptakannya selain Allah,bukan thabi'ah (yang menciptakannya) dan bukan pula 'Illah. Akan tetapi segala sesuatu tersebut masuk pada keberadaan (ada) dengan kehendak Allah dan kekuasaan-Nya, dengan ketentuan dan ilmu-Nya yang azali (yang tidak bermula),

sebagaimana firman Allah:"Dan Allah menciptakan segala sesuatu"(Q.S. al Furqan: 2)
Artinya Allah mengadakannya dari tidak ada menjadi ada.
Makna (Khalaqa) demikian ini tidak layak
bagi siapapun kecuali hanya bagi Allah.
Allah berfirman:Maknanya: "Tidak ada pencipta selain Allah" (Q.S.Fathir: 3)

"Apabila seseorang melempar kaca dengan batu hingga pecah, maka
lemparan, hantaman batu dan pecahnya kaca
semuanya adalah ciptaan Allah. Jadi seorang hamba hanyalah melakukan kasb. Adapun penciptaan hanya
milik Allah,
Allah berfirman:"Bagi setiap jiwa (balasan baik dari) kebaikan yang ia lakukan dengan kasabnya dan atas setiap jiwa
(balasan buruk atas) keburukan yang ia lakukan" (Q.S. al-Baqarah: 286)

Kalam Allah (sifatNya bukan lafaz Al-quran) Qadim (tidak bermula) seperti seluruh sifat-sifat-Nya. Karena Allah tidak menyerupai semua makhluk-Nya, baik pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
Allah Maha Suci dari apa yang dikatakan orang-orang zhalim (orang kafir)dengan kesucian yang agung.
Kesimpulan dari makna (syahadat pertama) ini adalah ketetapan adanya tiga belas sifat bagi Allah,
yang sering terulang penyebutannya dalam al Qur'an,baik dengan lafazh maupun maknanya saja. Yaitu: al Wujud (Allah ada), al Wahdaniyyah (tidak ada sekutu
bagi-Nya pada dzat, sifat dan perbuatan-Nya), al Qidam(tidak bermula), al Baqa (tidak berakhir), Qiyamuhu bi nafsihi (tidak membutuhkan kepada yang lain dan segala sesuatu membutuhkan kepada-Nya), al Qudrah (Maha Kuasa), al Iradah (berkehendak), al 'Ilm (mengetahui segala sesuatu), as-Sam'u (mendengar segala sesuatu), al Bashar (melihat segala sesuatu), al Hayat (yang maha hidup), al Kalam (berbicara dengan kalam yang bukan huruf, suara dan bahasa),
Mukhalafatuhu li al hadits (tidak menyerupai segala yang baharu). Karena sifat-sifat
ini banyak penyebutannya dalam teks-teks syari'at,

para ulama mengatakan: Wajib atas setiap Mukallaf (Wajib 'Aini) untuk mengetahuinya/mengimaninya.
Dan karena Dzat Allah adalah Azali (tidak bermula), maka demikian pula sifat-sifat-Nya pasti (wajib) Azali, karena kebaharuan sifat suatu dzat melazimi kebaharuan dzat tersebut.

Makna ASHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH
"Aku mengetahui, meyakini dan mengakui (dengan ucapan) bahwa Muhammad ibn 'Abdullah ibn 'Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn 'Abd Manaf al Qurasyi (dari kabilah Quraisy) shallallahu 'alayhi wasallam adalah hamba Allah dan utusan-Nya kepada segenap makhluk. Dan bahwa Sayyidina Muhammad SAW lahir dan diutus
(menjadi seorang Nabi dan Rasul) di Makkah, hijrah ke Madinah dan dimakamkan di sana".

Termasuk cakupan makna syahadat kedua ini,meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW jujur dalam segala
berita yang ia bawa dan sampaikan dari Allah. Di antaranya : (adanya) siksa dan nikmat kubur,pertanyaan dua malaikat; Munkar dan Nakir, al Ba'ts(dibangkitkannya semua orang mati), al Hasyr (saat dikumpulkannya makhluk di suatu tempat), al Qiyamah (hari kiamat), al Hisab (perhitungan atas segala perbuatan), ats-Tsawab (balasan bagi seorang mukmin yang membuatnya senang), al 'Adzab (balasan bagi seseorang yang membuatnya sedih dan merugi), al Mizan (timbangan yang memiliki dua neraca; satu untuk kebaikan dan lainnya untuk keburukan), an-Nar (neraka Jahannam), ash-Shirath (jembatan terbentang di atas neraka, satu ujungnya pada bumi yang telah diganti – al Ardl al Mubaddalah- dan ujung lainnya di satu tempat menuju ke arah surga), al Haudl (telaga), as Syafa'ah (Syafa'at), al Jannah (sorga), ar Ru'yah (melihat Dzat Allah --di akhirat kelak-- dengan mata kepala dengan tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk, tanpa bentuk, tanpa tempat dan tanpa arah, tidak seperti terlihatnya makhluk), dan kekekalan di dalam surga dan neraka.

Juga beriman dengan para malaikat Allah,para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, ketentuan (al maqdur)- Nya yang baik dan buruk, dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan pemimpin seluruh manusia (keturunan Adam). Wajib berkeyakinan juga bahwa setiap nabi Allah pasti (wajib) memiliki sifat jujur, dapat dipercaya (Amanah) dan cerdas. Mustahil bagi mereka sifat bohong, khianat, ar-Radzalah (terjatuh dalam perbuatan hina), bodoh dan dungu.

Mereka pasti (wajib) terjaga dari kekufuran, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang
menandakan rendahnya jiwa pelakunya, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya. Mereka
mungkin (ja-iz) saja melakukan dosa-dosa kecil (yang tidak menandakan rendahnya jiwa pelakunya),
namun mereka diingatkan langsung untuk taubat sebelum dosa-dosa tersebut diikuti oleh orang lain.

WA BILLAHIT TAUFIQ WAL HIDAYAH

KETIKA SALAFY WAHABI INGIN MENGALIHKAN SEBUTAN WAHABI DARI DIRI MEREKA

Sekte-sekte wahabi yang semakin hari semakin lucu saja dan bodoh membodohi orang awam,mereka marah dan enggan di sebut wahabi,bahkan mereka ingin membalikkan/mengalihkan sebutan wahabi yang melekat pada ajaran mereka kepada golongan lain,sehingga terkesan pada orang awam bahwa benar yang selama ini di sebut wahabi [yang sudah terkenal sesat] bukanlah golongan mereka,begini cara mereka membodohi para pengikut nya :



Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al-Abadhi,Orang ini telah banyak menghapus Syari’at Islam ,dia menghapus kewaiban menunaikan ibadah haji dan telah teradi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya,Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat di Afrika Utara.Penulis mengatakan bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya,dikarenakan memunculkan banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya.mereka sangat membenci Ahlussunnah.
Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata :”Inilah Wahabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi,inilah wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki,


begitulah singkat cerita mereka pada pengikut nya.


Tanpa bersusah payah kita mencari benar/tidak nya cerita itu,tanpa harus mencari keshahihan cerita itu,tanpa harus memberatkan diri kita mencari rujukan cerita mereka,cerita itu tidak ada hubungan apa pun dengan kesesatan salafi wahabi yang bermanhaj salaf yakni pengikut M.Ibnu Abdil Wahab,karena sesat wahabi bermanhaj salaf ini bukan karena cerita itu sama sekali,tapi karena aqidah Tajsim/Tasybih dalam manhaj salaf yang mereka yakini sekarang,tanpa mengkaji sejarah pun,kita bisa menemukan di mana kesesatan Wahabi yang bermanhaj Salaf,yaitu dengan mencarikan dalil2 atau pendapat Ulama terdahulu.

BERIKUT AQIDAH SESAT WAHABI SEKARANG

1. Membagikan Tauhid kepada 3 Kategori

i. Tauhid Rububiyyah: Dengan tauhid ini, mereka mengatakan bahawa kaum musyrik Mekah dan orang-orang kafir juga mempunyai tauhid.
...
Tauhid Uluhiyyah: Dengan tauhid ini, mereka menafikan tauhid umat Islam yang bertawassul, beristigatsah dan bertabarruk sedangkan ketiga-tiga perkara tersebut diterima oleh mayoritas ulama Islam khususnya ulama empat mazhab.

Tauhid Asma dan Sifat: Tauhid versi mereka ini boleh menjerumuskan seseorang ke lembah tasybih dan tajsim

Menterjemahkan istawa sebagai bersemayam/bersila/bertempat

ii. Merterjemahkan yad sebagai tangan hakikat

iii. Menterjemahkan wajh sebagai muka hakikat

iv. Menisbahkan jihat (arah) kepada Allah (arah atas – jihat „ulya)

v. Menterjemahkan janb sebagai lambung/rusuk

vi. Menterjemah nuzul sebagai turun dengan zat

vii. Menterjemah saq sebagai betis

viii. Menterjemah ashabi' sebagai jari-jari, dll

ix. Menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai "surah" atau rupa [Terbaru]

x. Menambah bi zatihi haqiqatan [dengan zat secara hakikat] di akhir setiap ayat-ayat mutashabihat, sedangkan penambahan itu tidak ada di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Imam al-Zahabi sendiri mengkritik gurunya, Ibnu Taymiyyah berkenaan

masalah ini di dalam Siyar A'lam al-Nubala' [Rujuk kitab yang ditahqiq oleh bukan Wahabi kerana Wahabi membuang kritikan ini dalam terbitan mereka] [Terbaru]

xi. Sebahagian golongan Mujassimah menyatakan bahawa Allah :

* mempunyai gusi ( اللثة ) dan gigi gerham ( الأضراس ) [Terbaru]

* akan "duduk" bersama Nabi Muhammad SAW di atas arash [Terbaru]

* mempunyai mulut ( الفم ) [Terbaru]

(Rujuk Kitab Ibthal al-Ta'wilat oleh Abu Ya'la al-Farra' yang telah diterbitkan semula oleh "tangan-tangan Tajsim dan Tasybih" )

2. Tafwidh yang digembar-gemburkan oleh mereka adalah bersalahan dengan tafwidh yang dipegang oleh ulama Asy'ariyah dan ulama salaf.

3. Memahami ayat-ayat mutasyabihat secara zahir tanpa huraian terperinci dari ulama mu'tabar

4. Menolak Asy'ariyah dan Maturidiyyah yang merupakan mayoritas ulama Islam dalam perkara Aqidah

5. Sering mengkrititik Asy'ariyah bahkan sehingga mengkafirkan Asy'ariyah

6. Menyamakan Asy'ariyah dengan Mu'tazilah dan Jahmiyyah atau Mu'aththilah dalam perkara mutasyabihat

7. Menolak dan menganggap pengajian sifat 20 sebagai satu konsep yang bersumberkan falsafah Yunani

8. Berlindung di balik Manhaj Salaf

9. Golongan mereka ini dikenali sebagai al-Hasywiyyah, al-Karramiyyah, al-Mushabbihah,al-Mujassimah atau al-Jahwiyyah dikalangan ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah

10. Sering mengatakan bahwa Abu Hasan Al-Asy'ari telah kembali ke mazhab Salaf setelah bertaubat dari mazhab Asy'ariyah

11. Mendakwa dulunya ulama Asy'ariyah tidak betul-betul memahami fahaman Abu Hasan

al-Asy'ari, bahkan sering mendakwa dulunya mereka adalah pengikut Imam Abu al-Hasan al-'Ash'ari yang sebenar. Sungguh lucu dakwaan ini [Terbaru]

12. Menolak takwil dalam bab Mutashabihat

13. Sering mendakwa bahwa ramai ummat Islam telah jatuh ke dalam syirik

14. Mendakwa bahwa amalan memuliakan Rasulullah SAW mungkin membawa kepada syirik

15. Tidak menganggap penting kesan-kesan sejarah para anbiya, ulama dan shalihin dengan alasan menghindari syirik

16. Kefahaman yang salah berkenaan syirik sehingga mudah menghukum orang sebagai membuat amalan syirik

17. Menolak tawassul, tabarruk dan istighatsah dengan para anbiya serta shalihin

18. Mengganggap tawassul, tabarruk dan istighatsah sebagai cabang-cabang syirik

19. Memandang remeh karamah para aulia

20. Menyatakan bahawa ibu bapa dan kakek Rasulullah SAW tidak selamat dari azab api neraka.

21. Mengharamkan mengucap "radiallahu anha" bagi ibu Rasulullah SAW, Sayyidatuna Aminah [Terbaru]

22. Menamakan Malaikat Maut sebagai 'Izrail adalah bid'ah [Terbaru] - Fatwa Sholeh Utsaymin.


BERIKUT DALIL DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG KAFIR ORANG YANG MENJISIMKAN ALLAH

“Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah). (QS. Maryam: 65)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. (QS. as-Syura: 11)

Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam bersabda: Allah ada pada azal (Ada tanpa
permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya (H.R. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)

sayyidina Ali ibn Abi Thalib -berkata:
"Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan
tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).

Al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata:
"Sebagian dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda
Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:
"Engkau Ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada
sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada
sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di
atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat".


Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) berkata:"Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-AsmaWa ash-Shifat).
Al-Imam al-Asy‘ari juga berkata: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di
semua tempat". Perkataan al-Imam al-Asy'ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak (w 406 H)
dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya'rani (w 973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwash: "Tidak boleh dikatakan
Allah ada di mana-mana". Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa
arah dan tanpa tempat.

al-Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu‘man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang
ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:“Allah ta‘ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika
mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan
bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan
Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas,
bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri) (Lihat al-Fiqhul Akbar karya
Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).

Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi‘i (w 204 H), perintis madzhab Syafi‘i,
dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, berkata:“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya
yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak
Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya.
Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian
maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti
sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya
terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya
sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisahpisah.
Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab
itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil‖ (Lihat
al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: ar-Rahman 'Ala al-'Arsy Istawa‖?
Jawab:Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau
membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak
akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga
seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-,
Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari
segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala
tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan
kesesatan‖ (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Al-Imam al-Mujtahid Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab
Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat
dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini
as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya‖ (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)

Dan masih sangat banyak lagi dalil dan pendapat yang menunjukkan sesat nya aqidah2 dalam Tauhid yang di namai Manhaj Salaf sekarang,maka berhati2lah wahai saudara ku,dengan kelicikan kaum penyesat ummat itu,jangan mudah tertipu dengan kata2 manis mereka,tapi lihatlah dulu maksud dari nya,karena kebusukan2 mereka semua di balut dengan kata2/istilah yang menggugah hati.

na'uzubillah wa nasta'inuhu min zalik

JAUHILAH ALIRAN SALAFI-WAHABI

CIRI-CIRI GOLONGAN SALAFIYYAH WAHHABIYYAH

AQIDAH
1. Membagikan Tauhid kepada 3 Kategori
i. Tauhid Rububiyyah: Dengan tauhid ini, mereka mengatakan bahawa kaum
musyrik Mekah dan orang-orang kafir juga mempunyai tauhid.
Tauhid Uluhiyyah: Dengan tauhid ini, mereka menafikan tauhid umat Islam yang
bertawassul, beristigatsah dan bertabarruk sedangkan ketiga-tiga perkara tersebut
diterima oleh mayoritas ulama Islam khususnya ulama empat mazhab.
Tauhid Asma dan Sifat: Tauhid versi mereka ini boleh menjerumuskan seseorang
ke lembah tasybih dan tajsim
Menterjemahkan  istawa sebagai bersemayam/bersila/bertempat
ii. Merterjemahkan  yad sebagai tangan hakikat
iii. Menterjemahkan wajh sebagai muka hakikat
iv. Menisbahkan  jihat (arah) kepada Allah (arah atas – jihat „ulya)
v. Menterjemahkan  janb sebagai lambung/rusuk
vi. Menterjemah  nuzul sebagai turun dengan zat
vii. Menterjemah  saq sebagai betis
viii. Menterjemah ashabi' sebagai jari-jari, dll
ix. Menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai "surah" atau rupa [Terbaru]
x. Menambah bi zatihi haqiqatan [dengan zat secara hakikat] di akhir setiap ayat-ayat
mutashabihat, sedangkan penambahan itu tidak ada di dalam al-Qur'an dan al-
Sunnah. Imam al-Zahabi sendiri mengkritik gurunya, Ibnu Taymiyyah berkenaan
masalah ini di dalam Siyar A'lam al-Nubala' [Rujuk kitab yang ditahqiq oleh bukan
Wahabi kerana Wahabi membuang kritikan ini dalam terbitan mereka] [Terbaru]
xi. Sebahagian golongan Mujassimah menyatakan bahawa Allah :
* mempunyai gusi ( اللثة ) dan gigi gerham ( الأضراس ) [Terbaru]
* akan "duduk" bersama Nabi Muhammad SAW di atas arash [Terbaru]
* mempunyai mulut ( الفم ) [Terbaru]
(Rujuk Kitab Ibthal al-Ta'wilat oleh Abu Ya'la al-Farra' yang telah diterbitkan semula oleh
"tangan-tangan Tajsim dan Tasybih" )
2. Tafwidh yang digembar-gemburkan oleh mereka adalah bersalahan dengan tafwidh yang
dipegang oleh ulama Asy'ariyah dan ulama salaf.
3. Memahami ayat-ayat mutasyabihat secara zahir tanpa huraian terperinci dari ulama mu'tabar
4. Menolak Asy'ariyah dan Maturidiyyah yang merupakan mayoritas ulama Islam dalam
perkara Aqidah
5. Sering mengkrititik Asy'ariyah bahkan sehingga mengkafirkan Asy'ariyah
6. Menyamakan Asy'ariyah dengan Mu'tazilah dan Jahmiyyah atau Mu'aththilah dalam
perkara mutasyabihat
7. Menolak dan menganggap pengajian sifat 20 sebagai satu konsep yang bersumberkan
falsafah Yunani
8. Berlindung di balik Manhaj Salaf
9. Golongan mereka ini dikenali sebagai al-Hasywiyyah, al-Karramiyyah, al-Mushabbihah,
al-Mujassimah atau al-Jahwiyyah dikalangan ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah
10. Sering mengatakan bahwa Abu Hasan Al-Asy'ari telah kembali ke mazhab Salaf setelah
bertaubat dari mazhab Asy'ariyah
11. Mendakwa dulunya ulama Asy'ariyah tidak betul-betul memahami fahaman Abu Hasan
al-Asy'ari, bahkan sering mendakwa dulunya mereka adalah pengikut Imam Abu al-
Hasan al-'Ash'ari yang sebenar. Sungguh lucu dakwaan ini [Terbaru]
12. Menolak takwil dalam bab Mutashabihat
13. Sering mendakwa bahwa ramai ummat Islam telah jatuh ke dalam syirik
14. Mendakwa bahwa amalan memuliakan Rasulullah SAW mungkin membawa kepada syirik
15. Tidak menganggap penting kesan-kesan sejarah para anbiya, ulama dan shalihin dengan
alasan menghindari syirik
16. Kefahaman yang salah berkenaan syirik sehingga mudah menghukum orang sebagai
membuat amalan syirik
17. Menolak tawassul, tabarruk dan istighatsah dengan para anbiya serta shalihin
18. Mengganggap tawassul, tabarruk dan istighatsah sebagai cabang-cabang syirik
19. Memandang remeh karamah para aulia
20. Menyatakan bahawa ibu bapa dan kakek Rasulullah SAW tidak selamat dari azab api
neraka.
21. Mengharamkan mengucap "radiallahu anha" bagi ibu Rasulullah SAW, Sayyidatuna
Aminah [Terbaru]
22. Menamakan Malaikat Maut sebagai 'Izrail adalah bid'ah [Terbaru] - Fatwa Sholeh
Utsaymin

SIKAP
1. Sering membid'ahkan amalan umat Islam bahkan sampai ke tahap mengkafirkan mereka
2. Mengganggap diri sebagai mujtahid atau berlagak sepertinya (walaupun tidak layak)
3. Sering mengambil hukum secara langsung dari al-Quran dan hadis (walaupun tidak
layak)
4. Sering melecehkan ulama pondok dan golongan yang lain.
5. Ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang ditujukan kepada orang kafir sering ditafsir ke atas
orang Islam.
6. Memaksa orang lain berpegang dengan pendapat mereka walaupun pendapat itu shazz
(janggal).
7. Bersikap "taqiyyah" apabila dirasakan perlu. Fatwa mereka berbeda apabila berbicara di
hadapan masyarakat umum dengan pengajian khusus bersama mereka [Terbaru].
8. Apabila mereka sedikit dan tidak berkuasa membela diri, mereka menjawab dengan slogan "Berlapang
dada", namun apabila mereka ramai dan berkuasa mereka mempraktekkan slogan
"Meghilangkan Bid'ah" [Sikap ini diambil berdasarkan kata-kata para ulama' Mekah yang
memerhatikan sikap Wahabi di Mekah sewaktu ia mula-mula berkembang sampai
kini.][Terbaru].
9. Apabila mereka menerima tentangan dari pada mayoritas ulama', mereka menyatakan itu
adalah asam garam dalam perjuangan. Sedangkan para ulama' menyatakan bahawa
apabila sesuatu itu ditolak oleh kebanyakan para ulama', maka itu adalah tanda-tanda
kesesatan, kepelikan dan kejanggalan (shazz) atau ketergelinciran (zallah) kerana para
ulama' umat Nabi Muhammad SAW tidak akan bersepakat di dalam kesesatan
seperti yang disebut di dalam hadits Rasulullah SAW [Terbaru]

ALLAHUMMA INNA NA'UZUBIKA MIN FITNATIL WAHABIYYAH........Amiiin

ILMU KALAM [TAUHID] PADA PERIODE SALAF



Pada dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sudah berkembang dari semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan menyebarkan ilmu tauhid ini merupakan konsentrasi dakwah seluruh sahabat Rasulullah, karenanya perkembangan ilmu tauhid saat itu justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan periode-periode sesudahnya.

Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah berkembang di masa para sahabat. Misalkan, sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w 68 H) dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham Mu’tazilah. Atau dari kalangan Tabi’in, seperti Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (w 101 H) dan al-Imam al-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para ahli bid’ah tersebut. Bahkan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dengan argumen kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah; kaum yang mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang  menciptakan. Demikian pula beliau telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di antara pernyataan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid sebagai bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah adalah “Barang siapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang wajib disembah -artinya seorang yang kafir-”.



Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah (Mu’tazilah). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz telah membungkam para pengikut Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan beliau telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian al-Imam Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imam Malik Ibn Anas, dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim, salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Kemudian al-Imam al-Hasan al-Bashri, salah seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan diri dalam bergelut dengan Ilmu Kalam ini.




Jika ada yang berkata: Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas telah berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir tentang al-Khaliq (Allah)”. Bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah sesuatu yang dilarang?!.



Jawab:

Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, namun kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita diperintahkan untuk berpikir tentang kekuasaan-kekuasaan Allah baik yang terdapat di langit maupun yang terdapat di bumi, agar supaya hal itu semua dijadikan bukti akan adanya Allah sebagai penciptanya, dan bahwa Dia Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar Shahih dari sahabat Ibn ‘Abbas di atas?! Kemudian dari pada itu al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk mempelajari dalil-dalil akal tentang kebenaran akidah Islam. Mempelajari dalil-dalil akal tentang adanya Allah, bahwa Dia maha mengetahui, maha kuasa, maha berkehendak, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan berbagai perkara lainnya. Karenanya, tidak ada seorangpun dari ulama kita dari kalangan Ahlussunnah, baik ulama salaf maupun khalaf, yang mencaci Ilmu Kalam ini.



Adapun pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, statemen ini tidak benar adanya dari al-Imam Syafi’i. Tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah barkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanadnya adalah:



لَأنْ يَلْقَى اللهَ العَبْدُ بِكُلّ ذَنْبٍ مَا سِوَى الشّرْكِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَلْقَاهُ بشَىءٍ مِنْ الأهْوَاءِ

“Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaan membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwa’”.



Al-Ahwa’ adalah jamak dari al-Hawa. Artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur para ulama Salaf. Artinya, al-Hawa di sini ialah keyakinan-kayakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat. Seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah dan berbagai kelompok lainnya yang telah disebutkan dalam hadits Nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:



وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وَهِيَ الجَمَاعَة (رَواه أبُو دَاوُد)

“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud).



Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mamatahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; dua orang di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.

Al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan sebagai berikut:



    “Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwa’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapaun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkana dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwa’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam yang terpuji. Dalam Ilmu Kalam yang terpuji ini al-Imam asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”[ Tabyin Kadzib al-Mutftari, h. 339].



Masih dalam karyanya tersebut, Ibn ‘Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imam asy-Syafi’i dengan sanadnya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’) berkata:



    “Aku berada di majelis al-Imam asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam, Yusuf ibn ‘Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?”. Namun ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn ‘Amr. Tapi ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh. Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i megkafirkan Hafsh. Ar-Rabi’i ibn Sulaiman berkata: “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”[ Manaqib asy-Syafi’i karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asma’ Wa as-Shifat karya al-Baihaqi, h. 252
].



Jika ada yang berkata: “Ada beberapa orang ulama Salaf yang telah mencaci Ilmu Kalam. Diriwayatkan bahwa as-Sya’bi berkata: “Barang siapa mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barang siapa mencari harta dengan kimia maka ia akan bangkrut. Dan barang siapa megajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits gharib maka ia seorang pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imam Malik dan al-Imam al-Qadli Abu Yusuf (sahabat al-Imam Abu Hanifah).



Jawab:

Masalah ini telah dijawab oleh al-Imam al-Baihaqi. Beliau mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh mereka adalah Ilmu Kalam tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah tersebut. Adapun kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail sebelum kemudian Ilmu Kalam ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan dibahas secara komprehensif.



Masih menurut al-Baihaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan ilmu-ilmu Fikih yang sangat dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu sendiri.



Kemudian al-Baihaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama Salaf yang memuji Ilmu Kalam untuk usaha memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di antaranya al-Imam Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama, sementara Ilmu Fikih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, kata al-Imam Hatim, barang siapa menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fikih dan pengamalannya maka ia akan menjadi seorang zindik. Dan barang siapa mencukupkan dengan amalan saja tanpa didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih maka akan menjadi seorang ahli bid’ah. Dan barang siapa mencukupkan dengan Ilmu Fikih saja dengan menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Dan barang siapa yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat[ Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, h. 334
].



Al-Imam al-Qadli Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara akal maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam masalah-masalah Furu’iyyah. Dalam masalah ‘Aul misalkan, atau dalam masalah hak-hak seorang kakek (permasalahan dalam hukum waris), atau metode  penetapan hukuman dan praktek qisas, serta berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang antara mereka satu sama lainnya sama-sama melakukan Mubahalah (bersumpah) dalam menetapkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat misalnya, hanya untuk menetapkan permasalah najis saja, mereka dengan sekuat tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil untuk dirinya sendiri atau dalil-dali untuk mematahkan pendapat lawan. Bila keadaan mereka dalam masalah-masalah Furu’iyyah saja semacam ini, maka sudah barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushuliyyah. Bukankah masalah-masalah Ushuliyyah jauh lebih besar urgensitasnya dibanding masalah-masalah Furu’iyyah?![Ibid, h. 354]



Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam. Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?! Kemudian kaum Tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, bukankah mereka menerima ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah sendiri?! Jika diklaim bahwa kaum Tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti kalim ini sama saja dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatan kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada Rasulullah sendiri. Sekarang siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam?! Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya, atau para ulama Salaf pada umumnya.   

Salah satu bukti bahwa para ulama Salaf benar-benar menggeluti Ilmu Kalam adalah adanya beberapa karya dari al-Imam Abu Hanifah dalam disiplin ilmu ini. Di antaranya; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risalah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Alim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Yang terakhir disebut, yaitu al-Washiyyah, terdapat perbedaan pendapat tentang benar tidaknya sebagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah. Satu pendapat mengingkari risalah tersebut sabagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah dengan alasan bukan dari hasil tangannya. Pendapat lain mengatakan bahwa risalah al-Washiyyah ini karya dari Muhammad ibn Yusuf al-Bukhari yang memiliki nama panggilan (kunyah) Abu Hanifah.

Pendapat yang mengingkari risalah tersebut sebagai tulisan al-Imam Abu Hanifah umumnya diungkapkan orang-orang Mu’tazilah. Hal ini karena isi dari risalah tersebut adalah bantahan terhadap kelompok-kelompok bid’ah, seperti faham Mu’tazilah sendiri. Pengingkaran kaum Mu’tazilah juga didasari pengakuan bahwa keyakinan al-Imam Abu Hanifah adalah persis sama dengan keyakinan mereka sendiri. Tentu pendapat Mu’tazilah ini hanyalah dusta belaka. Karena seperti yang sudah diketahui, al-Imam Abu Hanifah adalah sosok yang paling gigih memerangi para ahli bid’ah termasuk faham-faham Mu’tazilah sendiri.



Dalam Ilmu Kalam, dan seluruh disiplin ilmu lainnya, al-Imam Abu Hanifah adalah Imam terkemuka sebagai ahli ijtihad pada abad pertama hijriyah. Tentang hal ini dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdadiyyah disebutkan sebagai berikut:



    “Orang paling pertama sebagai ahli Kalam dikalangan ulama Fikih Ahlussunnah adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Abu Hanifah telah menuliskan al-Fiqh al-Akbar dan ar-Risalah yang kemudian dikirimkan kepada Muqatil ibn Sulaiman untuk membantahnya. Karena Muqatil ibn Sulaiman ini adalah seorang yang berkeyakinan tajsim (Meyakini bahwa Allah adalah benda). Demikian pula beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dari kaum Khawarij, Rawafidl, Qadariyyah (Mu’tazilah) dan kelompok sesat lainnya. Para pemuka ahli bid’ah tersebut banyak tinggal di wilayah Bashrah, dan al-Imam Abu Hanifah lebih dari dua puluh kali pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad hanya untuk membantah mereka, -padahal perjalanan saat itu sangat jauh dan sulit-. Dan tentunya al-Imam Hanifah telah memecahkan dan membungkam mereka dengan argumen-argumen kuatnya, hingga beliau menjadi panutan dan rujukan dalam segala permasalahan Ilmu Kalam ini”.



Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dengan sanadnya hingga al-Imam Abu Hanifah, meriwayatkan bahwa ia (al-Imam Abu Hanifah) berkata: “Saya telah benar-benar mempelajari Ilmu Kalam, hingga saya telah mencapai puncak sebagai rujukan dalam bidang ilmu ini”[Tarikh Baghdad, j. 13, h. 3335].
Kemudian al-Imam Abu Hanifah menceritakan bahwa ia baru benar-benar terjun dalam mempelajari Ilmu Fikih setelah ia duduk belajar kepada al-Imam Hammad ibn Sulaiman, dan ia melakukan itu setelah ia mumpuni dalam Ilmu Kalam tersebut.



Dalam riwayat lain dengan sanadnya dari al-Haritsi, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata:



    “Saya telah dikaruniai kekuatan dalam Ilmu Kalam. Dengan ilmu tersebut saya memerangi dan membantah faham-faham ahli bid’ah. Kebanyakan mereka saat itu berada di Bashrah. Maka pada masa itu saya sering pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad lebih dari dua puluh kali. Di antara perjalananku tersebut ada yang hingga menetap satu tahun di Bashrah, ada pula yang kurang dari satu tahun, dan ada pula yang lebih. Dalam hal ini aku telah membantah berbagai tingkatan atau sub sekte kaum Khawarij; seperti golongan Abadliyyah, Shafariyyah dan lainnya. Juga telah aku bantah berbagai faham kaum Hasyawiyyah”[Lihat Muqaddimah Isyrat al-Maram karya al-Imam al-Bayyadli yang ditulis oleh al-Imam as-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengutip dari kitab Manaqib al-Imam Abi Hanifah.].



Al-Imam ‘Abd al-Qahir al-Bagdadi asy-Syafi’i, seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah penulis kitab al-Farq Bain al-Firaq, dalam salah satu kitab karyanya berjudul Kitab Ushuliddin menuliskan sebagi berikut:



    “Orang yang pertama kali bergelut dengan Ilmu Kalam dari kalangan para ahli Fikih adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Al-Imam Abu Hanifah telah menulis satu kitab sebagai bantahan terhadap kaum Qadariyyah yang ia namakan dengan al-Fiqh al-Akbar. Sementara al-Imam asy-Syafi’i telah menulis dua karya dalam Ilmu Kalam, salah satunya penjelasan tentang kebenaran kenabian dan bantahan kepada kaum Brahma, dan yang ke dua bantahan terhadap Ahl al-Ahwa’”[ Kitab Ushuliddin, h. 308].



Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini asy-Syafi’i, juga seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam karyanya berjudul at-Tabshir Fiddin menuliskan sebagai berikut:



    “Kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim karya al-Imam Abu Hanifah memuat berbagai argumen yang sangat kuat untuk membantah kaum ilhad (kaum kafir) dan para ahli bid’ah. Kemudian kitab karyanya dengan judul al-Fiqh al-Akbar, yang telah sampai kepada kami dengan jalur orang-orang tsiqah dan dengan sanad yang Shahih dari Nushair ibn Yahya dari al-Imam Abu Hanifah, adalah kitab yang berisikan bantahan kepada para ahli bid’ah. Barang siapa mempelajari karya-karya Ilmu Kalam tersebut dan karya-karya Ilmu Kalam al-Imam asy-Syafi’i maka dia tidak akan mendapati di antara madzhab ulama lain yang memiliki karya yang lebih jelas dari keduanya. Adapun beberapa tuduhan yang dialamatkan kepada keduanya yang berseberangan dengan isi karya-karya Ilmu Kalam mereka, maka itu semua adalah kedustaan yang dituduhkan oleh para ahli bid’ah untuk menyebarkan bid’ah mereka sendiri”[ at-Tabshir Fiddin, h. 113].  



Tentang lima risalah al-Imam Abu Hanifah yang telah kita sebutkan di atas, menurut pendapat yang paling kuat bukan benar-benar dengan tulisan tangan al-Imam Abu Hanifah sendiri. Tapi risalah-risalah tersebut adalah pelajaran yang didiktekan beliau kepada  para sahabatnya; seperti Hammad ibn Zaid, Abu Yusuf, Abu Muthi’ al-Hakam ibn ‘Abdullah al-Balkhi, Abu Muqatil Hafsh ibn Salam as-Samarqandi dan lainnya. Sahabat-sahabat Abu hanifah inilah yang membukukan pelajaran-pelajaran beliau hingga menjadi risalah-risalah tersebut di atas.



Dari para sahabat al-Imam Abu Hanifah tersebut kemudian pelajaran-pelajaran yang sudah berbentuk risalah-risalah itu turun kepada generasi para ulama berikutnya. Di antaranya; Isma’il ibn Hammad, Muhammad ibn Muqatil ar-Razi, Muhammad ibn Samma’h, Nushair ibn Yahya al-Balkhi, Syidad ibn al-Hakam dan lainnya. Dari generasi ini kemudian turun dengan sanad yang shahih kepada al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.



Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah di atas sebagai karya al-Imam Abu Hanifah adalah pendapat benar. Hanya saja risalah-risalah itu adalah hasil pengisian (Imla’) beliau terhadap para sahabatnya yang kemudian dibukukan. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah tersebut sebagai karya para sahabat generasi al-Imam Abu Hanifah, atau genarasi yang datang sesudahnya, adalah pendapat yang juga benar, karena risalah-risalah tersebut hasil kodifikasi atau pembukuan mereka. Demikianlah pendapat yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi.



Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’ menyebutkan bahwa para ulama Salaf terdahulu sudah mentradisikan usaha dalam membantah faham-faham ahli bid’ah, baik dengan tulisan-tulisan maupun dalam forum-forum terbuka. Dalam usaha tersebut al-Imam asy-Syafi’i telah menulis kitab al-Qiyas sebagai bantahan terhadap faham yang mengatakan bahwa alam tidak memiliki permulaan. Beliau juga telah menulis kitab dengan judul ar-Radd ‘Ala al-Barahimah, dan beberapa karya lainnya yang khusus ditulis untuk menyerang faham-faham di luar Ahlussunnah. Sebelum al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Abu Hanifah juga telah melakukan hal yang sama. Dalam hal ini al-Imam Abu Hanifah telah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar dan kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim untuk membantah orang-orang zindik. Demikian pula dengan al-Imam Malik ibn Anas dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Mereka semua adalah para Imam yang giat memerangi faham-faham sesat yang berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya.



Kemudian dari pada itu, al-Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), pimpinan para ahli hadits, penulis kitab al-Jami’ as-Shahih, telah menulis sebuah kitab yang sangat penting berjudul Khalq Af’al al-‘Ibad. Sebuah kitab bantahan terhadap faham Qadariyyah atau Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Dengan secara rinci al-Imam al-Bukhari mematahkan satu-persatu faham-faham Qadariyyah, dan menetapkan kebenarakan akidah Ahlussunah bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia sendiri.

Kemudian ahli hadits lainnya yang juga merupakan sahabat al-Imam al-Bukhari; al-Imam Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’i (w 228 H) telah menulis sebuah kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah dan beberapa kelompok sesat lainnya.



Demikian pula al-Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusi (w 242 H), juga seorang ahli hadits terkemuka yang merupakan salah seorang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal, telah menuliskan kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah. Setidaknya ada tiga orang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang gigih membela akidah Ahlussunnah dengan tulisan-tulisannya. Mereka adalah al-Imam al-Harits al-Muhasibi; yang juga seorang sufi terkemuka, al-Imam al-Husain al-Karabisi, dan al-Imam ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan. Termasuk juga dalam hal ini saudara kandung dari Imam yang terakhir disebut; yaitu al-Imam Yahya ibn Sa’id al-Qaththan.



Kemudian di kalangan ulama madzhab Hanafi, masih di masa Salaf, pasca al-Imam Abu Hanifah, ada seorang ulama besar ahli teologi dan ahli hadits juga ahli fikih, yaitu al-Imam Abu Ja’far at-Thahawi (w 321 H). Tulisan risalah akidah Ahlussunnah yang beliau bukukan, yang dikenal dengan al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, menjadi salah satu rumusan yang benar-benar terkodifikasi sebagai penjabaran akidah al-Imam Abu Hanifah dan para Imam Salaf secara keseluruhan. Yang hingga sekarang risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah ini menjadi sangat mashur sebagai akidah Ahlussunnah, yang diterima dari masa ke masa dan antara generasi ke genarasi.



Walaupun al-Imam at-Thahawi tidak pernah bertemu dengan al-Imam Abu Hanifah, karena memang tidak semasa, namun ungkapan-ungkapan yang beliau tulis dalam risalahnya ini adalah perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah yang beliau kutip dengan sanadnya dari para murid-murid al-Imam Abu Hanifah sendiri. Dalam pembukaan risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, al-Imam at-Thahawi menuliskan sebagai berikut: “Ini adalah penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, di atas madzhab para ulama agama; Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari, dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani”[Lihat matan al-‘Akidah at-Thawiyyah dalam Izhar al-‘Akidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Akidah at-Thawiyyah, karya al-Hafizh as-Syaikh ‘Abdullah al-Habasyi, h. 341].



Tulisan-tulisan tentang Ilmu Kalam kemudian menjadi sangat berkembang, terlebih setelah menyebarnya karya-karya dua Imam Ahlussunnah yang agung, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dua Imam ini telah menulis berbagai karya dalam menetapkan rumusan-rumusan akidah Ahlussunnah di tambah dengan bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok di luar Ahlussunnah, dengan argumen-argumen yang sangat kuat, baik dalil-dalil akal maupun dalil-dalil tekstual. Terutama al-Imam al-Asy’ari yang berada di wilayah Bashrah saat itu, beliau adalah sosok yang sangat ditakuti oleh kaum Mu’tazilah.



Al-Hafizh al-Lughawi al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:



    “Segala permasalah akidah yang telah dirumuskan oleh dua Imam agung; al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah merupakan dasar-dasar akidah yang diyakini semua ulama. Al-Asy’ari membangun landasan-landasan karyanya dari madzhab dua imam agung; al-Imam Malik dan al-Imam asy-Syafi’i. Beliau merumuskan landasan-landasan tersebut, merincinya, menguatkannya, dan kemudian membukukannya. Sementara al-Maturidi membangun landasan karyanya dari teks-teks madzhab al-Imam Abu Hanifah”[Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 13].



Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ menuliskan sebagai berikut:



    “al-Imam Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan bahwa keagungan ajaran agama Islam ini, yang semula telah padam, kebanyakan telah dihidupkan kembali oleh Ahmad ibn Hanbal, Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan Abu Nu’aim al-Istirabadzi. Dalam pada ini Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Saya  telah mendengar al-Mahamili berkata dalam pujiannya kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari: “Seandainya beliau bertemu Allah dalam keadaan banyak dosa sebanyak tanah di bumi ini, bagiku ia mungkin akan diampuni oleh Allah karena telah benar-benar membela agama-Nya”. Sementara Ibn al-‘Arabi berkata: “Pada permulaannya kaum Mu’tazilah sebagai kaum yang memiliki kedudukan, hingga kemudian Allah menjadikan al-Asy’ari balik menyerang mereka hingga beliau telah menjadikan mereka terkungkung dalam biji-biji wijen, tidak memiiki kekuatan”[Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’,h. 395].



Di kemudian hari, pasca al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi, Ilmu Kalam ini berkembang lebih pesat lagi. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai karya dari para pengikut kedua imam agung tersebut. Sangat banyak karya-karya yang dihasilkan, puluhan bahkan ratusan jilid, dengan argumen-argumen yang lebih matang dan dengan formulasi yang lebih sistematik. Di dalamnya banyak dimuat dialog-dialog dengan firqah-firqah di luar Ahlussunnah, seperti kaum Dahriyyah, kaum Filsafat, kaum Musyabbihah dan bahkan para ahli ramal (al-Munajjimun). Dan kemudian makin banyak bermunculan panji-panji Ahlussunnah yang giat mengibarkan madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ri di berbagai penjuru dunia Islam.



Di antara mereka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah ini adalah; al-Imam al-Ustadz Abu Bakar ibn Furak (w 406 H), al-Imam Abu Ishaq al-Isfirayini, dan al-Imam al-Qadli Abu Bakr al-Baqillani (w 403 H). Dua imam yang pertama menjadikan wilayah penyebarananya di daerah timur. Sementara al-Baqillani menyebarkannya di wilayah barat dan timur sekaligus. Maka pada permulaan abad lima hijriyah, dipastikan hampir seluruh pelosok dunia Islam di belahan timur dan barat adalah kaum Ahlussunnah; Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Tidak ada seorang ulamapun, baik ahli Fikih atau ilmu lainnya dalam ulama empat madzhab, kecuali di dalam akidah dia adalah seorang pengikut al-Asy’ari atau pengikut al-Maturidi. Adapun kelompok yang menyempal dari Ahlussunnah, hanyalah kelompok-kelompok kecil dari firqah Mu’tazilah, Musyabbihah dan beberapa gelintir orang-orang Musyabbihah.