tag:blogger.com,1999:blog-25863688451235930892024-02-21T14:15:48.849+07:00Aceh Islamic CentreMenuju Syari'at Islam KaffahUnknownnoreply@blogger.comBlogger102125tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-65063049541653446022011-07-10T01:42:00.002+07:002011-08-07T12:11:32.628+07:00Ikhwanul Muslimin<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><span class="text_normal">Gagasan Ikhwanul Muslimin (Ikhwan/IM) sudah lama diperkenalkan oleh sejumlah kalangan akademisi di Indonesia, namun gerakan Ikhwan baru mulai tumbuh sejak awal dekade 1990-an. Embrionya adalah munculnya kelompok Fikrah Harakah. Kelompok yang sudah berdiri sejak 1986 ini, menjelang dekade 1990-an mulai aktif menggodok kemungkinan pengembangan gerakan ikhwan di Indonesia. Tokoh penting pada fase awal ini adalah sejumlah mantan aktivis Darul Islam (DI).<br />
<br />
Meskipun belum menggunakan nama Ikhwanul Muslimin (IM), substansi ajaran ikhwan telah disebarkan melalui kampus-kampus. Pilihan ini bukanlah hal yang unik, sebab IM di Mesir juga mendasarkan basis massa gerakan di kalangan akademisi. Untuk Indonesia, format yang digunakan adalah membentuk kelompok <i>Usroh</i>. Eksperimen ini cukup berhasil. Terbukti dengan dikuasainya lembaga dakwah kampus oleh kelompok <i>Usroh</i>, setelah sebelumnya didominasi oleh aktivis HMI, PMII dan PII. <br />
<br />
Di samping kalangan akademisi, rekrutmen kader lainnya adalah pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Arab Saudi dan Mesir. Terutama yang berguru kepada tokoh-tokoh Ikhwan di kedua negara tersebut. Mereka bisa berasal dari LIPIA/LPBA, ataupun langsung belajar di Timur Tengah. Mereka yang belajar ke Timur Tengah ini umumnya menduduki posisi penting dalam jamaah ikhwan di Indonesia. <br />
<br />
Setelah basis massa kalangan akademisi tergarap dan mulai aktifnya kader lulusan Timur Tengah, gerakan Ikhwan kemudian dikembangkan dengan beragam jalur. Secara umum ada dua jalur yang kini sudah kokoh yaitu:<br />
<br />
<i>a. Jalur Tarbiyah/Jamaah.</i><br />
Jalur ini berkonsentrasi dalam mempersiapkan kader pada level <i>grassroot </i>yang nantinya akan menjadi basis massa yang paling solid. Cara yang digunakan adalah membentuk <i>halaqoh-halaqoh</i> dengan menggunakan sistem sel. Materi pengajian yang dikembangkan dalam <i>halaqoh </i>seperti panduan pembinaan kader Islam dan dakwah, manajemen aktivitas tarbiyah dan seterusnya. Materi-materi tersebut dikemas dalam <i>Manhaj Tarbiyah Islamiah</i>. <br />
<br />
<i>b. Jalur Siyasah/ Kepartaian. </i><br />
Jalur ini digunakan sebagai salah satu aktualisasi kader dalam dunia politik. Gagasan-gagasan yang telah dimatangkan dalam jalur jamaah diterjemahkan dalam lapangan politik kepartaian. Karena itulah partai dianggap sebagai kelanjutan dari strategi dakwah.<br />
<br />
Dua jalur tersebut dikendalikan oleh Maktab Riqobah Al Ammah (MRA) MRA mempunyai stuktur lain yang menopangnya seperti Mas’ul Maktab Tanfidzi, Aminul Aam, Amin Maktab, dan seterusnya. MRA juga mengendalikan sebuah institusi semacam “polit biro” jalur <i>siyasah</i>/kepartaian. Mekanisme yang digunakan adalah adanya struktur Majelis Dewan Syuro yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam partai. Seluruh anggota MRA adalah anggota Majelis Dewan Syuro. Hanya sedikit sekali anggota Mejelis Dewan Syuro yang bukan anggota MRA.<br />
<br />
Dalam pandangan MRA, kesempurnaan kader tidak hanya diukur dari kualifikasi spiritual, sebagaimana doktrin dasar ikhwan. Lebih dari itu, kesempurnaan kader harus teraktualisasi dalam kehidupan nyata. Dalam konteks inilah tarbiyah siyasah/kepartaian, hanyalah salah satu elemen aktualisasi dakwah. Aktualisasi lainnya sangat beragam. Secara lebih detail, aktualisasi dakwah gerakan ikhwan di Indonesia, dapat dikelompokkan sebagai berikut:<br />
<br />
<i>a. Tarbiyah umum/halaqoh. </i><br />
Rekrutmen umum kader untuk pemula. Dari sini kader disalurkan dalam beragam tarbiyah yang sudah tersedia.<br />
<i>a. Tarbiyah siyasah/kepartaian. </i>Diaktualisasikan dalam partai. Dikendalikan langsung oleh MRA<br />
<i>b. Tarbiyah amaliah/dalam bidang bisnis. </i>Diaktualisaikan dalam beragam jenis usaha. <i>Data base</i> jenis usaha/produk dalam naungan jaringan ikhwan dikenal dengan nama <i>green leaft</i>.<br />
<i>c. Tarbiyah dalam bidang profesional.</i> Dalam jalur ini kegiatan dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil di kantor-kantor, umumnya perkantoran swasta,namun tidak sedikit pula di kantor pemerintahan. Sasaran ofensifnya adalah kegiatan keagamaan di kantor, dan untuk ini mereka sering untuk berusaha “menguasai” kepengurusan atau kegiatan masjid di perkantoran tersebut.<br />
<i>d. Tarbiyah asykariah/paramiliter. </i>Jalur ini ini sudah lama dirintis yaitu sejak tahun1996. Argumen utamanya adalah pentingnya menyiapkan sayap militer di lingkungan jamaah. Dalam bentuk yang lebih sederhana, pendekatan ini sudah diterapkan dalam metode <i>liqo,</i> yaitu pada tahap <i>mukhayyam</i> di mana para kader harus mengikuti latihan fisik dan latihan bela diri. Karena bagian dari <i>liqo,</i> maka secara otomatis <i>mukhayyam </i>diselenggarakan oleh seluruh jajaran jamaah, seperti DPD dan Deppera. <br />
<br />
Adapun tarbiyah asykariah, adalah jalur khusus yang akan mengembleng kader dalam latihan para militer. Pelatihan <i>tarbiyah asykariah</i> umumnya dilakukan ditempat-tempat tertentu yang relatif tertutup, seperti Gunung Salak, Gunung Pangrango, Gunung Puntan (Bandung Selatan) dan sebagainya.<br />
<br />
Di luar aktivitas <i>tarbiyah asykariah (</i>latihan paramiliter), terdapat suatu kelompok khusus yang menerjemahkan gagasan jihad fisik gerakan ikhwan. Jalur ini sebenarnya merupakan jalur tertutup dalam struktur Ikhwan Indonesia. Aktivitas utama mereka sekarang ini diantaranya adalah menjadi instruktur untuk pelatihan <i>tarbiyah asykariah </i>(paramiliter) <br />
<br />
Kelompok ini dalam banyak hal mirip dengan kelompok serupa yang ada di Mesir, (kelompok Uzaimin, sayap jihad ikhwan Mesir) ataupun Palestina (barikade Izzudin Al Qassam, sayap militer Hammas).</span></div>Unknownnoreply@blogger.com1Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-17394699430157929202011-07-10T01:36:00.001+07:002011-08-07T12:15:08.999+07:00Hizbut Tahrir Indonesia [HTI]<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="text-align: left;">Awal mula masuknya gagasan Hizbut Tahrir ke Indonesia dilakukan secara tidak sengaja. Adalah Kiai Mama Abdullah bin Nuh, pemilik pesantren AL-Ghazali Bogor mengajak Abdurahman Albagdadi, seorang aktivis Hizbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor pada sekitar 1982-1983.</div><div style="text-align: left;">Tujuannya semata untuk membantu pengembangan pesantren Al Ghazali. Nah, saat mengajar di pesantren tersebut, Abdurahman Albagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid kampus dari Mesjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini pemikiran-pemikiran Taqiyuddin mulai didiskusikan. Dibentuk kemudian <em>halaqah-halaqah </em>(pengajian-pengajian kecil) untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Buku-buku HT seperti <em>Syaksiyah Islamiyah, Fikrul Islam, Nizhom Islam</em> mulai dikaji serius. <br />
<br />
Para aktivis kampus inilah yang mulai menyebarkan gagasan HT. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus, ajaran HT menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor seperti Unpad, IKIP Malang, Unair bahkan hingga keluar Jawa, seperti Unhas.<br />
<br />
Satu dekade kemudian, tepatnya pada dekade 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir mulai disampaikan kepada masyarakat umum dengan cara <em>door to door. </em>Tahap <em>pertama</em>, penyampaian dakwah pada orang tua mahasiswa. <em>Kedua, </em>seiring dengan waktu lulusnya para mahasiswa, maka aktivitas dakwah mulai bergerak di perkantoran, pabrik, dan perumahan. Dakwah inipun dilakukan selama satu dekade, hingga dekade 2000-an.<br />
<br />
Dakwah Hizbut Tahrir semakin mendapat kesempatan seiring adanya perubahan iklim politik di Indonesia: reformasi. Namun demikian, tidak serta merta Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan Islam yang terbuka. Namun seiring berkembangnya sambutan masyarakat, sebuah konferensi Internasional soal Khilafah Islamiyah kemudian digelar, yaitu pada Maret tahun 2002, di Istora Senayan. Konferensi ini menghadirkan tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Di antaranya KH dr Muhammad Utsman, SPFK (Indonesia), Ustadz Ismail Al-Wahwah (Australia), Ustadz Syarifuddin M Zain (Malaysia), dan KH Muhammad Al-Khaththath (Indonesia). <br />
<br />
Konferensi tersebut juga menjadi penanda lahirnya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, dan sejak itu mulai memproklamirkan diri sebagai organisasi politik yang berideologikan Islam. Dalam konteks HT, pembentukan partai berarti dicapainya tahap kedua perjuangan yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat <em>(marhalah tafaul ma’ al ummah)</em>.</div><div style="text-align: left;"><strong>Tujuan Politik </strong><br />
<br />
Bertitik tolak dari pandangan Taqiyuddin An-Nabhani bahwa dunia Islam harus terbebas dari segala bentuk penjajahan, maka mendirikan Khilafah Islamiyah menjadi sebuah keharusan. Khilafah yang dimaksud adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. <br />
<br />
Dengan tujuan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah, maka Hizbut Tahrir telah memproklamirkan dirinya sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial. Dengan atas dasar itulah maka seluruh aktivitas yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pemikiran dan dalam perjuangan politik.<br />
<br />
Adapun alasan mengapa perlu mendirikan khilafah Islamiyah karena semua negeri kaum muslimin dewasa ini, tanpa kecuali, adalah termasuk kategori <em>Darul Kufur</em>, sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus Hizbut Tahrir, yang dimaksud <em>Darul Islam</em> adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. <br />
<br />
<strong>Konteks Ideologi dan Perkembangan di Timur Tengah </strong><br />
<br />
Sesungguhnya, dasar utama gagasan HT adalah seruan untuk menerapkan Islam secara komprehensif. Kemunduran Islam, kata Taqiyuddin (pendiri gerakan HT), disebabkan oleh ditinggalkannya penerapan Islam secara <em>kaffah</em>. “Kemunduran mulai tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran agama, mengabaikan <em>qiyadah fikriyah”</em> tandas Taqiyuddin pada tahun 1953. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali keagungan Islam, solusi tunggalnya adalah menerapkan seluruh sistem Islam secara sempurna, tanpa ada kompromi dengan sistem-sistem lainnya.<br />
<br />
Usaha revivalisme semacam ini, dalam beberapa segi memang bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan gerakan Ikhwanul Muslimun (IM). Kesesuaian ini dapat dilacak dari latar belakang Taqiyuddin di mana pada waktu belajar di Al Azhar, Mesir, Taqiyuddin pernah bergabung dengan jamaah IM. Seperti akan kita lihat nanti, pada periode awal perkembangannya ternyata gerakan HT didukung oleh para aktivis IM di Palestina.<br />
<br />
Namun, IM dan HT mempunyai titik perseberangan yang krusial. <em>Daulah Islamiah </em>yang digagas IM sama sekali tidak memasukkan prinsip kekhilafahan. Bahkan, Daulah Islamiah dimasukkan dalam kerangka <em>nation-state. </em>Pengabaian prinsip ini ditolak Taqiyuddin. Baginya, semangat kembali ke Islam secara total tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya penerapan sistem politik kekhalifahan. Hanya dengan penerapan sistem ini, nilai-nilai Islam dalam diwujudkan dalam masyarakat muslim. <br />
<br />
Yang dimaksud sistem kekhalifahan adalah suatu bentuk tunggal negara Islam yang meliputi seluruh wilayah penduduk Muslim (umat) tanpa ada batas <em>nation-state</em> –konsep yang juga ditolakTaqiyuddin karena dianggap sangat lemah. Konsep yang diacu adalah model kekhalifahan masa Khulafaur Rasyidin, di mana seorang khalifah diangkat melalui mekanisme baiat. Bagi Taqiyuddin, konsep kekhalifahanlah yang mampu dan terbukti mendorong kejayaan Islam. Oleh karena itu, perjuangan mewujudkan kembali kekhalifahan adalah <em>neccessary condition</em> bagi terwujudnya masyarakat muslim.<br />
<br />
Konsep ini ditawarkan sebagai jawaban dari kemunduran Islam menghadapi penetrasi Barat. Sepintas, tawaran ini terkesan kembali ke masa lalu. Namun, para aktivis HT mampu mengeksplorasi gagasan ini sebagai ideologi perlawanan terhadap kolonialisme ataupun bentuk dominasi Barat lainnya. Tawaran ini menjadi kontekstual karena disebarkan di tengah masyarakat muslim yang merasa kecewa di tengah hegemoni kekuasaan Barat. Gagasan ini makin memperoleh tempat tatkala dihadapkan pada kegagalan eksperimen demokrasi ataupun bentuk negara modern lainnya di mana mayoritas warga negaranya adalah muslim. <br />
<br />
Untuk itu, HT mengusung ideologi politik kekhalifahan. Dalam pandangannya, kekhalifahan adalah prototipe sistem pemerintahan Islam yang terbukti operasional selama berabad-abad. Untuk menguatkan gagasan ini, HT mengeksplorasi glorifikasi atau keagungan sejarah Islam masa kekhalifahan yang dipandang bermula dari Nabi Muhammad dan berakhir dengan keruntuhan Khilafah Usmani di Turki pada tahun 1924. <br />
<br />
Gagasan-gagasan HT, sejak awal memang kurang diterima secara luas. Kelompok terbesar yang menentangnya adalah para aktivis pembaharuan Islam yang mengadopsi gagasan-gagasan modern, termasuk mereka yang memperjuangkan nasionalisme Arab, mereka yang mengadopsi paham sosialisme dan sebagainya. Kelompok kedua yang resistensinya kurang kuat adalah Ikhwanul Muslimun (IM). Pada mulanya, tokoh-tokoh IM, seperti Hasan Albana dan Sayyid Quthub berusaha merangkul Taqiyuddin an-Nabhani dalam barisan IM. Namun Taqiyuddin menolaknya dengan alasan IM dipandang terlalu moderat, utamanya karena perjuangan IM masih menggunakan kerangka <em>nation-state,</em> bukan kekhalifahan.<br />
<br />
Karena itu, sejak awal dideklarasikan pada tahun 1953 di Al Quds (saat itu dibawah yurisdiksi Yordania yang dikuasai Inggris) HT harus berseberangan dengan pemerintahan yang berkuasa dan juga para aktivis nasionalisme Arab. <br />
<br />
Pemerintah Yordania segera melarangnya dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah pengurus inti, tidak lama setelah partai ini dideklarasikan. Taqiyudin bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di al-Quds; sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh ditangkap di Amman; lalu beberapa hari berikutnya, Dr Abd al-Aziz al-Khiyath juga ditangkap; semuanya dijebloskan ke penjara. Berkat petisi sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis, dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan, Taqiyuddin kemudian dibebaskan.<br />
<br />
Sejak saat itu, HT harus hidup secara <em>underground, </em>menjadi gerakan <em>clandestine</em> di Yordania dan Syria. Pada November 1953, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus. Saat itu intelijen Syiria membawa Taqiyuddin ke perbatasan Syria-Lebanon. Atas bantuan Mufti Lebanon, Syaikh Hasan al-Alaya, akhirnya beliau diizinkan masuk ke Lebanon yang sebelumnya melarangnya. Taqiyuddin lalu menyebarkan pemikirannya di Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupannya karena merasakan bahaya dari pemikirannya. Akhirnya, Taqiyuddin berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT. Sejak itulah, gagasan dan gerakan HT harus disebarkan secara diam-diam. Dan secara diam-diam pula, pengaruhnya mulai menyebar ke kawasan Timur Tengah lainnya, terutama di Syria, Lebanon dan Yordania.<br />
<br />
Meskipun demikian, Yordania dan Palestina adalah adalah tempat utama kaderasisasi dan pengembangan HT. Pergolakan Palestina yang tidak ada henti-hentinya menjadi ladang subur persemaian gagasan dan gerakan. Hal ini karena, <em>pertama,</em> Taqiyuddin penggagas dan ketua pertama HT lebih banyak bergerak di kawasan ini, sehingga memungkinkan untuk selalu melakukan kaderisasi. <em>Kedua</em>, Palestina membutuhkan kerangka ideologi yang lebih kuat guna memperjuangkan pembebasan tanah airnya dari Yahudi. Dalam konteks inilah gagasan dan gerakan HT menemukan ladang persemaiannya. Gerakan ini menawarkan kerangka alternatif yaitu membangun <em>daulah Islamiyah</em> berdasarkan prinsip kekhalifahan. Menolak segala sesuatu yang berbau Barat, termasuk konsep <em>nation-state</em> yang saat itu mulai diimplementasikan di sejumlah negara Timur Tengah. Penolakan ini tampaknya bertemu dengan realitas politik saat itu, di mana sejumlah negara Timur Tengah justru kurang <em>all out</em> dalam membantu perjuangan Palestina.<br />
<br />
Tentu saja HT tidak sendirian. Pengaruh gerakan-gerakan Islam lainnya juga cukup berperan dalam meneruskan perlawanan terhadap Israel. Kekuatan Ikhwanul Muslimun umpamanya, tidak mungkin bisa diremehkan dalam memberikan kontribusi semangat jihad di kalangan penduduk Palestina. <br />
<br />
Pengaruh HT ini sudah tampak dalam organisasi PLO. Khaled Hassan adalah salah satu pendiri PLO yang juga pendiri HT. Begitu Juga Sheh Assad Tamimi, ulama yang sangat dipandang di Palestina. Mereka adalah kader-kader HT yang cukup disegani. Kader utama HT lainnya adalah Sheh Abdul Qodim Zallum. Ulama yang juga berasal dari Palestina ini nantinya mewarisi kepemimpinan HT pasca meninggalnya Taqiyuddin pada tahun 1977. Tokoh penting lainnya adalah Sheh Ahmad Tamimi, tokoh spiritual Palestina. Mereka semua umumnya mengenal terlebih dahulu gagasan-gagasan IM. Namun, selanjutnya lebih memilih mengembangkan gagasan kekhalifahan. Pengaruh HT tersebut cukup terasa di dalam tubuh “Palestinian Islamic Jihad”. Kelompok jihad ini berbasis di Syiria yang didirikan oleh Shiekh Abdullah Ramadan Shallah dan Fathi Shaqaqi. Para aktivis HT umumnya memback-up kelompok ini.<br />
<br />
Di samping mengilfiltrasi PLO dan gerakan lainnya, seperti Hisbullah dan Hammas, aktivis HT juga berusaha mempengaruhi sejumlah proses politik di Yordan. HT melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan Bersenjata Yordan pada tahun 1969 dalam upaya menggulingkan kekuasaan (kudeta). Namun upaya ini mengalami kegagalan. Hal yang sama dilakukan pada tahun 1971. Penyusupan ke tubuh militer juga dilakukan di Selatan Irak pada tahun 1972. Lagi-lagi, usaha ini mengalami kegagalan. <br />
<br />
Sejumlah kudeta dan pembunuhan politik di Mesir, Jurdan, Tunisia, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya pada dekade 1970-an ditengarai melibatkan aktivis HT. Kudeta di Mesir tahun 1974 yang melibatkan Salih Sirriyah dan pembunuhan Anwar Saddat 1984, diduga melibatkan aktivis HT. Begitu juga usaha pembunuhan terhadap raja Husen, Jordan. <br />
<br />
Kegagalan berturut-turut dalam sejumlah perebutan kekuasaan tersebut menyebabkan perkembangan gerakan HT semakin menurun. Pamornya memang kalah dibanding gerakan lainnya. Namun, Taqiyuddin tampaknya bersikukuh dengan garis politiknya untuk bergerak secara non-kooperasi dengan kekuatan yang menggunakan instrumen Barat. Hal ini karena HT memandang bahwa metode perjuangan tidak boleh dikompromikan. <br />
<br />
Sifat radikalisme gagasan tersebut, karena dalam doktrin HT, penerapan syariah tidak bisa dilakukan secara bertahap. Abdul Qodim Zallum, pengganti Taqiyuddin, menyebutkan bahwa penerapan syariah harus bersifat menyeluruh dan sekaligus <em>(one for all). </em>Dengan mengutip beberapa hadist, Zallum berpendapat bahwa memerangi penguasa kufur adalah kewajiban. Penguasa kufur diidentifikasi adalah mereka yang tidak menerapkan hukum Islam atau hanya menerapkan sebagian. Semua itu hajib diperangi dengan mengangkat senjata.<br />
<br />
Meskipun gerakan HT terkonsentrasi di Yordania, Palestina dan Siria, melalui kader-kadernya, gagasan kekhalifahan ternyata mulai mendapat tempat di sejumlah negara. Pola persebarannya terutama melalui kampus-kampus. Pada bulan April 1967, HT telah beroperasi di Turki melalui sejumlah mahasiswa Jordan yang kuliah di Universitas Ankara. Gerakan ini mampu menarik minat mahasiswa dan akademisi Turki, termasuk Ali Nihat Eskioge, seorang astronom. Tokoh penting lainnya adalah Annan Mohammad Ali dan Amir Ercumend. Mereka secara terbuka telah berani menyebarkan pamflet yang berisi seruan menghidupkan kembali kekhalifahan. Akan tetapi, dengan segera gerakan ini ditekan oleh militer. Dan para pemimpinnya di tahan pada tahun 1967. Sejak saat itu, HT Turki kembali memasuki kehidupan <em>clandstine. </em>Kemunculannya kembali baru terjadi pada tahun 1985 dan 1986 dengan mengedarkan pamflet, ”konstitusi HT”. Namun, sekali lagi, aksi ini harus menghadapi tekanan dan sekitar 42 orang anggota HT harus ditahan. Termasuk Ahmad Kilikaya, salah satu tokoh penting HT Turki. Pemerintah Turki tampaknya terus memburu para pemimpin HT. Pada tahun 2001, Remzi Ozer, pemimpin HT dipenjarakan. Selanjutnya pada Mei 2003, Emir Yilmaz Celik dan 93 pengikutnya harus pula dipenjarakan.<br />
<br />
Dalam masa kepemimpinan Taqiyuddin, perkembangan gerakan HT memang tidak sepesat IM. Namun, sel-sel gerakan ini pada dasarnya telah menyebar di sejumlah negara Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Eropa. Sekarang ini, HT mengklaim telah tumbuh di sekitar 40 negara. Setelah Taqiyudin meninggal pada tahun 1977, HT dipimpin oleh Abdul Qodim Zallum, tokoh HT yang berasal dari Palestina. Kepemimpinannya berlangsung hingga 2003. Setelah Zallum meninggal pada 2003, komando HT dipegang oleh Ata Ibnu Khalil Abu Rashta, alias Abu Yasin. Dia adalah orang Palestina yang sebelumnya telah menjadi jurubicara HT Yordan. Diyakini, Abu Rashta sekarang mengendalikan HT dari The West Bank. Abu Rashta didampingi oleh Khaled Hassan, pendiri organisasi Fatah (salah satu faksi yang tergabung dalam Palestine Liberation Organization) dan tokoh spritual HT yaitu Sheikh Asaad Tamimi.</div></div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-6081213859122150112011-07-10T01:30:00.001+07:002011-08-07T12:16:34.190+07:00Syi'ah Masuk Ke Indonesia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Syi’ah yang berkembang di Indonesia dapat dibedakan kedalam dua corak, yakni Syi’ah politik, dan Syi’ah non-politik. Syi’ah politik adalah mereka yang memiliki cita-cita politik untuk membentuk negara Islam, sedangkan Syi’ah non-politik mencita-citakan membentuk masyarakat Syi’ah. Syi’ah politik aktivitasnya menekankan pada penyebaran ide-ide politik dan pembentukan lapisan intelektual Syi’ah, sedangkah Syiah non-politik menekankan pada pengembangan ide-ide fikih Syi’ah. <br />
<br />
Syi’ah non-politik atau Syi’ah fikih masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, India, dan ulama-ulama dari Hadramaut. Salah satu tokohnya yang membawa masuk ke Indonesia adalah Habib Saleh Al-Jufri, mantan panglima perang Syarif Husen, kakek dari Raja Husen Yordania, yang dikalahkan oleh Abdul Aziz, bapak dari Raja Abdullah Arab Saudi. Syi’ah yang mereka bawa ke Indonesia pada gelombang ini adalah Syi’ah Zaidiyah. Pada awalnya cara dakwahnya dilakukan secara individu-individu, kemudian, sejak kemerdekaan beberapa tokoh dari mereka membentuk pesantren, salah satunya adalah Husen Al-Habsyi, mendirikan Pesantren YAPI di Bangil, Jawa Timur. <br />
<br />
Sementara itu, Syi’ah politik masuk Indonesia baru kemudian, yaitu sejak pecahnya Revolusi Iran tahun 1979. Jika Syi’ah fikih mengembangkan dirinya melalui dukungan swasta, sebaliknya Syi’ah politik mendapat dukungan resmi dari pemerintah Iran. Namun demikian sejak revolusi Iran, Syi’ah fikih juga mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah. <br />
<br />
Strategi dakwah Syi’ah politik pada awalnya menggunakan pendekatan kampus. Beberapa kampus yang menjadi basisnya adalah Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Jayabaya Jakarta, Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun karena gagal dan kalah berkembang dengan kelompok Ihwan, akhirnya pada tahun 1990-an strateginya diubah. Kini kelompok Syi’ah keluar dari kampus dan mengembangkan dakwahnya langsung ke tengah masyarakat melalui pendirian sejumlah yayasan dan membentuk ormas bernama IJABI (Iakatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia). Yayasan-yayasan itu sebagian mengkhususkan pada kegiatan penerbitan buku, sebagian lainnya membangun kelompok-kelompok intelektual dengan program beasiswa ke luar negeri (ke Qum, Iran) dan sebagian lagi mengembangkan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan. <br />
<br />
Sejauh yang dapat diketahui, generasi program beasiswa ke Qum, Iran, yang pertama adalah Umar Shahab dan Husein Shahab. Keduanya berasal dari YAPI, Bangil, dan pulang ke Indonesia tahun 1970-an. Kedua tokoh inilah yang mengembangkan Syi’ah dikalangan kampus pada awal 1980-an. Tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh. Dari UI misalnya, diantaranya adalah Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri. Dari Universitas Jayabaya muncul Zulfan Lindan, dan dari ITB muncul Haidar Bagir. Namun perlu digarisbawahi, di luar jalur kedua tokoh diatas, pada pertengahan 1980-an muncul Jalaluddin Rahmat sebagai cendekiawan Syi’ah. <br />
<br />
Namun seiring berhasilnya revolusi Islam di Iran, sejak 1981 gelombang pengiriman mahasiswa ke Qum mulai semakin intensif. Generasi alumni Qum kedua inilah yang sekarang banyak memimpin yayasan-yayasan Syi’ah dan menjadi pelopor gerakan Syi’ah di Indonesia. <br />
<br />
Kini, gerakan Syiah di Indonesia diorganisir olehl Islamic Cultural Center (ICC), dipimpin Syaikh Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara formal organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta dibawah kendali dan pengawasan langsung Supreme Cultural Revolution Council (SCRC) Iran. <br />
<br />
Di bidang pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran diberbagai daerah. Sedangkan dibidang dakwah, ICC bergerak di dua sektor, <em>pertama</em>, gerakan kemasyarakatan, yang dijalankan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait (IJABI), kedua, gerakan politik, yang dijalankan oleh yayasan OASE. Yayasan ini mengkhusukan bergerak dibidang mobilisasi opini publik. Sedangkan untuk bidang gerakan politik dan parlemen dikomandani oleh sejumlah tokoh. Strategi politik parlementer yang mereka tempuh ini dilakukan dengan cara menyebarkan kader ke sejumlah partai politik.<br />
<br />
Mengenai IJABI sebagai motor gerakan kemasyarakatan, hingga sekarang strukturnya telah meluas secara nasional hingga di Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian dapat menjadi kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain telah banyak yang aktif di dunia kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial dan media, di daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah inilah IJABI memiliki peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-masing daerah.<br />
<br />
<strong>Marja Al Taqlid dan Sayap Militer Syiah</strong><br />
<strong></strong>Dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut <em>Marja al-Taqlid</em>, sebuah institusi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama-ulama Syiah terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan konstitusi Islam. Di beberapa negara yang masuk dalam kaukus Persia lembaga itu telah berdiri kokoh dan memainkan peran yang efektif dengan kepemimpinan yang sangat kuat. Di Irak misalnya, lembaga Marja Al Taqlid dipimpin oleh Ayatollah Agung Ali al-Sistani. <br />
<br />
Lembaga Marja Al Taqlid, selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan pemerintahan dan konstitusi Islam, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintah, termasuk pembentukan sayap militer yang disebut <em>amktab</em> atau <em>lajnah asykariyah</em>. Selama <em>Marja al Taqlid</em> ini belum terbentuk maka pembentukan <em>maktab askariyah</em> pun pastilah belum sistematis dan terstruktur.</div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-52290526434072874952011-07-10T01:24:00.002+07:002011-08-07T12:20:41.459+07:00Jama'ah Tabligh<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Jamaah Tabligh didirikan oleh syeikh Muhammad Ilyas bin Syeikh Muhammad Ismail, bermazhab Hanafi, Dyupandi, al-Jisyti, Kandahlawi (1303-1364 H). Syeikh Ilyas dilahirkan di Kandahlah sebuah desa di Saharnapur, India. Ilyas sebelumnya seorang pimpinan militer Pakistan yang belajar ilmu agama, menuntut ilmu di desanya, kemudian pindah ke Delhi sampai berhasil menyelesaikan pelajarannya di sekolah Dioband, kemudian diterima di Jam’iyah Islamiyah fakultas syari’ah selesai tahun 1398 H. Sekolah Dioband ini merupakan sekolah terbesar untuk pengikut Imam Hanafi di anak benua India yang didirikan pada tahun 1283H/1867M.<br />
<br />
Di Indonesia, hanya membutuhkan waktu dua dekade, Jamaah Tabligh (JT) sudah menggurita. Hampir tidak ada kota di Indonesia yang belum tersentuh oleh model dakwah mereka. Tanda kebesaran dan keluasan pengaruhnya sudah ditunjukkan pada saat mengadakan “pertemuan nasional” di Pesantren Al-Fatah Desa Temboro, Magetan, Jawa Timur pada tahun 2004. Kenyataan ini sungguh di luar dugaan untuk sebuah organisasi yang relatif baru dan tidak mempunyai akar di Indonesia. <br />
<br />
Merebaknya JT sebenarnya hanyalah salah satu sekuen dari perkembangan serupa di banyak negara. Kelompok ini sekarang sedang mewabah di seluruh dunia, dan menjadi ujung tombak gerakan islamisasi di negara-negara atau daerah-daerah non-muslim. Mereka bisa karena menawarkan format Islam yang lebih ramah, sederhana, sentuhan personal serta tekanan pengayaan spritualitas personal. Format semacam ini bagaimanapun mengisi ruang kosong yang ditinggakan oleh kapitalisme dan modernisme. <br />
<br />
Meskipun demikian, JT tetap menimbulkan kontroversi. Sebagian kalangan menuduh kelompok ini adalah bagian dari jaringan Islam garis keras. Namun, sebagian lainnya, justru berpendapat berbeda. JT dianggap semata-mata komunitas dakwah yang bersifat apolitis. Adanya perbedaaan pandangan yang sangat tersebut menunjukkan komunitasnya ini sesungguhnya belum banyak dieksplorasi sehingga tidak mudah dipahami. Hal ini sebenarnya wajar, mengingat komunitas ini relatif kurang terbuka kepada publik.<br />
<br />
<strong>Pemikiran Dasar </strong><br />
<strong></strong>Dalam gerakan Islam kontemporer, Jamaah Tabligh adalah gerakan dakwah yang mempunyai pengikut yang terbesar, pengikutnya hampir ada di setiap negara baik yang dihuni oleh mayoritas muslim maupun non Muslim. Banyaknya pengikut Jamaah Tabligh di berbagai negara tidak terlepas dari pemikiran yang ditawarkan Jamaah Tabligh kepada pengikutnya. Ada dua prinsip yang sangat fundamental bagi Jamaah Tabligh yaitu tidak melibatkan diri dalam politik praktis dan tidak membahas masalah keagamaan yang bersifat<em> khilafiyah. </em><br />
<br />
Pemikiran Jamaah Tabligh lebih jauh bisa dikatakan bertolak belakang secara diametral dengan gerakan dakwah Islam lainnya. Sedikitnya ada empat prinsip dalam Jamaah Tabligh yang paradoks dengan gerakan dakwah Islam lain;<br />
<br />
<em>Pertama, </em>menurut Jamaah Tabligh, pada saat ini pintu ijtihad sudah ditutup. Sebab menurut Jamaah Tabligh, syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan ulama salaf sudah tidak ada lagi di kalangan ulama saat ini. Karena itu, ada keharusan bagi kaum muslimin untuk bertaklid. Pemikiran sangat bertentangan dengan pemikiran Muhammad Abduh, pemikir muslim dari Mesir, yang membuka pintu ijtihad seluas-luasnya agar kaum muslimin dapat maju.<br />
<br />
<em>Kedua, </em>pendekatan dakwah dan ibadah yang digunakan adalah dengan cara tasawuf, tidak dengan politik, sosial, budaya ataupun perlawanan bersenjata. Sebab Jamaah Tabligh sangat meyakini bahwa tasawuf adalah cara untuk mewujudkan hubungan dengan Allah dan memperoleh kelezatan iman. Mengutamakan ibadah <em>mahdhoh,</em> sebagaimana tasawuf, banyak ditentang oleh gerakan Islam lainnya terutama oleh gerakan Wahabi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dll. <br />
<br />
<em>Ketiga,</em> Jamaah Tabligh tidak memandang perlu <em>nahi munkar, </em>dengan alasan bahwa fase sekarang menurut Jamaah Tabligh adalah fase mewujudkan iklim yang kondusif bagi masuknya kaum muslimin ke dalam Jamaah mereka. Dengan prinsip ini, kehadiran Jamaah Tabligh di berbagai tempat nyaris tak mendapat resistensi. Prinsip ini banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan pemikir Islam, sebab dengan demikian (tanpa<em> nahi munkar)</em> Islam seperti agama Hindu, hanya menyeru kebaikan, tanpa mau mencegah kemunkaran. <br />
<br />
<em>Keempat, </em>Jamaah Tabligh memisahkan antara agama dan politik. Setiap anggota tidak berhak mengkaji politik atau terjun ke dalam urusan yang berhubungan dengan pemerintahan. Sebab menurut Jamaah Tabligh politik praktis hanya akan membawa kepada perpecahan. <br />
<br />
<strong>Konsep <em>Khuruj</em></strong><br />
<br />
Salah satu ciri khas gerakan Jamaah Tabligh adalah adanya konsep <em>khuruj </em>(keluar untuk berdakwah). Dalam konsepsi Jamaah Tabligh, seseorang akan dianggap sebagai pengikut Jamaah Tabligh, jika sudah turut serta dalam <em>khuruj.</em> Sebab khuruj bagi Jamaah Tabligh merupakan sebuah kewajiban.<br />
<br />
Konsep <em>khuruj </em>yang dibangun Jamaah Tabligh berdasarkan landasan teologis pimpinan Jamaah Tabligh. Landasan hukum <em>khuruj </em>bagi jamaah tabligh berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an (Al-Imran : 104 dan Al-Imran :110). <br />
<br />
Begitu juga dengan hadist, <em>khuruj </em>didasarkan pada satu hadits Nabi yang berbunyi "apabila ummatku di akhir zaman mengorbankan 1/10 waktunya di jalan Allah, akan diselamatkan." Maka setiap hari mereka juga harus menyisakan 2,5 jam waktu mereka untuk berdakwah. Yang lebih menekankan kepada aspek pembinaan suluk/akhlak, ibadah-ibadah tertentu seperti dzikir, zuhud, dan sabar.<br />
<br />
Penafsiran akan arti <em>khuruj</em> yang dimaksud oleh ayat di atas, berdasarkan mimpi pendiri Jama’ah Tabligh ini, yakni Maulana Ilyas Al-Kandahlawi, yang bermimpi tentang tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran 110 yang berbunyi : <em>“Kuntum khoiru ummatin ukhrijat linnasi …” </em>menurutnya kata <em>ukhrijat </em>dengan makna keluar untuk mengadakan perjalanan <em>(siyahah). </em><br />
<br />
Konsep <em>khuruj</em> dalam aplikasinya terdiri dari tiga tahap; <br />
• 3 hari dalam sebulan<br />
• 40 hari dalam setahun<br />
• 4 bulan sekali dalam hidup<br />
<br />
Dalam <em>khuruj </em>yang dilakukan, tempat dan target dakwah sudah ditentukan. Biasanya mereka yang <em>khuruj </em>berkelompok terdiri dari 5-10 orang. Mereka biasanya diseleksi oleh anggota <em>syura</em> Jamaah Tabligh siapa saja yang layak untuk <em>khuruj</em>. Mereka yang khuruj dikirim ke berbagai kampung yang telah ditentukan. Di kampung tempat berdakwah, para Jamaah Tabligh ini, menjadikan masjid sebagai <em>base camp</em>. Kemudian mereka berpencar ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak masyarakat lokal untuk menghadiri pertemuan di masjid dan mereka akan menyampaikan pesan-pesan keagamaan. <br />
<br />
<strong>Konteks Politik </strong><br />
<br />
Apabila mencermati ajaran dan metode dakwahnya, JT memang tetap setia dengan pendekatan non-politik. Pendekatan ini telah sukses menarik kalangan non-muslim maupun muslim yang kurang taat untuk menjaid muslim shaleh.<br />
<br />
Namun, JT sesungguhnya tidak pernah menarik garis tegas dengan gerakan-gerakan Islam radikal. Oleh karena itu, politisasi JT selalu terjadi. Hal ini ditunjang oleh metode pembinaan pasca tabligh yang lemah, menjadikan massa penganut JT mudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok Islam lainnya. <br />
<br />
Inilah yang terjadi di Pakistan. Konstituen JT yang meluas pada akhirnya dimanfaatkan oleh beragam kekuatan. Presiden Pakistan, Mohammad Rafique Tarar dan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, adalah tokoh penting yang pernah memfasilitasi perkembangan JT di Pakistan. Sayangnya, JT juga pernah terlibat usaha kudeta militer di Pakistan pada tahun 1995. Di samping itu, beberapa anggotanya juga terlibat dalam organisasi Harakat ul-Mujahideen, sebuah kelompok Islam garis keras di Pakistan.<br />
<br />
Sekarang ini bahkan diyakini bahwa sebagian besar pendukung Taliban di Afganistan, juga merupakan konstituen JT.<br />
<br />
<strong>Jaringan Jamaah Tabligh</strong><br />
<br />
Pengikut Jamaah Tabligh tersebar di lima benua terdiri dari 215 negara. Adapun pusat Jamaah Tabligh berada di perkampungan Nidzammudin, Delhi, India. Mereka memiliki masjid sebagai pusat tabligh yang dikelilingi oleh 4 kuburan wali. Dari Niszamudin inilah gerakan Jamaah Tabligh dikendalikan.<br />
<br />
Meski pusat gerakan di India, namun negara lainnya seperti Banglades dan Pakistan tidak kurang pentingnya dalam gerakan Jamaah Tabligh. Sehingga poros India-Pakistan-Bangladesh, menjadi semacam base <em>camp </em>bagi para aktivis jamaah tabligh. Setiap orang disarankan meluangkan empat bulan khuruj-nya ke tiga negara di Asia Selatan tersebut. Sebab ketiga negara tersebut, India-Pakistan-Bangladesh bisa diibaratkan sebagai <em>centre of excellence</em> sebagaimana Universitas Al-Azhar, Madinah, Harvard, Oxford, atau MIT bagi ilmu-ilmu.<br />
<br />
Pentingnya ketiga tempat ini, terlihat dari antusiasnya anggota jamaah Tabligh dalam menghadiri acara <em>ijtima’</em> yang diadakan setiap tahun. Pada tahun 1998 telah diadakan konferensi internasional tahunan di Raiwind dekat Lahore dan di Tongi dekat Dhaka, Banglades, yang telah dihadiri lebih dari satu juta kaum muslimin dari 94 negara. Konferensi internasional Jamaah Tabligh tahunan ini merupakan berkumpulnya umat Islam terbesar kedua setelah haji di Mekkah,<em> 'the second biggest muslims gathering after hajj'. </em><br />
<br />
Konferensi internasional tahunan jamaah tabligh ini juga diadakan di Amerika Utara dan Eropa. Konferensi tersebut bisa mendatangkan 10.000 muslim, dari seluruh negara-negara di Amerika Utara dan Eropa, mungkin salah satu perkumpulan terbesar muslim di Barat.<br />
<br />
Untuk mengadakan acara Internasional tersebut atau <em>ijtima’</em> dana didapatkan dari para donatur jamaah tabligh. Para donatur tersebut pada umumnya adalah para pedagang yang juga anggota jamaah tabligh. Para donatur menyumbang seikhlasnya, namun karena pada umumnya para donatur adalah wiraswastawan, maka kebutuhan untuk<em> ijtima’</em> selalu tertutupi. <br />
<br />
Dalam menjalankan organisasi jamaah tabligh, mempunyai beberapa kantor perwakilan yang menjadi koordinator dakwah disetiap wilayah. Seperti disebutkan di atas kantor utama Jamaah Tabligh, yang dikenal dengan nama Markaz di Nizamudin, New Delhi, India. Kantor utama di Eropa adalah di Dewsbury, Inggris. Asia Timur berpusat di Jakarta, Indonesia. Untuk Afrika berpusat di Derbun, Afrika Selatan. <br />
<br />
Meski tersebar di berbagai negara dan memiliki anggota ratusan ribu, namun jamaah tabligh secara administratif tidak mencatat setiap anggotanya. Keanggotaan lebih ditentukan melalui ikatan emosional. Keanggotaan terkontrol bila ada acara-acara ritual mingguan, bulanan atau ketika <em>khuruj. </em>Demikian juga dengan struktur organisasi, nyaris dibilang tak mempunyai struktur, yang ada hanya amir dan para pembantunya yang tidak terstruktur.<br />
<br />
<br />
<span class="text_normal"><strong>Jumlah Anggota</strong><br />
<br />
Jumlah anggota Jamaah Tabligh dibagi pada tiga kategori. <em>Pertama,</em> anggota aktif, yang dimaksud dengan anggota aktif, adalah mereka yang selalu berdakwah (membaca Riyadhus Shalihin atau kitab yang dijadikan referensi oleh Jamaah Tabligh, setelah shalat dhuhur atau Asar di berbagai masjid) dan juga pada umumnya anggota aktif selalu memakai pakaian yang dianggap sunnah seperti pakaian putih dengan sorban dan berjenggot dan juga selalu rutin menghadiri pengajian mingguan setiap Jum’at malam. Jumlah anggota aktif ini tidak terlalu banyak ada sekitar 7.500 orang diseluruh Indonesia. Jumlah anggota aktif ini juga terkait dengan pekerjaan, pada umumnya anggota aktif adalah para pedagang atau wiraswastawan.<br />
<br />
Kategori <em>kedua </em>adalah anggota yang setengah aktif, mereka adalah anggota Jamaah Tabligh yang kadang-kadang mau berdakwah (membaca Riyadhus Shalihin atau kitab yang dijadikan referensi oleh Jamaah Tabligh, setelah shalat dhuhur atau Asar di berbagai masjid), mereka juga kadang-kadang memakai pakaian putih dan sorban dan juga kadang-kadang mengahadiri pengajian Jum’at malam. Jumlah anggota kategori kedua ada sekitar 10.000 orang di seluruh Indonesia. Anggota kategori kedua, pada umumnya menjadi pegawai, sehingga mempunyai waktu yang terbatas.<br />
<br />
Kategori <em>ketiga</em>, anggota tidak aktif atau masih pada tahap belajar. Karakter anggota ini, tidak pernah mau berdakwah kecuali kalau diajak oleh anggota aktif. Pada umumnya belum begitu paham dasar-dasar Islam. Tidak pernah berpakaian putih (gamis) dan bersorban dan pada umumnya malu kalau menyatakan diri sebagai anggota Jamaah Tabligh. Keterkaitannya dengan Jamaah Tabligh jika diajak <em>khuruj </em>dan mempunyai waktu mereka pada umumnya ikut serta <em>khuruj.</em> Kategori <em>ketiga </em>tidak mempunyai kaitan dengan status pekerjaan. Jumlah anggota non aktif ini sekitar 15.000 orang.</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-29958143489277863902011-07-06T02:39:00.000+07:002011-07-06T02:39:52.377+07:00Biografi Imam Al-Ghazali [Hujjatul Islam]<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">A. Masa Hidup Imam Al- Ghazali<br />
1. Tempat Kelahiran Imam Al- Ghazali<br />
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan hujjatul Islam (argumentator islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam.<br />
Beliau dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat.<br />
Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (imam al-Ghazali) dan saudarnya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan<br />
Meskipun dibesarkan dalam keadaan keluarga yang sederhana tidak menjadikan beliau merasa rendah atau malas, justru beliau semangat dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, dikemudian beliau menjelma menjadi seorang ‘ulama besar dan seorang sufi. Dan diperkirakan imam Ghazali hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang sufi sampai usia 15 tahun (450-456)<br />
2. Pendidikan dan Perjalanan Mencari Ilmu<br />
Perjalanan imam Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya. Kepada ayahnya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan ynag lain, di lanjutkan di Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Setelah beliau belajar pada teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), ketika beliau tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, beliau mengajarkan mereka masuk ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan. Beliau mempelajari pokok islam (al-qur’an dan sunnah nabi).Diantara kitab-kitab hadist yang beliau pelajari, antara lain :<br />
a. Shahih Bukhori, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin Abdullah Al Hafshi<br />
b. Sunan Abi Daud, beliau belajar dari Al Hakim Abu Al Fath Al Hakimi<br />
c. Maulid An Nabi, beliau belajar pada dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Khawani<br />
d. Shahih Al Bukhari dan Shahih Al Muslim, beliau belajar dari Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asai.<br />
Begitu pula diantarnya bidang-bidang ilmu yang di kuasai imam al-Ghazli (ushul al din) ushul fiqh, mantiq, flsafat, dan tasawuf<br />
Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada imam Kharamain, beliau dalam belajar bersungguh-sungguh sampai mahir dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, mantik, membaca hikmah, dan falsafah, imam Kharamain menyikapinya sebagai lautan yang luas.<br />
Setelah imam kharamain wafat kemudian beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang tentang madzhab kitab al-basith, al- wasith, al-wajiz, dan al- khulashoh. Dalam ushul fiqih beliau mengarang kitab al-mustasfa, kitab al- mankhul, bidayatul hidayah, al-ma’lud filkhilafiyah, syifaal alil fi bayani masa ilit dan kitab-kitab lain dalam berbagai fan.<br />
Antara tahun 465-470 H. imam Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al- Radzaski di Thus, dan dari Abu Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kekpada Yusuf Al Nassaj (w-487 H). pada tahun itu imam Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur itu Ismail Al- Farisi, imam al-Ghozali menjadi pembahas paling pintar di zamanya. Imam Haramain merasa bangga dengan pretasi muridnya.<br />
Walaupun kemashuran telah diraih imam al Ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al Juwani wafat, beliau memperkenalkan imam al Ghazali kepada Nidzham Al Mulk, perdana mentri sultan Saljuk Malik Syah, Nidzham adalah pendiri madrasah al nidzhamiyah. Di Naisabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w.477 H/1084 M)<br />
Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenengkan ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluadan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan salam bukunya al mungkiz min dahalal. Selama megajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghozali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti al maqasid falsafah tuhaful al falasiyah.<br />
Pada tahun 488 H/1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan (skeptis) terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaanya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, imam al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah nidzhamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus, selam kira-kira dua tahun imam al Ghazali di kota Damaskus beliau melakukan uzlah, riyadah, dan mujahadah. Kemudian beliau pihdah ke Bait al Maqdis Palestina untuk melakukan ibadah serupa. Sektelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarohi maqom Rosulullah Saw.<br />
Sepulang dari tanah suci, imam al Ghazali mengunjungi kota kelahirannya di Thus, disinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis sampai berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal ” ihya’ ‘ulumuddin al-din” the revival of the religious ( menghidupkan kembali ilmu agama)<br />
Karena disebabkan desakan pada madrasah nidzhamiyah di Naisabur tetapi berselang selam dua tahun. Kemudian beliau madrasah bagi para fuqoha dan jawiyah atau khanaqoh untuk para mustafifah. Di kota inilah (Thus) beliau wafat pada tahun 505 H / 1 desember 1111 M.<br />
Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al asabat ‘inda amanat mengatakan, Ahmad saudaranya imam al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Abu Hamid berwudhu dan melakukan sholat, kemudian beliau berkata : Ambillah kain kafan untukku kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan diatas kedua matanya, beliau berkata ” Aku mendengar dan taat untuk menemui Al Malik kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. Imam al Ghazali yag bergelar hujjatul islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya (Thus) pada hari senin 14 Jumadil Akir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus.<br />
B. Guru dan Panutan Imam Al Ghazali<br />
Imam al Ghazali dalam perjalanan menuntut ilmunya mempunyai banyak guru, diantaranya guru-guru imam Al Ghazali sebagai berikut :<br />
1. Abu Sahl Muhammad Ibn Abdullah Al Hafsi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab shohih bukhori.<br />
2. Abul Fath Al Hakimi At Thusi, beliau mengajar imam Al Ghozali dengan kitab sunan abi daud.<br />
3. Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al Khawari, beliau mengajar imam Ghazali dengan kitab maulid an nabi.<br />
4. Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asi, beliau mengajar imam Al Ghazali dengankitab shohih Bukhori dan shohih Muslim.<br />
Dengan demikian guru-guru imam Al Ghazali tidak hanya mengajar dalam bidang tasawuf saja, akan tetapi beliau juga mempunyai guru-guru dalam bidang lainnya, bahkan kebanyakan guru-guru beliau dalam bidang hadist.<br />
C. Murid-Murid Imam Al Ghazali<br />
Imam Al Ghazali mempunyai banyak murid, karena beliau mengajar di madrasah nidzhamiyah di Naisabur, diantara murid-murid beliau adalah :<br />
1. Abu Thahir Ibrahim Ibn Muthahir Al- Syebbak Al Jurjani (w.513 H).<br />
2. Abu Fath Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Burhan (474-518 H), semula beliau bermadzhab Hambali, kemudian setelah beliau belajar kepada imam Ghazali, beliau bermadzhab Syafi’i. Diantara karya-karya beliau al ausath, al wajiz, dan al wushul.<br />
3. Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Abi Tholib Al Razi (w.522 H), beliau mampu menghafal kitab ihya’ ‘ulumuddin karya imam Ghazali. Disamping itu beliau juga mempelajari fiqh kepada imam Al Ghazali.<br />
4. Abu Hasan Al Jamal Al Islam, Ali Bin Musalem Bin Muhammad Assalami (w.541 H). Karyanya ahkam al khanatsi.<br />
5. Abu Mansur Said Bin Muhammad Umar (462-539 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali sehingga menjadi ‘ulama besar di Baghdad.<br />
6. Abu Al Hasan Sa’ad Al Khaer Bin Muhammad Bin Sahl Al Anshari Al Maghribi Al Andalusi (w.541 H). beliau belajar fiqh pada imam Ghozali di Baghdad.<br />
7. Abu Said Muhammad Bin Yahya Bin Mansur Al Naisabur (476-584 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali, diantara karya-karya beliau adalah al mukhit fi sarh al wasith fi masail, al khilaf.<br />
8. Abu Abdullah Al Husain Bin Hasr Bin Muhammad (466-552 H), beliau belajar fiqh pada imam Al Ghazali. Diantar karya-karya beliau adalah minhaj al tauhid dan tahrim al ghibah.<br />
Dengan demikian imam al ghozali memiliki banyak murid. Diantara murid–murid beliau kebanyakan belajar fiqh. Bahkan diantara murid- murid beliau menjadi ulama besar dan pandai mengarang kitab.<br />
D. Karya-Karya Imam Al Ghazali<br />
Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah :<br />
1. Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah.<br />
2. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras.<br />
3. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu).<br />
4. Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat.<br />
5. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.<br />
6. Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang rasional)<br />
7. Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.<br />
8. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan).<br />
9. Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah).<br />
10. Ayyuha al walad.<br />
11. Al musytasyfa<br />
12. Ilham al –awwam an ‘ilmal kalam.<br />
13. Mizan al amal.<br />
14. Akhlak al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan).<br />
15. Assrar ilmu addin (rahasia ilmu agama).<br />
16. Al washit (yang pertengahan) .<br />
17. Al wajiz (yang ringkas).<br />
18. Az-zariyah ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia)<br />
19. Al hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat kepada para raja).<br />
20. Al mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih).<br />
21. Syifa al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan).<br />
22. Tarbiyatul aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam)<br />
23. Tahzib al ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul fiqiha).<br />
24. Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqod).<br />
25. Yaaqut at ta’wil (permata ta’wil dalam menafsirkan al qur’an)<br />
Walupun kemashuran telah diraih imam al-ghazali beliau tetap setia terhadap gurunya dan tidak meninggalkannya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al-Juwami wafat, beliau memperkenalkan imam al-Ghazali kepada Nidham Al Mulk, perdana mentri sulatan Saljuk Malik Syah, Nidham adalah pendiri madrasah al- nidzamiyah. Di Nashabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Fadl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w. 477 H/1084 M)<br />
Setelah gurunya wafat, Al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham Al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan para ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenangkan ini, namanya semakin populer dan desegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, imam al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidhzamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al mungkiz min al dahalal. Selama mengajar di madrasah dengan tekunnya imam al Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa.penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti Falsafah Tuhfatul Al Falasifah.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Hasyim Nasution, Filsafat Islam, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, tth )<br />
Himawijaya, Mengenal Al Ghazali Keraguan Adalah Awal Keyakinan, ( Bandung : Mizan Media Utama MMU, 2004 ), cet. Ke 1<br />
Hudari Bik, Tarikh Al Tasri Al Islam, ( Semarang : Darul Ihya, 1980 ), terj. Zuhri<br />
Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ( Beirut : Darul Ma’rifah, tth ), juz 1<br />
Imam Al Ghazali, Pembuka Pintu Hati, ( Bandung : MQ Publishing, 2004), cet. 1,<br />
M. Hasan, Perbandingan Madzhab, ( Jakarta : PT Raja Granfindo Persada, 2006 ) cet. Ke 4,<br />
M. Hasan, Perbandingan Madzhab, loc. Cit</div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-5453597936154816362011-07-06T02:26:00.000+07:002011-07-06T02:26:26.311+07:00Kriteria Aliran Sesat Yang Di Release Oleh MPU Aceh<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menetapkan kriteria kapan sebuah aliran digolongkan sesat. Kriteria itu malah sudah ditetapkan empat tahun lalu, melalui fatwa MPU Nomor 4 Tahun 2007 yang ditandatangani Ketua MPU Aceh, Prof Dr Tgk H Muslim Ibrahim MA bersama para wakilnya, masing-masing Drs Tgk H Ismail Yacob, Tgk HM Daud Zamzamy, dan Drs Tgk H Gazali Mohd Syam.<br />
Ketua MPU Aceh, Tgk Muslim Ibrahim MA melalui Kepala Bagian Hukum dan Humas Sekretariat MPU Aceh, Husnul Maab SPd MPd, dalam keterangan tertulis yang diterima Serambi, Jumat (11/3/2011) mengatakan, ada 13 kriteria aliran sesat yang ditetapkan MPU. Ke-13 poin itu adalah:<br />
<br />
<ol><li>Sebuah aliran dikatakan sesat jika mengingkari salah satu rukun iman yang enam, yaitu beriman kepada Allah swt, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kepada hari akhirat, dan kepada qadha serta qadar-Nya.<a href="" name="more"></a></li>
<li>Mengingkari salah satu rukun Islam yang lima, yaitu: mengucap dua kalimah syahadat, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji.</li>
<li>Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan iktikad Ahlussunnah wal Jamaah</li>
<li>Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran. </li>
<li>Mengingkari kemurnian, dan/atau kebenaran Alquran. </li>
<li>Melakukan penafsiran Alquran tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. </li>
<li>Mengingkari kedudukan hadis Nabi Muhammad saw sebagai sumber ajaran Islam. </li>
<li>Melakukan pensyarahan terhadap hadis tidak berdasarkan kaidah ilmu mushthalah hadist.</li>
<li>Menghina dan atau melecehkan para nabi dan rasul-Nya.</li>
<li>Mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir. </li>
<li>Menghina dan melecehkan para sahabat nabi Muhammad saw. </li>
<li>Mengubah, menambah, atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti berhaji tidak mesti ke Baitullah, shalat fardhu tidak lima waktu, dan sebagainya. </li>
<li>Mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i (kuat) yang sah, seperti mengafirkan muslim hanya karena bukan merupakan anggota kelompoknya.</li>
</ol>Salah satu saja ada poin tersebut, apapun saja nama aliran nya, maka sudah dapat di pastikan sesat nya dan di hidari juga ikut berpartisipasi melaporkan aliran tersebut ke pihak yang berwajib,Menurut Muslim, kriteria aliran sesat tersebut kini sangat relevan direaktulisasi kembali, mengingat di sejumlah daerah di Aceh belakangan ini muncul keluhan, protes, dan aksi-aksi penolakan terhadap kelompok tertentu yang diyakini aktif mengembangkan aliran sesat.</div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-61820963049843234292011-07-06T02:07:00.000+07:002011-07-06T02:07:34.567+07:00Millata Abraham Nyata Sesat Menyesatkan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Aliran sesat tak pernah berhenti berkembang. Saking banyaknya diperkirakan kini ada sekitar 250 aliran sesat di Indonesia. ajaran Milata Abraham sulit terlacak asal- usulnya, hal ini karena umumnya pengikut aliran ini memilih bungkam atau tutup mulut ketika ditanyakan informasi tentang aliran Milata Abraham ini. Setidaknya begitulah kasan yang terungkap.<br />
<br />
Untuk mengetahui apa itu Milata Abraham, mari kita lihat arti dari kata tersebut:<br />
Milata Abraham biasa orang nasrani menyebutnya atau umat Islam yang berpedoman dengan Al-Qur’an menyebutnya Milah Abraham, memang sangat kabur, hampir tidak ada informasi tentang keberadaan kelompok ini.<br />
<br />
Ajaran Milata Abraham ini memang sangat menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya, menurut pengakuan dari para pengikutnya mereka berkeyakinan penuh bahwa ajarannya Muhammad menyambung kepada Yesus, ajarannya Yesus menyambung kepada Musa, karena mereka adalah anak-anak Abraham.<br />
<br />
Menurut pengikut Milata Abraham mereka tidak mau mencari perbedaan di antara ketiga komunitas besar dunia hari ini (yahudi, nasrani, dan Islam), tetapi mereka hendak mempersatukan mereka di bawah isme Allah, Tu(h)an Allah Abraham, Raja dan penguasa semesta alam, sehingga teranglah dunia pada saatnya nanti.<br />
<br />
Oleh sebab itu mereka menganjurkan pengikutnya untuk selalu berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita abdi (taati) kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai TUAN selain Allah.<br />
<br />
Abraham sendiri atau Ibrahim di kalangan Yahudi Abraham adalah sosok yang terpuji dan dimuliakan, karena baginya dia adalah bapak atau nenek moyang bangsa Israel, bapak para nabi dan orang yang termasyur di bangsanya yaitu Israel. Dalam kalangan Nashrani disebut juga bapak para nabi dan nenek moyang Yesus. Dalam kalangan Islam juga merupakan sosok yang dipuji dan dijadikan suri tauladan yang baik karena dia termasuk orang yang hanif.<br />
<br />
Kesesatan yang terdeteksi dari aliran ini:<br />
<br />
*Tidak mengakui Nabi Muhammad saw sebagai Rasul terakhir yang wajib di imani dan di yakini sepenuh nya.<br />
*Ingkar sholat lima waktu dan tata cara nya yang telah masyhur dan di sepakati oleh para ulama.<br />
*Ingkar dan tidak percaya dengan Hadits Rasulullah saw.<br />
*Tidak mengikuti tafsir Alquran dari ulama dahulu.<br />
*Hanya mengakui shalat malam dan itupun dilaksanakan dengan posisi duduk dengan menghadap lilin yang telah dinyalakan, dengan lampu yang telah dimatikan.<br />
*Meyakini masih ada rasul setelah Saiyidina Muhammad Saw.<br />
*Mengubah lafadz syahadat menjadi:<span> </span><em>“Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna al Masih al Maw’ud Ahmad Mushadeq Rasulullah.”<span> </span></em>(Tiada Tuhan Selain Allah dan Al Masih al Mau’ud, Ahmad Mushadeq Rasul Allah).<br />
*Dan masih banyak mungkin yang sulit di ketahui<br />
<br />
Semoga Allah melindungi dan menjaga kita beserta keluarga kita dari pengaruh aliran sesat, dan semoga Allah menetapkan hati kita semua dalam Ahlus sunnah waljama'ah, Amiin <br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-19965802940050300852011-07-06T01:33:00.000+07:002011-07-06T01:33:30.716+07:00Aliran Ingkar Sunnah (Hadits Rasulullah) adalah Sesat Dan Kafir<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Dalam Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh nomor 04 Tahun 2007 dijelaskan ada 13 ciri aliran Sesat, antaranya adalah: Mengingkari kedudukan hadis Nabi saw sebagai sumber ajaran Islam. Sebenarnya, dengan ini saja sudah cukup untuk menyatakan bahwa aliran seperti itu, ataupun isi pengajian yang demikian sungguh haram untuk diikuti dan juga tidak boleh ada di Aceh dan di Indonesia pada umum nya<br />
<br />
Banyak ayat Al-Quran yang mewajibkan kita untuk mengikuti dan menaati Allah dan rasulNya, malah kalau kita mengikuti, kita justeru menjadi kafir. Ambillah sebagai misal firman Allah dalam ayat 31-32 surat Al-‘Imran, maknanya: “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Senada dengan ini, firman Allah swt dalam: Surat al-Hasyr ayat: 7; Surat an-Nisa ayat: 59, 65, 80, 105, 150, 151 surat An Nahi ayat: 44 dan lain lain yang cukup banyak jumlahnya. <br />
<br />
Ayat ayat tersebut, secara cukup gamblang menjelaskan, kewajiban umat Islam untuk menaati sunnah Rasulullah saw dan tidak mengingkarinya. Makna logiknya langsung dapat difahami oleh pikiran waras dan akal yang salim adalah, tidak percaya kepada assunnah, berarti juga tidak percaya kepada Al-Quran. Sudah ijma’ umat bahwa tidak percaya kepada kedua sumber Islam yang paling asasi ini, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, berarti tidak beriman dengan keempat rukun iman lainnya, yaitu: Allah, para malaikat, hari akhirat dan qadha-qadar. Artinya lagi orang tersebut tidak beriman. Kita semua mengetahui kedudukan iman di dalam agama kita.<br />
<br />
<br />
Aliran Ingkar Sunnah ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Pada masa shahabat ra, Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan Al-Quran saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran ra. Pada akhir tujuh puluhan, di Indonesia mulai bermunculan faham Ingkar Sunnah dengan nama Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, dan sejenisnya yang sama-sama hanya menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama. <br />
<br />
Itulah sebabnya, tidak lama kemudian, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang ditanda tangani Prof KH Ibrahim Hosen LML, antara lain berbunyi: Aliran yang tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum syari’at Islam, adalah sesat menyesatkan dan berada di luar agama Islam. Dan mengaharapkan kepada Kejaksaan Agung untuk menghentikan aktivitas aliran aliran ini dan menyita semua buku yang mengandung faham aliran ingkar sunnah. Harapan itupun segera dipenuhinya.<br />
<br />
Oleh karena itu semua para pembaca yang budiman, para orang tua yang mencintai anaknya, para dosen dan mahasiswa, para penceramah dan pelaksana pengajian, dan kita semua, marilah kita menjaga diri dan orang orang yang berada di bawah kepemimpinan kita untuk sama-sama menjaga agar iman tidak tercemar dari hati kita, agar tidak menjadi orang yang ingkar sunnah. Semoga Allah selalu melidungi kita, Amin.</div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-85016831266596882562011-06-27T02:27:00.002+07:002011-06-27T02:27:39.671+07:00Tarekat Syadziliyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.<br />
<br />
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.<br />
<br />
Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.<br />
<br />
<ol><li>Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt. </li>
<li>Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur. </li>
<li>Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal). </li>
<li>Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah. </li>
<li>Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah. </li>
</ol>Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:<br />
<ol><li>Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi. </li>
<li>Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya. </li>
<li>Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya. </li>
<li>Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya. </li>
<li>Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar. </li>
</ol><br />
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.<br />
<br />
Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."<br />
<br />
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.<br />
<br />
Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar. <br />
<br />
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini. <br />
<br />
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.<br />
<br />
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.<br />
<br />
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.<br />
<br />
<br />
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.<br />
<br />
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.<br />
<br />
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.<br />
<br />
<strong>Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili: </strong><br />
<ol><li>Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan! </li>
<li>Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah." </li>
<li>Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri. </li>
<li>Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya. </li>
<li>Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya. </li>
<li>Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal. </li>
<li>Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT. </li>
</ol></div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-56433097581213728842011-06-27T02:24:00.000+07:002011-06-27T02:24:24.386+07:00Tarekat Khalwatiyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.<br />
<br />
Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).<br />
<br />
Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).<br />
<br />
Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas. Menurut salah satu bukunya, al-Bakri menceritakan, bahwa dirinya pernah mengalami hidup sebatang kara. Pada waktu kecil, tepatnya ketika berumur dua tahun, Ayah dan ibunya sempat bercerai. Ia kemudian tinggal bersama ayahnya setelah ibunya kawin lagi dengan lelaki lain. Al-Bakri juga menyatakan, secara geneologis, ayahnya masih memiliki nasab sampai kepada Khalifah Abu Bakar r.a. Sedangkan dari sisi ibunya, nasabnya sampai cucu Rasulullah SAW, al-Husein, putra Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.<br />
<br />
Hidup al-Bakri suka sekali berkeliling, terutama ke negeri-negeri yang ada di kawasan Timur Tengah. Hal itu dilakukannya tak lain guna menambah wawasan dan pengetahuan, dan belajar pada guru-guru yang dianggapnya memiliki ilmu tinggi. Dari Damaskus, kampung halamannya, ia pergi ke kota Quds di Palestina, kemudian ke Tripoli (Libanon Utara), ke kota Akka dan kemudian singgah di kota Sidon atau Shaida. Setelah menikah dengan sepupunya tahun 1141 H, ia melanjutnya perjalanannya ke Mekkah Al-Mukarramah sambil menunaikan ibadah haji. Di sana, ia banyak melakukan kontemplasi untuk memperdalam pengalaman batinnya. <br />
<br />
Setelah tinggal beberapa lama di Mekkah, ia melanjutkan perjalannya ke Mesir. Kemudian kembali ke Quds dan Irak (Baghdad dan Basrah). Tak lama, ia kembali pergi ke Mekkah untuk berhaji yang terakhir kalinya. Tahun 1161 H, ia pergi ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya (1162 H).<br />
<br />
Di Mesir inilah, ia banyak berdakwah melalui Tarekat Khalwatiyah yang diambil dari gurunya, Syekh Abdul Latif bin Husamuddin al-Halabi. Tarekat Khalwatiyah nampaknya telah banyak memberi pengaruh pada pemikiran maupun amaliyah al-Bakri sehari-hari. Sehingga dari sekitar 200 karya al-Bakri, sebagian di antaranya banyak berupa amaliyah praktis.<br />
<br />
<strong>Ajaran dan Dzikir Tarekat Khalwatiyah</strong><br />
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik. <br />
<br />
Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk, seperti mencuri, bezina, membunuh, dan lain-lain.<br />
<br />
Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya dan menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk. <br />
<br />
Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. <br />
<br />
Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa ini selain bersih juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problema hidup maupun guncangan jiwa lainnya. <br />
<br />
Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridla). Jiwa ini semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua berasal dari pemberian Allah.<br />
<br />
Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridlai). Selain jiwa ini semakin bersih, tenang, ridla terhadap semua pemberian Allah juga mendapatkan keridlaan-Nya. <br />
<br />
Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya.<br />
<br />
Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat al-Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada surat Yusuf ayat 53: “Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”. <br />
<br />
Tingkatan kedua dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”. <br />
<br />
Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa dan Yang menyempurnakannya. Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya”. <br />
<br />
Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang”.<br />
<br />
Tingkatan kelima dan keenam dari surat al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridlaan dan diridlai”. <br />
<br />
Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya. Wallahu a’lam. </div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-17316160349854029282011-06-27T02:23:00.000+07:002011-06-27T02:23:23.750+07:00Tarekat Syattariyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. <br />
<br />
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.<br />
<br />
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif. <br />
<br />
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).<br />
<br />
Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.<br />
<br />
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).<br />
<br />
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.<br />
<br />
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661). <br />
<br />
Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.<br />
<br />
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah Arab.<br />
<br />
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).<br />
<br />
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.<br />
<br />
<strong>Ajaran dan Dzikir Tarekat Syattariyah</strong><br />
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.<br />
<br />
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.<br />
<br />
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut: <br />
<ol><li><strong>Dzikir thawaf</strong>, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.</li>
<li><strong>Dzikir nafi itsbat</strong>, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah. </li>
<li><strong>Dzikir itsbat faqat</strong>, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari. </li>
<li><strong>Dzikir Ismu Dzat</strong>, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia. </li>
<li><strong>Dzikir Taraqqi</strong>, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi. </li>
<li><strong>Dzikir Tanazul</strong>, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi. </li>
<li><strong>Dzikir Isim Ghaib</strong>, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa. </li>
</ol>Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)". Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:<br />
<ol><li><strong>Nafsu Ammarah</strong>, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut: <br />
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya. </li>
<li><strong>Nafsu Lawwamah</strong>, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban. </li>
<li><strong>Nafsu Mulhimah</strong>, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan. </li>
<li><strong>Nafsu Muthmainnah</strong>, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT. </li>
<li><strong>Nafsu Radhiyah</strong>, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara', riyadlah, dan menepati janji. </li>
<li><strong>Nafsu Mardliyah</strong>, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk. </li>
<li><strong>Nafsu Kamilah</strong>, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin. </li>
</ol><br />
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu'min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.<br />
<br />
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.<br />
<br />
<strong>Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah</strong><br />
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.<br />
<br />
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia: <br />
<br />
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk). </div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-7015629154128210732011-06-27T02:19:00.000+07:002011-06-27T02:19:22.175+07:00Tarekat Naqsyabandiyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula <br />
di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua", w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).<br />
<br />
<strong>Sejarah</strong><br />
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa'id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa'id, Syekh Ahmad Sa'id, memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah <br />
<br />
Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa'id sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka. <br />
<br />
Sebagai guru fiqih Syafi'i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.<br />
<br />
Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang dipandang sebagai "Pemburu" (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah ("petautan") atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya terkait dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi syari'at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa. Setelah kematian Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup.<br />
<br />
Lahir di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid melewatkan waktu sekitar satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung halamannya pada 1881 dengan "wewenang lengkap dan mutlak" sebagai wakilnya. Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu gurunya bahwa tujuan utamanya adalah untuk "mencari dunia ini demi agama", dari tiga tempat tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan jaringan 116 wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas geografisnya. Murid-muridnya mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki agama pemerintahan "Utsmaniyah", tetapi juga sejumlah gubernur provinsi dan tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil kedua Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut Makkizada Musthafa Asim, syekh al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha untuk meraih pengaruh atas kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil. <br />
<br />
Namun, terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada masa pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di Istambul, Ahmed Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan yang politis: tulisannya yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid sangat ditentang oleh Syekh Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As'ad dari Ibril wilayah Irak Utara.<br />
<br />
<br />
Pengaruh Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh "Qadiriyah", yang sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah Kurdistan, dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara Kurdistan. Hubungan keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian nasionalisme, pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880 yang dipimpim oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri, untuk sementara, sebagian besar orang Kurdistan Iran dari kendali Iran. Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak selama beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.<br />
<br />
Khalidiyah juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang terletak di pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.<br />
<br />
Wilayah ini pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandi semasa hidup Maulana Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law) non Islam menjadi syari'at dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah pertama untuk orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia pada 1832, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama. Sebaliknya Syamil, yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu menahan Rusia hingga 159, salah satu perlawanan Muslim terhadap imperialisme Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan 1877 oleh Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada rentang waktu antara runtuhnya tsar Rusia dan pembentukan pemerintahan Soviet.<br />
<br />
Wilayah populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima Khalidiyah adalah Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira). <br />
<br />
Wakil Maulana Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari Kazan, Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah pengikut Ghumushaveni asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah yang pergi ke Bukhara, kemudian mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung ke Istambul pada 1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas lagi pada 1881 dia memperkukuh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid berada di bawah pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar diwilayah Volga-Ural, tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada 1917, dia disebut sebagai "raja spiritual rakyatnya", dan setelah kematiannya wibawa Rasulev tetap terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat Spiritual untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.<br />
<br />
Akhirnya, Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu Ismail Minangkabawi. Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia juga pergi ke Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun usahanya merupakan rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi. Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling menuduh bahwa yang lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang -- misi yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke Semenanjung Malaya.<br />
<br />
Praktik Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.<br />
<br />
<br />
<strong>Peran Politik</strong><br />
Tidak semua perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi didirikan di Syur Bazar di pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan para anggota cabang ini memainkan peranan penting dalam urusan negara Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis pertama pada tahun 1991. Di tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai keturunan menonjol dalam perlawanannya terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh seorang pengikut Naqysabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan). Naqsyabandiyah juga memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina di Xinjing pada tahun 1863 dan 1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.<br />
<br />
Ciri khas yang ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara modern, terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan Naqsyabandiyah terhadap sekulerisme selalu bersifat pasif (kecuali pemberontakan Sa'id). Penggambaran peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh Muhammad As'ad (Mehmed Esad) dihukum mati secara adil, sekarang diragukan. <br />
<br />
Sejumlah pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan intelektual: Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti Syekh Muhammad As'ad. Mehmed Zahid Kotku (w.1980), keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang masih hidup) dan Resit Erol (w. 1994). Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya secara alamiah memiliki pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah ke dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan terhadap struktur tersebut. Penting dicatat bahwa beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara menonjol di pemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal pada 1993.<br />
<br />
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini. <br />
<br />
Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan "Islam bawah tahan" di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan. <br />
<br />
<strong>Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah</strong><br />
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, "jalan" atau "marga". Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan "jalan" tadi. <br />
<br />
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.<br />
<br />
<strong>Asas-asas</strong><br />
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh 'Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha' al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-'Ushul Fi al-'Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya' al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya ("Kakek" spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).<br />
<br />
<strong>Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq adalah:</strong><br />
<br />
<ol><li>Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi). </li>
<li>Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.</li>
<li>Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)]. </li>
<li>Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini. </li>
<li>Yad kard: "ingat", "menyebut". Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. </li>
<li>Baz gasyt: "kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata. </li>
<li>Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun." </li>
<li>Yad dasyt: "mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai. </li>
</ol><br />
<br />
<strong>Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:</strong><br />
<ol><li>Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya. </li>
<li>Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya. </li>
<li>Wuquf-I qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya. </li>
</ol><br />
<strong>Zikir dan Wirid</strong><br />
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.<br />
<br />
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum'at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.<br />
<br />
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, "mengingat yang Haqiqi" dan dzikir tauhid, " mengingat keesaan". Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.<br />
<br />
Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha'if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha'if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha'if -- dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya -- bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha'if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.<br />
<br />
Ternyata latha'if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.<br />
<br />
Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh 'Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha'if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.<br />
<br />
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah. </div>Unknownnoreply@blogger.com0Indonesia-0.789275 113.92132700000002-9.451925 90.767627000000019 7.8733749999999993 137.07502700000003tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-86070311696996437932011-06-24T04:07:00.000+07:002011-06-24T04:07:44.340+07:00Imam Junayd al-Baghdadi [Imam nya tasawwuf Ahlus Sunnah Waljama'ah]<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan besar di Irak. <br />
Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).<br />
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam.<br />
Ia menjelaskan teori-teorinya dalam pengajaran-pengajarannya, serta dalam serangkaian suratnya yang hingga kini masih ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya.<br />
Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i.<br />
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.<br />
<br />
<strong>Masa Kecil Imam Junayd al-Baghdadi</strong><br />
Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam.<br />
Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan ayahnya tengah menangis.<br />
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.<br />
“Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”<br />
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata Junayd.<br />
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Junayd mengetuk pintu.<br />
“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah.<br />
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan terimalah tawaran sedekah ini.<br />
“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.<br />
“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang telah begitu dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.<br />
“Junayd, apa maksudmu Allah begitu dermawan kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.<br />
Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan padamu karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang yang berhak.”<br />
Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri. “Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar Sarri.<br />
Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.<br />
Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh empat ratus syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.<br />
“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd.<br />
Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya.<br />
“Bagus sekali, benar-benar merupakan pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu.<br />
Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd.<br />
“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.”<br />
Junayd menangis tatkala<br />
mendengan pamannnya berkata begitu.<br />
“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.<br />
“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.<br />
Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi penjual barang pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu mendirikan shalat empat ratus rakaat.<br />
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri. Disana ia menyibukkan diri dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”, sehingga tak ada sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain Allah.<br />
<br />
<strong>Imam Junayd Menunjukkan Bukti</strong><br />
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.<br />
Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”<br />
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah dilakukan oleh Junayd?”<br />
Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa yang engkau perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya.<br />
Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya adalah dosa.”<br />
Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik “Allah... Allah...” sepanjang malam.<br />
Lidah-lidah panjang para pemfitnah menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan kepada Khalifah.<br />
“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Khalifah.<br />
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak orang tergoda oleh kata-katanya.”<br />
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita yang kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang Khalifah memerintahkan<br />
agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan perhiasan-perhiasan mahal.<br />
Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya. Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya. Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk membujuknya.”<br />
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang budak wanita itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak.<br />
“Ah,” serunya sambil menghembuskan napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.<br />
Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.<br />
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang memperlakukan orang lain tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia lihat.”<br />
Sang Khalifah kemudian bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.<br />
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?”<br />
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”<br />
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat.<br />
Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”<br />
Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”<br />
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun, Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak berada disana sama sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”<br />
<br />
<strong>Imam Junayd Berkhotbah</strong><br />
Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.<br />
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata Junaid mengutarakan keberatannya.<br />
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw. <br />
Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.<br />
Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau harus bicara (berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah dijadikan sarana bagi keselamatan seluruh dunia.”<br />
Engkau tidak mau bicara saat para murid membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau bicara saat para syeikh kota Baghdad memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak mau bicara kendati aku telah mendesakmu untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau harus bicara.”<br />
“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid “Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”<br />
Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd berkhotbah di atas mimbar’.”<br />
“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid kemudian. “Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh orang.”<br />
Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri. Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.<br />
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda itu beragama Nasrani.<br />
Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata, “Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap pengetahuan orang yang beriman, kanena ia melihat dengan cahaya Tuhan’.”<br />
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau harus menjadi seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu, kanena ini adalah acara khusus bagi Muslim.”<br />
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang Muslim.<br />
Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali, masyarakat menyuarakan penentangannya. Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak untuk terus berkhotbah namun ia menolak.<br />
“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat mengusahakan kehancuranku sendiri.”<br />
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke mimbar dan mulai berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya.<br />
“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.<br />
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu masyarakat adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan berkata pada mereka, Aku tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan begitu, aku tidak menentang kata-kata beliau.”<br />
Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab, ‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”<br />
<br />
subhanallah, wallahu a'lam <br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-80093822890017457022011-06-24T03:37:00.001+07:002011-06-24T03:37:50.232+07:00Biografi Syekh Ibin Athaillah al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><b>Kelahiran dan keluarganya</b><br />
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athoillah al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Yastrib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.<br />
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Athoillah dalam kitabnya Lathoiful Minan Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah, kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding.<br />
Keluarga Ibnu Athoillah adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Athoillah memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’Sholihin.<br />
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Athoillah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.<br />
<br />
Ibnu Athoillah menceritakan dalam kitabnya Lathoiful minan Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Athoillah yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Athoillah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak,, aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Athoillah) demi orang yang alim fiqih ini.<br />
Pada akhirnya Ibn Atho’illah memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Athoillah menjadi tiga masa :<br />
<br />
<b>Masa pertama</b><br />
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Athoillah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya.<br />
<br />
<b>Masa kedua</b><br />
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.<br />
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”. Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.<br />
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya IbnuNaasyi. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku, apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.<br />
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.<br />
<br />
<b>Masa ketiga</b><br />
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan IbnuAthoillah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.<br />
Menurut Ibnu Athoillah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.<br />
<br />
Ibnu Athoillah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar. Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Athoillah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Athoillah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab Tobaqoh al-syafiiyyah al-Kubro.<br />
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.<br />
Beliaulah yg ahirnya mampu menyadarkan seorang yg di klaim sebagai Imam para kaum puritan wabi/salafi yg dulunya sangat menentang sebagian Kaum Shufi yaitu Imam Ibnu Taymiyyah, dari aqidah tajsim menjadi kembali ke aqidah asy’ariyyah dan tidak lagi membenci kaum shufi.<br />
<br />
<b>Karomah Ibn Athoillah</b><br />
Al-Munawi dalam kitabnya Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: SyaikhKamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillahdengan keras: “Wahai Kamal tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti iniIbnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan IbnuAthoillah ketika meninggal kelak.<br />
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillahsedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Masa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya.<br />
<br />
<b>Ibn Atho’illah wafat</b><br />
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-47676543124343078602011-06-17T00:55:00.000+07:002011-06-17T00:55:40.840+07:00Dasar Hukum Sebagai Dalil Ahlussunnah Waljama'ah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;<br />
<br />
<strong>Al-Qur’an </strong><br />
<br />
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :<br />
<br />
ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ<br />
<br />
<em>“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2) </em><br />
<br />
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْنَ<br />
<br />
<em>“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. </em><br />
<br />
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;<br />
<br />
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ<br />
<br />
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.<br />
<br />
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia<br />
<br />
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ<br />
<br />
<em>“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”. </em><br />
<br />
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.<br />
<br />
<span class=" fbUnderline"><strong>Al-Hadits/As-Sunnah </strong></span><br />
<br />
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;<br />
<br />
وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ<br />
<br />
<em>“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44) </em><br />
<br />
وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ<br />
<br />
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)<br />
<br />
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.<br />
<br />
<span class=" fbUnderline"><strong>Al-Ijma’ </strong></span><br />
<br />
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.<br />
<br />
Kemudian ijma’ ada 2 macam :1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.<br />
<br />
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.<br />
<br />
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر منكم ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59<br />
<br />
ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ<br />
<br />
<em>“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”. </em><br />
<br />
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.<br />
<br />
اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ<br />
<br />
<em>“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak. </em><br />
<br />
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431<br />
<br />
اِنَّ اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ لأَعْظَمِ.<br />
<br />
<em> “Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”. </em><br />
<br />
<span class=" fbUnderline"><strong>Al-Qiyas </strong></span><br />
<br />
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.<br />
<br />
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :<br />
<br />
فَاعْتَبِرُوْا يأُوْلِى اْلأَيْصَارِ<br />
<br />
<em>“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2) </em><br />
<br />
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.<br />
<br />
<em>“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya. </em><br />
<br />
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :<br />
<br />
ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ<br />
<br />
<em> “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95). </em><br />
<br />
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-77036153051933654332011-06-12T01:15:00.000+07:002011-06-12T01:15:45.103+07:00Dalil-Dalil Tentang Boleh nya Tawassul<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 21.25pt;"><span>Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dalil dari alqur’an.</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: justify; text-indent: -43.05pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
<b><span dir="RTL" lang="AR-SA">ياأيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة </span></b></span><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
Suat Al-Isra', 57:</span><span lang="IN"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2cm;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> <span dir="RTL" lang="AR-SA">أ<b>ُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَان مَحْذُوراً</b></span><span dir="LTR"></span><b><span dir="LTR"></span> </b></span><b><span lang="IN">(</span></b><span>17</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">57</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">)</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka [857] siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. </span><span>[857] Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan 'Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br />
Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat [mati,] ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik [amal sholeh].</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 2cm; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 2cm; text-align: justify; text-indent: -21.25pt;"><span lang="IN"><span>2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Nabi Muhammad SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni N. Ya'qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya (QS 12:98).</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">قَالُواْ يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ</span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span>. <span dir="RTL" lang="AR-SA">قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ</span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 78pt; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">97. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 78pt; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;"><span>98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span>Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan "ayyuhum aqrabu", yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.</span><span lang="IN"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify; text-indent: -21.25pt;"><span lang="IN"><span>3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan N. Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilah<span dir="RTL" lang="AR-SA">بِمَا عَهِدَ عِندَكَ</span>Dengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah ada pada sisimu (kenabian).</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 89.45pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 89.45pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 89.45pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-left: 89.45pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span>Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 212.65pt; text-align: justify; text-indent: -155.95pt;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ</span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span>"Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify; text-indent: -21.25pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span lang="IN"><span> </span></span><span>Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
<b><span dir="RTL" lang="AR-SA">وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا</span></b></span><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span><br />
"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span><br />
</span><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dalil dari hadis. </span></b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-left: 60.55pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span>Tawassul kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 63.8pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
Sebagaimana nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda :</span><span lang="IN"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
<b><span dir="RTL" lang="AR-SA">قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص: 615</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>)</b></span><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify; text-indent: 17.4pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku". </span><span>Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu"</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify; text-indent: 31.55pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Almawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span><span> </span><br />
Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi : </span><b><span lang="IN"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615</span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span>)</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span><br />
Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih segi sanad, demikian juga Syekh Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-left: 60.55pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>b.<span> </span></span></span><span dir="LTR"></span><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya.</span></b><span><br />
Diriwatyatkan oleh Imam Hakim :</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير</span></b><b><span></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. (أخرجه الحاكم فى المستدرك</span></b><span dir="LTR"></span><b><span><span dir="LTR"></span>) </span></b><b><span lang="IN"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
Dari Utsman bin Hunaif: "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata"Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:"bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar". (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
<b>c. </b></span><b><span><span> </span></span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tawassul kepada nabi Muhammad SAW setelah meninggal.</span></b><span lang="IN"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span> </span></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Diriwayatkan oleh Imam Addarimi : </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص</span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> : 43)</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span>Dari Aus bin Abdullah: "Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: "Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung", maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk" (Riwayat Imam Darimi)</span><span lang="IN">. </span><span>Diriwayatkan oleh Imam Bukhori : </span><span lang="IN"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137</span></b><span dir="LTR"></span><b><span><span dir="LTR"></span> )</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata:"Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu turunlah hujan.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><span><br />
<b>d. </b></span><b><span><span> </span></span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul</span></b><span> .</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 2cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو نعيم وبن سنى</span></b><span dir="LTR"></span><b><span><span dir="LTR"></span>).</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murkaMu dan karena mencari ridlaMu, maka aku memintaMu agar Kau selamatkan dari neraka, agar Kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diriMu", maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya". (Riwayat Ibnu Majad dll.).</span><span lang="IN"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma'qool, akan tetap Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Alafkar 1/272).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span>Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 2cm; text-align: justify;"><span lang="IN">Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span lang="IN"><br />
</span><b><span>Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 12pt 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 42.5pt;"><span>Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu. Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyartakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut. </span></div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><span lang="IN"><span>a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span> </span></span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pandangan Ulama Madzhab</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.25pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:"Kalau aku berziarah ke kubur nabi, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab:"Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat". (Al-Syifa' karangan Qadli 'Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.25pt;"><span lang="IN">Demikian juga ketika Imam Ahmad Bin Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab :"Syafii ibarat matahagi bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita"</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;"><span lang="IN"> </span><b><span>(<span dir="RTL" lang="AR-SA">شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166</span></span></b><span dir="LTR"></span><span><span dir="LTR"></span>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm -2.85pt 0.0001pt 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى</span></b><b><span lang="IN"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;"><b><span>(<span dir="RTL" lang="AR-SA">العواصق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span>) </span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><span lang="IN">"Keluarga nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad), aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku"</span></div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>b.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span lang="IN">Pandangan Imam Taqyuddin Assubuky</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.25pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)</span></div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>c.<span> </span></span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pandangan Ibnu Taimiyah</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 21.25pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 42.55pt; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه</span></b><span dir="LTR"></span><b><span><span dir="LTR"></span>).</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 21.3pt; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
<b>d. <span> </span>Pandangan Imam Syaukani</b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 14.15pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain ( orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para shohabat.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 21.3pt; text-align: justify;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">e.<span> </span></span></b><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pandangan Muhammad Bin Abdul Wahab [pendiri Wahabi].</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: 14.15pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap AlBushoiri atas perkataannya YA AKROMAL KHOLQI dan membakar dalailul khoirot. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Maka beliau membantah : “ Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal 68)</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
</span><b><span lang="IN"></span></b><b><span>Dalil-dalil yang melarang tawassul</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: 21.25pt;"><span>Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:</span><b><span lang="IN"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 1cm; text-align: justify; text-indent: -14.15pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">1. Surat Zumar, 2:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ</span></b><span dir="LTR"></span><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 1cm; text-align: justify;"><span>Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.<br />
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 1cm; text-align: justify;"><span lang="IN"><span> </span>Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut: tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara; tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify; text-indent: -1cm;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">2. Surah al-Baqarah, 186:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ</span></b><span dir="LTR"></span><b><span><span dir="LTR"></span> 2. 186. </span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><span>Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><span><br />
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.</span><span lang="IN"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span> </span><br />
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 14.2pt; text-align: justify;"><span><br />
3. Surat Jin, ayat 18:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA">وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً</span></b><span dir="LTR"></span><b><span lang="AR-SA" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span dir="LTR"></span> </span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> <b>72. 18.</b> </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><span>Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 1cm; text-align: justify;"><span><br />
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 1cm; text-align: justify;"><span>Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui perantara, bukan menyekutukan Allah atau meminta kepada selain Allah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 1cm; text-align: justify;"><span> </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 1cm; text-align: justify;"><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dan akhirnya kita berserah diri kepada Allah yang tidak punya sekutu bagi Nya, semoga kesalahan pemahaman tentang Tawassul yang terjadi selama ini, dapat berubah menjadi hidayah bagi kaum pengingkar, sekurang2nya mereka tidak lagi mengkafirkan, membid'ahkan dan mensyirikkan orang lain sembarangan, semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua, Amiin </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left;"><br />
</div><span> </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 42.55pt; text-align: justify;"><br />
</div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-59525977037292201802011-06-12T01:03:00.000+07:002011-06-12T01:03:05.504+07:00Tawassul Dan Wasilah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pengertian Tawassul</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 21.3pt; text-align: left; text-indent: 21.25pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. </span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left; text-indent: -18pt;"><span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left; text-indent: -18pt;"><span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorat kepadanya dan Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorat sesungguhnya hanyalah Allah semata.</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left; text-indent: -18pt;"><span lang="IN" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>·<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span><span dir="LTR"></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do'a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.</span><span lang="IN"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 21.3pt; text-align: left; text-indent: -21.3pt;"><b><span lang="IN"><span></span></span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Bentuk Do’a Tawassul</span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left; text-indent: -18pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span>Tawassul dengan amal sholeh kita</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left; text-indent: 21.25pt;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal 160)</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left; text-indent: 21.25pt;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: left; text-indent: -18pt;"><b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"><span>b.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></span></b><span dir="LTR"></span><b><span lang="IN">Tawassul dengan orang sholeh</span></b><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left; text-indent: 21.25pt;"><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai amrtabat dan derajat tinggi dei depan Allah. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.</span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> </span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dan akhirnya kita berserah diri kepada Allah yang tidak punya sekutu bagi Nya, semoga kesalahan pemahaman tentang Tawassul yang terjadi selama ini, dapat berubah menjadi hidayah bagi kaum pengingkar, sekurang2nya mereka tidak lagi mengkafirkan, membid'ahkan dan mensyirikkan orang lain sembarangan, semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua, Amiin </span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin: 0cm 0cm 0.0001pt 35.45pt; text-align: left;"><br />
</div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-9493689765722793762011-06-05T03:32:00.000+07:002011-06-05T03:32:26.421+07:00Salafi-Wahabi mengkafirkan Ayah-Ibunda Rasulullah SAW<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Orang-orang Wahabi (red: salafi) yang kata nya paling beriman dan paling mengikuti sunnah, memang tidak bisa menjaga lidah dari ucapan mengkafirkan orang sembarangan tanpa pilih kasih, bahkan mudah saja mengatakan ayah ibu Rasulullah adalah kafir/musyrik. Tak kah kamu pertimbangkan ayat Allah:<br />
“sesungguhnya orang2 musyrik adalah najis” (surat at-Taubah azat 28)<br />
Ya memang para ulama dalam menafsirkan ayat di atas ada yang mengartikan najis dalam arti hakiki hingga orang-orang kafir tidak boleh memasuki mesjid, dan ada juga para ulama yang menafsirkan najis dalam arti majazi, hingga maksudnya adalah najis dalam hal aqidah.<br />
<br />
Tapi tetap saja, makna mana sajapun yang diambil dari kedua ayat di atas sangat menyakiti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin seorang Rasulullah yang suci dilahirkan daripada orang-orang yang beraqidahkan najis atau dilahirkan dari daging dan darah yang najis. La haulun wa la quwwatun illa billah.<br />
<br />
Lihatlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:<br />
إن الله اصطفاني من ولد إبراهيم إسماعيل واصطفى من ولد إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشا واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم<br />
<br />
Sesungguhnya Allah mensucikan daripada anak2 Ibrahim: Ismail, mensucikan daripada anak2 Ismail: Kinanah, mensucikan daripada Kinanah Quraisy, dan mensucikan daripada Quraisy: Bani Hasyim, dan Allah mensucikan aku daripada Bani Hasyim.(Hadits riwayat Muslim)<br />
<br />
Cobalah pikir pakai otak, jangan pakai dengkul, apakah mungkin Allah mensucikan mereka, dari generasi ke generasi, sementara mereka adalah orang2 kafir???<br />
<br />
Dan kemudian apakah kalian lupa dengan firman Allah:<br />
إِنَّمَا يريدُ اللَّه لِيُذْهِب عَنْكُم الرِّجْس أَهْلَ الْبَيْت وَيطَهِّرَكُم تَطْهِيراً<br />
<br />
"Sesungguhnya Allah hanya ingin menghilangkan najis dari ahlul baitmu dan mensucikan mu dengan sesuci-sucinya."<br />
<br />
Inilah kesalahan wahabi. Mereka tidak pernah melihat dalil-dalil lain yang lebih kuat dan lebih qoth’i. Sudahlah cara mereka sangat tekstual dalam memahami nash ditambah pula tak mau melihat dan menggabungkan dalil-dalil lain yang ada. Maka hancurlah istimbath mereka dalam segala bidang, baik fiqih, tauhid maupun tasawuf. Inilah yang menjadi sebab kenapa mereka mengharamkan isbal, pembangungan kubur, pemahaman tentang makna bid’ah dan banyak lagi.<br />
<br />
Lalu bagaimana dengan hadits riwayat Muslim:<br />
<br />
حدثنا يحيى بن أيوب ومحمد بن عباد واللفظ ليحيى قالا حدثنا مروان بن معاوية عن يزيد يعني بن كيسان عن أبي حازم عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استأذنت ربي أن أستغفر لأمي فلم يأذن لي واستأذنته أن أزور قبرها فأذن لي<br />
<br />
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampun untuk ibuku maka Dia tak mengizinkanku, kemudian aku minta izin untuk menziarahi kuburnya maka Dia mengizinkan aku. (HR. Muslim 976, juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, An Nasa’I dan Ibnu Hibban, semuanya dari jalur Abu Hurairah)<br />
<br />
Mendengar hadits ini, maka kita jangan tergesa-gesa megatakan bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah kafir. Wal ‘iyadzubillah…<br />
<br />
Harus kita teliti dulu pendapat para ulama tentang pemahaman hadits itu sebenarnya bagaimana. Mari kita dengar apa kata Imam Suyuthi penutup amirul mukminin fil hadits:<br />
<br />
“ Adapun hadits tersebut maka tidak mesti diambil daripadanya hukum kafir berdasarkan dalil bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga ketika di awal-awal Islam dilarang untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang mukmin yang ada hutangnya tapi belum dilunaskan karena istighfar Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan dijawab Allah dengan segera, maka siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang doanya akan sampailah kepada derajat yang mulia di surga, sementara orang yang berhutang itu tertahan pada maqomnya sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana yang ada dalam hadits (jiwa setiap mukmin terkatung dengan hutangnya sampai hutangnya itu dilunaskan). Maka seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam bersamaan dengan posisinya sebagi seorang wanita yang tak pernah menyembah berhala, maka beliaupun tertahan dari surga di dalam barzakh karena ada sesuatu yang lain diluar kufur.”[At-Ta’zhim wal Minnah Suyuthi hal 29]<br />
<br />
Kemudian mari kita simak apa kata Al-Allamah Al Arif Billah Syaikh Zaki Ibrahim pimpinan Tariqat Syadziliyah Asyirah Muhammadiyah di Mesir:<br />
<br />
1. Bahwasanya istighfar adalah bagian dari penghapusan dosa, maka seseorang tidak akan berdosa selama dakwah Islam belum sampai kepadanya. Maka tidak perlulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memintakan ampun untuk orang yang belum terhitung telah melakukan dosa dan Allahpun juga tak akan mengiqobnya sebagai dosa. Maka memintakan ampun kepada ibunya, adalah suatu hal yang sia-sia, dan bukanlah daripada sifat para Nabi melakukan suatu hal yang sia-sia.<br />
2. Sesungguhnya ahlul bait Nabi tak akan masuk ke dalam neraka dan ibunya adalah daripada ahlul bait Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dan lainnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Aku memohon kepada Allah supaya tidak ada satupun ahlul baitku yang masuk ke dalam neraka, maka Allah mengabulkan permhonanku.” Dan begitupula yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ayat: wa la saufa yu’tika Rabbuka fa tardha; dan daripada keridhoan Muhammad adalah tidak ada satu daripada ahlul baitnya yang masuk ke dalam neraka. Maka memintakan ampun kepada ibunya dalam kondisi yang seperti ini juga merupakan suatu hal yang sia-sia dan percuma, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disucikan Allah dari hal yang percuma dan sia-sia.[‘Ismatun Nabi Zaki Ibrahim hal.96]<br />
<br />
Ketiga pemahaman yang diungkapkan oleh dua ulama kita di atas sangatlah mewakili pemahaman jumhur ulama lainnya yang tidak pernah mengatakan bahwa ibu Rasulullah adalah kafir.<br />
<br />
Adapun riwayat di dalam Tafsir Thabari tentang turunnya surat Al Baqaroh ayat 119 adalah untuk ayah dan ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Thobari:<br />
<br />
. أخبرنا الثوري ، عن موسى بن عبيدة ، عن محمد بن كعب القرظي ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " ليت شعري ما فعل أبواي ، ليت شعري ما فعل أبواي فنزلت إنا أرسلناك بالحق بشيرا ونذيرا ولا تسأل عن أصحاب الجحيم[Jami’ul Bayan Tafsir Thobari hal.748 Jilid 1]<br />
<br />
Adalah riwayat mursal yang sangat dho’if. Ulama telah berijma’ akan jatuhnya sanadnya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Yang pasti, telah ijma’ ayat ini turun untuk orang-orang kafir daripada ahlul kitab.[‘Ismatun Nabi Zaki Ibrahim hal.96 ]<br />
<br />
Adapun pendapat Imam Nawawi ketika mensyarahkan hadits di ziarahdi atas, Imam Nawawi mengatakan:<br />
فيه جواز زيارة المشركين في الحياة وقبورهم بعد الوفاة<br />
[Syarah Shohih Muslim Hal. 39 Jilid 7 Imam Nawawi]<br />
<br />
Maka pendapat Imam Nawawi ini bertentangan dengan pendapat Imam Muslim sendiri yang meriwayatkan hadits tersebut di dalam shohihnya, yang mana Imam Muslim memasukkan hadits tersebut ke dalam Bab: Isti’dzanun Nabi Rabbahu fi Ziyarati Qobri Ummihi (Minta Izinnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Allah untuk Menziarahi Makam Ibunya). Maka tentunya kita lebih memilih pendapat Imam Muslim, karena Imam Muslim tentu lebih paham kenapa hadits tersebut tidak diberinya judul Minta Izinnya Nabi Allah untuk Menziarahi Makam Musyrik. Entah apa yang menyebabkan Imam Nawawi berpendapat sedemikian. Saya juga masih bertanya-tanya. Demi menjaga adab saya kepad Imam Nawawi, maka saya tidak berani mengatakan beliau tersalah walaupun memang setiap kalam itu mungkin diterima dan mungkin ditolak kecuali kalam shohobu hadzal Maqam (sambil Imam Malik menunjukkan tangannya ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), tapi ini adalah husnuzhon saya terhadap Imam Nawawi, mungkin beliau ada maksud lain di luar kufur, atau ada maksud lain yang saya belum mampu untuk memahaminya. Makanya beliau tidak menshorihkan/menjelaskan secara gamblang dengan perkataannya bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah kafir, seolah-olah Imam Nawawi juga tahu bahwa ibu Rasulullah memang tidak kafir. Wallahu a’lam.<br />
<br />
Akhirnya saya tutup dengan sebuah kisah Imam Al-Qodhi Abu Bakar ibnu Al-Arabi salah seorang ulama muhaqqiqin besar Malikiyah pernah ditanya: Bahwa ada orang yang mengatakan orang tua Nabi shallallahu alaihi wa sallam di neraka. Apa jawab Ibnu Al-Arobi? Beliau mengatakan; “Terlaknat orang yang mengatakan orang tua Nabi di neraka karena Allah Ta’ala berfirman: <br />
<br />
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا .<br />
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasulullah, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat dan Allah menyiapkan kepada mereka adzab yang hina” ( Al-Ahzab 57)<br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-74430732555809764752011-06-05T02:31:00.000+07:002011-06-05T02:31:52.137+07:00Inilah kesalahan mendasar Manhaj Salafi Wahabi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Mereka selalu menamakan setiap teks yang memberitakan tentang Allah sebagai sifat-sifat-Nya, padahal tujuan teks-teks tersebut hanya untuk mengungkapkan penyandaran saja (al-Idlâfah). [Artinya penyandaran sesuatu kepada nama Allah untuk menunjukan bahwa Allah memuliakan sesuatu tersebut]. Sementara, tidak setiap bentuk Idlâfah itu dalam pengertian sifat, contohnya firman Allah tentang Nabi Isa: <br />
وَنَفَخْتُ فيْه مِنْ رُوْحِي (الحجر: 29)<br />
Kata ”من روحي” dalam ayat ini tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki sifat yang disebut dengan ”ruh” [lalu sebagian ruh tersebut adalah bagian dari Nabi Isa yang ditiupkan kepadanya]. (Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah). Barangsiapa memahami bahwa setiap Idlâfah itu sebagai sifat maka dia seorang yang telah sesat dan ahli bid’ah.<br />
<br />
Mereka selalu saja berkata: ”Hadits-hadits yang kita bicarakan ini adalah hadits-hadits mutasyâbihât yang maknanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah saja”, lalu mereka berkata: ”Kita harus memahami hadits-hadits tersebut sesuai makna zahirnya”. <br />
Kata-kata seperti ini adalah ungkapan yang sangat aneh, mereka mengatakan ”Makna-maknanya tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah saja”, tapi begitu mereka sendiri memaknai itu semua dalam makna zahirnya. Padahal siapapun tahu bahwa makna zahir dari kata ”Istawâ” adalah duduk, dan makna zahir ”nuzûl” adalah pindah dengan bergerak dari satu tempat (atas) ke tempat yang lain (bawah). [Lalu adakah pantas jika Allah disifati dengan sifat-sifat benda semacam ini? Allah maha suci dari apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung].<br />
<br />
Mereka sendiri telah menetapkan sifat-sifat bagi Allah sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, padahal sesungguhnya seluruh sifat-sifat Allah itu hanya kita tetapkan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dengan dalil-dalil yang pasti (tawqîfiyyah). <br />
Dalam menetapkan sifat-sifat Allah mereka tidak pernah membedakan antara hadits-hadits yang masyhur; seperti sabda Rasulullah: <br />
ينْزلُ ربّنا إلَى السّماء الدّنيا<br />
dengan hadits-hadits yang tidak benar; seperti hadits:<br />
رأيتُ ربّي فِي أحْسَن صُوْرة<br />
dengan hanya bahwa keduanya diriwayatkan dalam hadits lalu secara langsung mereka menetapkan sifat-sifat bagi Allah; tidak peduli baik itu dengan dasar yang masyhur atau tidak. <br />
Dalam menetapkan sifat-sifat Allah mereka tidak membedakan antara hadits marfû’ (yang langsung berasal dari Rasulullah) dengan hadits mawqûf (yang berasal dari pernyataan seorang sahabat, atau yang berasal dari pernyataan seorang tabi’in). Dengan hanya bahwa semua itu diriwayatkan dalam sebuah hadits lalu secara langsung mereka menetapkan sifat-sifat bagi Allah; tidak peduli baik itu hadits marfû’ atau mawqûf. <br />
Dalam memahami sifat-sifat Allah, terhadap beberapa teks mereka melakukan takwil sementara terhadap beberapa teks lainnya mereka tidak memakai takwil [Artinya pemahaman mereka hanya didasarkan kepada hawa nafsu belaka]. Seperti dalam sebuah hadits: <br />
مَنْ أتَانِي يَمْشِي أتَيتُهُ هَروَلة<br />
[Makna literal hadits ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Siapa mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku (Allah) akan mendatanginya dengan lari kecil”. Makna zahirnya seakan Allah berlari].<br />
Mereka memahami hadits ini dengan takwil, mereka tidak memahaminya dalam makna zahirnya. Mereka berkata: ”Kandungan hadits ini adalah untuk mengungkapkan karunia dan nikmat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya”. <br />
<br />
Mereka memahami kandungan hadits-hadits mutasyâbihât dalam makna indrawi. Ini nyata dan sangat jelas ada dalam ungkapan-ungkapan mereka, seperti kata: ”Yanzil bi dzâtih ”ينزل بذاته”, Yantaqil ”ينتقل”, Yatahawwal ”يتحول”. [Ini ungkapan-ungkapan sesat, karena itu semua hanya berlaku untuk sifat-sifat benda. Dalam pemahaman mereka; yanzil bidzâtih artinya; ”Allah turun dengan Dzat-Nya”, yantaqil artinya; ”Allah pindah”, dan yatahawwal artinya; ”Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain”]. Lalu mereka berkata: ”Lâ kamâ na’qil ”لا كما نعقل”; artinya: ”Itu semua tidak seperti yang kita bayangkan dalam akal pikiran kita”. Kata-kata terakhir inilah yang banyak mengelabui orang-orang awam. Padahal kesimpulan mereka ini jelas telah menyalahi akal sehat karena berangkat dari pemahaman indrawi dan sifat-sifat benda pada hak Allah. <br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-12258035384903984192011-06-05T02:09:00.000+07:002011-06-05T02:09:25.715+07:00Para Ulama Yang Menentang Faham Sesat Ibnu Taimiyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Ibn Taimiyah (w 728 H), sosok kontroversial, telah dibantah segala kesesatannya oleh berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Maliki, dan oleh para ulama madzhab Hanbali. Bantahan-bantahan tersebut datang dari mereka yang hidup dengan Ibn Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang setelahnya. Berikut ini adalah di antara nama-nama mereka dengan beberapa karyanya masing-masing :<br />
al-Qadli al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H). <br />
al-Qadli ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi. <br />
al-Qadli Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki. <br />
al-Qadli Ahmad ibn ‘Umar al-Maqdisi al-Hanbali. <br />
Ibn Taimiyah di masa hidupnya dipenjarakan karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara tersebut dengan rekomedasi fatwa dari para hakim ulama empat madzhab ini. Yaitu pada tahun 726 H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyun at-Tawarikh karya Imam al-Kutbi, dan dalam kitab Najm al-Muhtadi Fi Rajm al-Mu’tadi karya Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi. <br />
asy-Syaikh Shaleh ibn ‘Abdillah al-Batha’ihi, Syaikh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H). <br />
asy-Syaikh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan ‘Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i. salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. <br />
* Tuffah al-Arwah Wa Fattah al-Arbah<br />
al-Faqih al-Mutakallim, ahli tasawwuf terkemuka di masanya, asy-Syaikh Tajuddin Ahmad ibn ibn ‘Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H). <br />
Pimpinan para hakim (Qadli al-Qudlat) di seluruh wilayah negara Mesir, asy-Syaikh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H). <br />
* I’tiradlat ‘Ala Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalam.<br />
Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir, asy-Syaikh ‘Ali ibn Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang berkeyakinan tajsim, dan dalam keyakinan kita barang siapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir yang wajib dibunuh”. <br />
asy-Syaikh al-Faqih ‘Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah Mesir, asy-Syaikh ‘Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya. <br />
al-Faqih Syamsuddin Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘arsy, secara hakekat berada dan bertempat di atasnya. Juga mengatakan bahwa sifat kalam Allah berupa huruf dan suara. <br />
al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Taqiyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H). <br />
* al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar.<br />
* ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyyah.<br />
* Syifa’ as-Saqam Fi Ziyarah Khair al-Anam<br />
* an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalaq al-Mu’allaq.<br />
* Naqd al-Ijtima’ Wa al-Iftiraq Fi Masa’il al-Aiman Wa ath-Thalaq.<br />
* at-Tahqiq Fi Mas’alah at-Ta’liq.<br />
* Raf’ asy-Syiqaq Fi Mas’alah ath-Thalaq. <br />
al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushuli al-Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah. <br />
al-Imam al-Hafizh Abu Sa’id Shalahuddin al-‘Ala’i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah memerangi Ibn Taimiyah. <br />
* Lihat kitab Dakha’ir al-Qashr Fi Tarajum Nubala’ al-‘Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.<br />
* Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi.<br />
Pimpinan para hakim (Qadli al-Qudlat) kota Madinah al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H). <br />
al-Imam asy-Syaikh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. <br />
* Risalah Fi Nafy al-Jihah.<br />
al-Qadli Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu. Pertama dalam masalah thalaq, dan kedua dalam msalah ziarah ke makam Rasulullah. <br />
al-Qadli Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. <br />
al-Faqih al-Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah memerangi Ibn Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya. <br />
sejarawan terkemuka (al-Mu’arrikh) al-Faqih al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H). <br />
* Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi.<br />
al-Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi ( w721 H). <br />
* Risalah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah Fi Masa’alah ath-Thalaq.<br />
* Risalah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah Fi Masalah az-Ziayarah. <br />
al-Faqih Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H). <br />
* Risalah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.<br />
al-Faqih al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi’i (w 739 H). <br />
as-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). belaiu adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, beliau telah tulisan ketetapan prihal kesesatan Ibn Taimiyah. <br />
al-Hafizh adz-Dzahabi (w 748 H), yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri. <br />
* Bayan Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.<br />
* an-Nashihah adz-Dzahabiyyah.<br />
al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H). <br />
* Tafsir an-Nahr al-Madd Min al-Bahr al-Muhith.<br />
asy-Syaikh ‘Afifuddin ‘Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H). <br />
al-Faqih asy-Syaikh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan rihlah (perjalanan). <br />
al-Faqih Tajuddin ‘Abd al-Wahhab ibn Taqiyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H). <br />
* Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra.<br />
Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu’arrikh) asy-Syaikh Ibn Syakir al-Kutbi (w 764 H). <br />
* ‘Uyun at-Tawarikh.<br />
asy-Syaikh ‘Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H). <br />
* at-Tukhfah al-Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.<br />
al-Qadli Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna’i (w 750 H). <br />
* al-Maqalat al-Mardliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az-Ziyarah al-Muhammadiyyah. Dicetak satu kitab dengan al-Barahin as-Sathi’ah karya asy-Syaikh Salamah al-‘Azami.<br />
asy-Syaikh ‘Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H). <br />
* Rislaah Fi Mas’alah ath-Thalaq.<br />
asy-Syaikh Ahamad ibn ‘Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H). <br />
* al-Abhatas al-Jaliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.<br />
al-Imam al-Hafizh ‘Abd ar-Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H). <br />
* Bayan Musykil al-Ahadits al-Waridah Fi An ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.<br />
al-Imam al-Hafizh Ibn HaJar al-‘Asqalani (w 852 H). <br />
* ad-Durar al-Kaminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah.<br />
* Lisan al-Mizan.<br />
* Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari.<br />
* al-Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah.<br />
al-Imam al-Hafizh Waliyuddin al-‘Iraqi (w 826 H). <br />
* al-Ajwibah al-Mardliyyah Fi ar-Radd ‘Ala al-As’ilah al-Makkiyyah.<br />
al-Faqih al-Mu’arrikh al-Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H). <br />
* Tarikh Ibn Qadli Syubhah.<br />
al-Faqih al-Mutakallim Abu Bakr al-Hushni penulis kitab Kifayah al-Akhyar (829 H). <br />
* Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa nasaba Dzalika Ila al-Imam Ahmad. <br />
Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afriak pada masanya, asy-Syaikh Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H). <br />
al-‘Allamah ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan Syaikh al-Islam jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan Imam ‘Ala’uddin al-Bukhari ini dikutip oleh al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-Lami’. <br />
asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-Hanafi (w 867 H). <br />
* ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah Fi al-I’tiqadat.<br />
asy-Syaikh Ahamd Zauruq al-Fasi al-Maliki (w 899 H). <br />
* Syarah Hizb al-Bahr.<br />
al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi (902 H) <br />
* al-I’lan Bi at-Taubikh Liman Dzamma at-Tarikh. <br />
asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibn ‘Abd as-Salam al-Mishri (w 931 H) <br />
* al-Qaul an-Nashir Fi Radd Khubbath ‘Ali ibn Nashir.<br />
al-‘Allamah asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Damasyqi yang dikenal dengan Ibn Qira (w 968 H) <br />
al-Imam al-Qadli al-Bayyadli al-Hanafi (1098 H) <br />
* Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam.<br />
asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Witri (w 980 H) <br />
* Raudlah an-Nazhirin Wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin.<br />
al-Faqih asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H). <br />
* al-Fatawa al-Haditsiyyah.<br />
* al-Jauhar al-Munazh-zham Fi Ziyarah al-Qabr al-Mu’azham.<br />
* Hasyihah al-Idlah Fi Manasik al-Hajj Wa al-‘Umrah.<br />
asy-Syaikh Jalaluddin ad-Dawani (w 928 H). <br />
* Syarah al-‘Ada’id al-Adludiyyah.<br />
asy-Syaikh ‘Abd an-Nafi ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Iraq ad-Damasyqi (w 962 H) <br />
* Lihat kitab Dakha’ir al-Qashr Fi Tarajum Nubala’ al-Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.<br />
asy-Syaikhal-Qadli ‘Abu ‘Abdillah al-Maqarri. <br />
* Nazhm al-La’ali Fi Suluk al-Amali.<br />
asy-Syaikh Mulla ‘Ali al-Qari al-Hanafi (w 1014 H) <br />
* Syarah asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa Li al-Qadli ‘Iyadl.<br />
al-Imam asy-Syaikh ‘Abd ar-Ra’uf al-Munawi asy-Syafi’i (w 1031 H). <br />
* Syarh asy-Syama’il al-Muhammadiyyah Li at-Tirmidzi.<br />
asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Allan ash-Shiddiqi al-Makki (w 1057 H). <br />
* aL-Mubrid al-Mubki Fi Radd ash-Sharim al-Manki.<br />
asy-Syaikh Ahmad al-Khafaji al-Mishri al-Hanafi (w 1069 H). <br />
* Syarah asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa Li al-Qadli ‘Iyadl.<br />
al-Mu’arrikh asy-Syaikh Ahmad Abu al-‘Abbas al-Maqarri (w 1041 H). <br />
* Azhar ar-Riyadl.<br />
asy-Syaikh Muhammad az-Zarqani al-Maliki (w 1122 H) <br />
* Syarah al-Mawahib al-Ladunniyyah.<br />
asy-Syaikh ‘Abd al-Ghani an-Nabulsi ad-Damasyqi (1143 H). Beliau banyak menyerang Ibn Taimiyah dalam berbagai karyanya. <br />
al-Faqih ash-Shufi asy-Syaikh Muhammad Mahdi ibn ‘Ali ash-Shayyadi yang dikenal dengan nama ar-Rawwas (w 1287 H) <br />
asy-Syaikh Idris ibn Ahmad al-Wizani al-Fasi al-Maliki. <br />
* an-Nasyr ath-Thayyib ‘Ala Syarah asy-Syaikh ath-Thayyib.<br />
asy-Syaikh as-Sayyid Muhammad Abu al-Huda ash-Shayyadi (w 1328 H). <br />
* Qiladah al-Jawahir.<br />
asy-Syaikh Musthafa ibn asy-Syaikh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali, hakim Islam wilayah Duma, hidup sekitar tahun 1331 H. <br />
* Risalah Fi ar-Radd ‘Ala al-Wahhabiyyah. <br />
al-Mufti asy-Syaikh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi (w 1348 H). <br />
* an-Nuqul asy-Syar’iyyah.<br />
asy-Syaikh Mahmud Khaththab as-Subki (w 1352 H). <br />
* ad-Din al-Khalish Aw Irsyad al-Khlaq Ila Din al-Haq.<br />
Mufti kota Madinah asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi (w 1353 H). <br />
* Luzum ath-Thalaq ats-Tsalats Daf’ah Bima La Yastathi’ al-Alim Daf’ah.<br />
asy-Syaikh ‘Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H). <br />
* an-Nafhah az-Zakiyyah Fi ar-Radd ‘Ala al-Wahhabiyyah.<br />
* al-Hujjah al-Mardliyyah Fi Itsbat al-Wasithah al-Lati Nafatha al-Wahhabiyyah.<br />
asy-Syaikh Ahmad Hamdi ash-Shabuni al-Halabi (w 1374 H). <br />
* Risalah Fi ar-Radd ‘Ala al-Wahhabiyyah.<br />
asy-Syaikh Salamah al-‘Azami asy-Syafi’i (w 1376 H) <br />
* al-Barahin as-Sath’iah Fi Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syai’ah.<br />
* Berbagai makalah dalam surat kabar al-Muslim Mesir.<br />
Mufti nwgara Mesir asy-Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w 1354 H). <br />
* That-hir al-Fu’ad Min Danas al-‘I’tiqad.<br />
Wakil para Masyayikh Islam pada masa Khilafah ‘Utsmaniyyah Turki asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari (1371 H). <br />
* Kitab al-Maqalat al-Kautsari.<br />
* at-Ta’aqqub al-Hatsits Lima Yanfihi Ibn Taimiyah Min al-Hadits.<br />
* al-Buhuts al-Wafiyyah Fi Mufradat Ibn Taimiyah.<br />
* al-Isyfaq ‘Ala Ahkam ath-Thalak.<br />
asy-Syaikh Ibrahim ibn ‘Utsman as-Samnudi al-Mishri, salah seorang ulama yang hidup di masa sekarang. <br />
* Nushrah al-Imam as-Subki Bi Radd ash-Sharim al-Manki.<br />
Ulama terkemuka di kota Mekah asy-Syaikh Muhammad al-‘Arabi at-Tabban (w 1390 H). <br />
* Bara’ah al-Asy’ariyyin Min ‘Aqa’id al-Mukhalifin.<br />
asy-Syaikh Muhammad Yusuf al-Banuri al-Bakistani. <br />
* Ma’arif as-Sunan Syarah Sunan at-Tirmidzi.<br />
asy-Syaikh Manshur Muhammad ‘Uwais, salah seorang ulama yang masih hidup di masa sekarang. <br />
* Ibn Taimiyah Laisa Salafiyyan.<br />
al-Hafizh asy-Syaikh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi (w 1380 H). <br />
* Hidayah ash-Shughra’.<br />
* al-Qaul al-Jaliyy.<br />
asy-Syaikh al-Musnid al-Habib Abu al-Asybal Salim ibn Husain ibn Jindan, salah seorang ulama terkemuka di Indonesia (w 1389 H) <br />
* al-Khulashah al-Kafiyah Fi al-Asanid al-‘Aliyah.<br />
asy-Syaikh al-Muhaddits ‘Abdullah al-Ghumari al-Maghribi (w 1413 H). <br />
* Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah.<br />
* ash-Shubh as-Safir Fi Tahqiq Shalar al-Musafir.<br />
* ar-Rasa’il al-Ghumariyyah.<br />
* Dan berbagai tulisan beliau lainnya.<br />
asy-Syaikh Hamdullah al-Barajuri, salah seorang ulama terkemuka di Saharnafur India. <br />
* al-Basha’ir Li Munkiri at-Tawassul Bi Ahl al-Qubur.<br />
asy-Syaikh Abu Saif al-Hamami secara terang telah mengkafirkan Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad. Beliau adalah salah seorang ulama besar dan terkemuka di wilayah Mesir. Kitab karyanya ini telah direkomendasikan oleh para masyaikh Azhar dan ulama besar lainnya, yaitu oleh Syaikh Muhammad Sa’id al-‘Arfi, asy-Syaikh Yusuf ad-Dajwi, asy-Syaikh Mahmud Abu Daqiqah, Asy-Syaikh Muhammad al-Bujairi, asy-Syaikh Muhammad ‘Abd al-Fattah ‘Itani, asy-Syaikh Habibullah al-Jakni asy-Syinqithi, asy-Syaikh Dasuqi ‘Abdullah al-‘Arabi, dan asy-Syaikh Muhammad Hafni Bilal. <br />
asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Isa ibn Badran as-Sa’di al-Mishri. <br />
as-Sayyid asy-Syaikh al-Faqih ‘Alawi ibn Thahir al-Haddad al-Hadlrami. <br />
asy-Syaikh Mukhtar ibn Ahmad al-Mu’ayyad al-Azhami (w 1340 H). <br />
* Jala’ al-Auham ‘An Madzhab al-A’immah al-‘Izham Wa at-Tawassul Bi Jah Khair al-Anam -‘Alaih ash-Shalah Wa as-Salam-. Kitab ini berisi bantahan atas kitab karya Ibn Taimiyah berjudul Raf’u al-Malam.<br />
asy-Syaikh Isma’il al-Azhari. <br />
* Mir’ah an-Najdiyyah.<br />
KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga. <br />
* Siraj ath-Thalibin ‘Ala Minhaj al-‘Abidin Ila Jannah Rabb al-‘Alamin.<br />
KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia, perintis ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis ormas ini tidak lain hanya untuk membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh kaum Wahhabiyyah. <br />
* ‘Aqidah Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah.<br />
KH. Sirajuddin ‘Abbas, salah seorang ulama terkemuka Indonesia. <br />
* I’tiqad Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah.<br />
* Emapat Puluh Masalah Agama<br />
KH. ‘Ali Ma’shum Yogyakarta (w 1410 H), salah seorang ulama terkemuka Indonesia. <br />
* Hujjah Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah.<br />
KH. Ahmad ‘Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia. <br />
* Aqa’id Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Ditulis tahun 1311 H<br />
KH. Bafadlal ibn as-Syaikh ‘Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga. <br />
* Risalah al-Kawakib al-Lamma’ah Fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahl as-Sunnah.<br />
* Syarah Risalah al-Kawakib al-Lamma’ah Fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahl as-Sunnah.<br />
KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang ulama betawi, pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta (1990-2000). <br />
* Taudlih al-Adillah.<br />
KH. Ahmad Makki ‘Abdullah Mahfuzh Sukabumi Jawa Barat. <br />
* Hishn as-Sunnah Wa al-Jama’ah <br />
<br />
<br />
***Untuk lebih konperehensif silahkan baca al-Maqalat as-Sunniyyah Fi Kasyf Dlalalat Ahmad Ibn Taimiyah karya al-Hafizh ‘Abdullah al-Habasyi. <br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-32181500588440109532011-06-05T02:01:00.000+07:002011-06-05T02:01:22.411+07:00Kesesatan-kesesatan Syekh Ibnu Taimiyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Kontroversi Pertama; “Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa alam ini tidak memiliki permulaan, ia ada azali bersama Allah”<br />
Dalam keyakinan Ibn Taimiyah bahwa jenis-jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak memiliki permulaan, ia azali atau qadim sebagaimana Allah Azali dan Qadim. Menurutnya, yang baharu dan memiliki permulaan dari alam ini adalah materi-materinya saja (al-Maddah atau al-Afrad), sementara jenis-jenisnya adalah sesuatu yang azali. Keyakinan Ibn Taimiyah ini persis seperti keyakinan para filosof terdahulu yang mengatakan bahwa alam ini adalah sesuatu yang qadim atau azali; tidak memiliki permulaan, baik dari segi jenis-jenisnya maupun dari segi materi-materinya. Hanya saja Ibn Taimiyah mengambil separuh kesesatan dan kekufuran para folosof tersebut, yaitu mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah hanyalah al-Jins atau an-Nau’-nya saja.<br />
Keyakinan sesat dan kufur ini adalah di antara beberapa keyakinan yang paling buruk yang dikutip dari faham-faham ektrim Ibn Taimiyah. Keyakinan semacam ini jelas berseberangan dengan logika sehat, dan bahkan menyalahi dalil-dalil tekstual, sekaligus menyalahi apa yang telah menjadi konsensus (Ijma’) seluruh orang Islam. Ibn Taimiyah menuslikan faham ekstrimnya ini dalam bayak karyanya. Di antaranya dalam; <br />
Lihat Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, j. 2, h. 75. Lihat pula j, 1, h. 245 dan j. 1, h. 64. <br />
Lihat Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 224. Lihat pula j. 1, h. 83 dan j. 1, h. 109. <br />
Kitab Syarah Hadits an-Nuzul, h. 161<br />
Lihat Majmu’ al-Fatawa, j. 6, h. 300<br />
Lihat Kitab Syarah Hadits ‘Imran ibn al-Hushain, h. 192<br />
Lihat Naqd Maratib al-Ijma’, h. 168<br />
Seluruh kitab-kitab ini telah diterbitkan dan anda dapat melihat statemennya ini dengan mata kepala sendiri.<br />
Keyakinan Ibn Taimiyah ini jelas menyalahi teks-teks syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, dan menyalahi konsensus atau ijma’ seluruh orang Islam. Juga nyata sebagai faham yang menyalahi akal sehat. Di dalam salah satu ayat al-Qur’an Allah berfirman:<br />
هو الأول والآخر (الحديد: 3)<br />
“Dialah Allah al-Awwal (yang tidak memiliki permulaan), dan Dialah Allah al-Akhir (yang tidak memiliki penghabisan)”. QS. al-Hadid: 3.<br />
Kata al-Awwal dalam ayat ini artinya al-Azali atau al-Qadim. Maknanya tidak memiliki permulaan. Makna al-Awwal, al-Azali dan atau al-Qadim dalam pengertian ini secara mutlak hanya milik Allah saja. Tidak ada suatu apapun dari makhluk Allah yang memiliki sifat seperti ini. Karena itu segala sesuatu selain Allah disebut makhluk, karena semuanya adalah ciptaan Allah, semuanya menjadi ada karena ada yang mengadakan. Dengan demikian semua makhluk tersebut baru, semuanya ada dari tidak ada. Keyakinan Ibn Taimiyah di atas jelas menyalahi teks al-Qur’an, sama saja ia telah menetapkan adanya sekutu bagi Allah dalam sifat ke-azalian-Nya. Dengan demikian keyakinan ini adalah keyakinan syirik.<br />
Kontroversi Ke Dua: “Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah Jism (benda)” <br />
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah benda ia sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai karyanya, dan bahkan membela kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism. Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam [Syarah Hadits an-Nuzul, h. 80], [Lihat Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 1, h. 62, j. 1, h. 148].[Lihat karyanya; Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 197, dan j. 1, h. 180].[Majmu’ Fatawa, j. 4, h. 152], dan [Bayan Talbis al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101] .Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayan Talbis al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan”[Ibid].<br />
<br />
Kontroversi Ke Tiga; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan arah, dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran”<br />
Keyakinan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran dengan sangat jelas ia sebutkan dalam karya-karyanya sendiri. Di antaranya dalam karyanya berjudul Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: <br />
“Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin telah sepakat bahwa Allah bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apa bila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak kepada apapun selain langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan tempat-Nya di banding orang-orang Jahmiyyah”[Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30]<br />
Dalam karyanya berjudul as-Sab’iniyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: <br />
“Allah berfirman (Laisa Kamitslihi Syai’) Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun) QS. Asy-Syura: 11, pada ayat ini ia mensucikan diri-Nya bahwa Dia tidak menyerupai suatu apapun. Kemudian Allah berfirman (Wa Huwa as-Sami’ al-Bashir), pada ayat ini Dia menyerupakan diri-Nya sendiri dengan makhluk-Nya. Ayat QS. Asy-Syura; 11 ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menetapkan kesucian Allah dari menyerupai segala makhluk-Nya, namun demikian Dia tidak lepas dari keserupaan dengan makhluk-nya dalam keberadaan dengan tempat”[As-Sab’iniyyah, h. 178]<br />
Dalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Ibn Taimiyah menuliskan perkataan Abu Sa’id ad-Darimi dan menyepakatinya, berkata: <br />
“Sesungguhnya Allah memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Tidak boleh bagi siapapun untuk membayangkan bahwa bentuk Allah tersebut adalah sesuatu yang berpenghabisan. Seharusnya ia beriman bahwa Allah memiliki bentuk, dan cukup ia serahkan pengetahuan tentang itu kepada-Nya. Demikian pula tempat-Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Dia berada di atas ‘arsy di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya) memiliki bentuk dan batasan”[Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29]<br />
<br />
Kontroversi Ke Empat; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah duduk”<br />
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah bersifat dengan duduk sangat jelas ia sebutkan dalam beberapa tempat dari karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian para pengikutnya ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang sangat “buruk”. Di antaranya dalam kitab berjudul Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mayoritas Ahlussunnah berkata bahwa Allah turun dari ‘arsy, namun demikian ‘arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya”[Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 262]<br />
Dalam kitab Syarh Hadits an-Nuzul, Ibn Taimiyah menuliskan: “Pendapat ke tiga, yang merupakan pendapat benar, yang datang dari pernyataan para ulama Salaf dan para imam terkemuka bahwa Allah berada di atas ‘arsy. Dan bahwa ‘arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya ketika Dia turun menuju langit dunia. Dengan demikian maka ‘asry tidak berada di arah atas-Nya”[Syarh Hadits an-Nuzul, h. 66]<br />
Dan bahkan lebih jelas lagi ia sebutkan dalam Majmu’ Fatawa. Ibn Taimiyah berkata: “Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan bahwa Rasulullah; Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya”[Majmu’ Fatawa, j. 4, h. 374]<br />
Keyakinan buruk Ibn Taimiyah ini disamping telah dinyatakan sendiri dalam karya-karyanya, demikian pula telah disebutkan oleh para ulama yang semasa dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya. Dengan demikian keyakinan ini bukan sebuah kedustaan belaka, tapi benar adanya sebagai keyakinan Ibn Taimiyah. Dan oleh karena itu keyakinan inilah di masa sekarang ini yang dipropagandakan oleh para pengikutnya. Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah; yaitu Al-Imam al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya bejudul an-Nahr al-Madd menuliskan sebagai berikut: <br />
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri, buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut di dalam bukunya tersebut”[An-Nahr al-Madd, tafsir ayat al-Kursi.]<br />
Klaim Ibn Taimiyah bahwa apa yang ia tuliskan ini sebagai keyakinan ulama Salaf adalah bohong besar. Kita tidak akan menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf saleh yang berkeyakinan tasybih semacam itu. Anda perhatikan pernyataan Ibn Taimiyah di atas, sangat tidak buruk dan tidak konsisten. Di beberapa karyanya ia menyatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, namun dalam karyanya yang lain ia menyebutkan bahwa Allah duduk di atas kursi. Padahal dalam sebuah hadits shahih telah disebutkan bahwa besarnya bentuk antara ‘arsy di banding dengan kursi tidak ubahnya seperti sebuah kerikil kecil di banding padang yang sangat luas. Artinya bahwa bentuk ‘arsy sangat besar sekali, dan merupakan makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Di mana logikanya, ia mengatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, dan pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa Allah duduk di atas kursi?!<br />
Cukup untuk membantah keyakinan sesat semacam ini dengan mengutip pernyataan al-Imam ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib; atau yang lebih dikenal dengan nama al-Imam ‘Ali Zain al-‘Abidin, bahwa beliau berkata: “Maha suci Engkau wahai Allah, Engakau tidak di dapat diindra, tidak dapat di sentuh, dan tidak dapat di raba”[Lihat al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380]. <br />
Artinya bahwa Allah bukan benda yang berbentuk dan berukuran.<br />
<br />
Kontroversi Ke Lima; ”Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Neraka dan siksaan siksaan terhadap orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan”<br />
Termasuk kontroversi besar yang menggegerkan dari Ibn Taimiyah adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah[Lihat Ibn al-Qayyim dalam Hadi al-Arwah Ila Bila al-Afrah, h. 579 dan h. 582]. Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: ”Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas tempat neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka pendapat bahwa neraka akan punah dikuatkan dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara mereka yang mengatakan bahwa neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil baik dari al-Qur’an maupun Sunnah”[Ar-Radd ‘Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, h. 67].<br />
Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas merupakan dusta besar terhadap para ulama Salaf dan terhadap al-Imam ath-Thabarani. Anda jangan tertipu, karena pendapat itu adalah ”akal-akalan” belaka. Anda tidak akan pernah menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf yang berkeyakinan semacam itu. Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas telah menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits serta ijma’ seluruh orang Islam yang telah bersepakat bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Dalam kurang lebih dari 60 ayat di dalam al-Qur’an secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa surga dengan segala kenikmatan dan seluruh orang-orang mukmin kekal di dalamnya tanpa penghabisan, dan bahwa neraka dengan segala siksaan serta seluruh orang-orang kafir kekal di dalamnya tanpa penghabisan. Di antaranya dalam QS. Al-Ahzab: 64-65, QS. At-Taubah: 68, QS. An-Nisa: 169, dan berbagai ayat lainnya.<br />
Kemudian di dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa keduanya kekal tanpa penghabisan. Di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:<br />
يقال لأهل الجنة: يا أهل الجنة خلود لا موت، ولأهل النار: خلود لا موت (رواه البخاري)<br />
”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari)<br />
Ini adalah salah satu kontroversi Ibn Taimiyah, -selain berbagai kontroversi lainnya- yang memicu ”peperangannya” dengan al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki. Hingga kemudian al-Imam as-Subki membuat risalah berjudul ”al-I’tibar Bi Baqa al-Jannah Wa an-Nar” sebagai bantahan keras kepada Ibn Taimiyah, yang bahkan beliau tidak hanya menyesatkannya tapi juga mengkafirkannya. Di antara yang dituliskan al-Imam as-Subki dalam risalah tersebut adalah sebagai berikut: <br />
”Sesungguhnya keyakinan seluruh orang Islam bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah. Kesepakatan (Ijma’) kayakinan ini telah dikutip oleh Ibn Hazm, dan bahwa siapapun yang menyalahi hal ini maka ia telah menjadi kafir sebagaimana hal ini telah disepakati (Ijma’). Sudah barang tentu hal ini tidak boleh diragukan lagi, karena kekalnya surga dan neraka adalah perkara yang telah diketahui oleh seluruh lapisan orang Islam. Dan sangat banyak dalil menunjukan di atas hal itu”[Lihat al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar dalam ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah karya al-Hafizh ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki, h. 60]<br />
Pada bagian lain dalam risalah tersebut, al-Imam as-Subki menuliskan: <br />
”Seluruh orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Keyakinan ini dipegang kuat turun temurun antar generasi yang diterima oleh kaum Khalaf dari kaum Salaf dari Rasulullah. Keyakinan ini tertancap kuat di dalam fitrah seluruh orang Islam yang telah diketahui oleh seluruh lapisan mereka. Bahkan tidak hanya orang-orang Islam, agama-agama lainpun di luar Islam meyakini demikian. Maka barang siapa meyalahi keyakinan ini maka ia telah menjadi kafir”[Ibid, h. 67]<br />
<br />
Wallahu a'lam</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-42489919404255994422011-06-05T01:31:00.000+07:002011-06-05T01:31:55.278+07:00Perbedaan antara Ibnu al Jawzi dan Ibn Qayyim al Jawziyyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify;"><span lang="ES">Ingat; beda antara Ibn al Jawzi dan Ibn Qayyim al Jawziyyah, yang pertama ulama besar terkemuka sementara yang kedua seorang yang sesat berakidah <i>tasybih </i>(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES">-<u> 1- Ibn al Jawzi,</u> bernama Jamaluddin Abu al Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali al Qurasyi al Baghdadi, dikenal dengan sebutan Ibn al Jawzi; al imam al hafizh al mufassir al ushuliyy al mutakallim. Salah seorang ulama Ahlussunnah terkemuka multidisipliner; ahli hadits <i>(al Hafizh)</i>, ahli fiqih <i>(al Faqih)</i>, ahli tafsir <i>(al Mufassir)</i>, ahli teologi <i>(al Mutakallaim)</i>, ahli sejarah <i>(al Mu’arrikh)</i>, sufi terkemuka yang zuhud dan wara’. Lahir tahun 510 H, dan wafat pada 7 Ramadlan tahun 597 H.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="ES">Di antara karya-karyanya; <i>al Mughni Fi ‘Ilm al Qur’an, Zad al Masir Fi ‘Ilm at Tafsir, al Maudlu’at Fi al Hadits, Musykil ash Shihah, adl Dlu’afa Fi al Hadits, Bustan al Wa’idzin, Shayd al Khathir, Dzamm al Hawa, Laftah al Kabd Ila Nashihah al Walad, Ru’us al Qawarir, Shifat ash Shafwah, Talbis Iblis, al Muntazhim Fi at Tarikh, al Hasan al Bashri, Manaqib Umar ibn Abdil Aziz, al Adzkiya’, al Wafa Fi Fadla’il al Musthafa, Daf’u Syubah at Tasybih Bi Akaff at Tanzih (kitab dengan terjemahan yang ada di hadapan anda ini), taqwim al Lisan, Salwah al Ahzan,</i> dan lainnya.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="ES">Lebih lengkap lihat biografi beliau dalam; <i>Siyar A’lam an Nubala’</i>, j. 21, h. 365, <i>Tadzkirah al Huffazh</i>, h. 1097, <i>Wafayat al A’yan</i>, j. 2, h. 321, <i>al Bidayah Wa an Nihayah</i>, j. 31, h. 28, <i>Dzail Thabaqat al Huffazh</i>, j. 1, h. 399, <i>al Kamil Fi at Tarikh</i>, j. 12, h. 171, dan lainnya.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES"><u>- 2 - Ibn Qayyim al Jawziyyah;</u> adalah murid Ibn Taimiyah, banyak mengambil kesesatan-kesesatan dari Ibn Taimiyah, benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya tersebut dalam berbagai masalah <i>ushuliyyah</i>. </span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Ia bernama Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah. Al-Dzahabi dalam kitab <i>al-Mu’jam al-Mukhtash</i> menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES">“Ia tertarik dengan disiplin Hadits, matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung dalam bidang fiqih dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan lainnya. Ia telah dipenjarakan beberapa kali karena pengingkarannya terhadap kebolehan melakukan perjalanan untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri dengan menulis beberapa karya dan menyebarkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan pendapat-pendapatnya sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam banyak permasalahan” <i>(al-Mu’jam al-Mukhtash)</i>.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab <i>ad-Durar al-Kaminah</i> menuliskan tentang Ibn Qayyim sebagai berikut:</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES">“Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibn Taimiyah, hingga tidak sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibn Taimiyah, dan bahkan ia selalu membela setiap pendapat apapun dari Ibn Taimiyah. Ibn Qayyim inilah yang berperan besar dalam menyeleksi dan menyebarluaskan berbagai karya dan ilmu-ilmu Ibn Taimiyah. Ia dengan Ibn Taimiyah bersama-sama telah dipenjarakan di penjara al-Qal’ah, setelah sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta hingga banyak dipukuli ramai-ramai. Ketika Ibn Taimiyah meninggal dalam penjara, Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibn Qayyim masih mendapat beberapa kali hukuman karena perkataan-perkataannya yang ia ambil dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena itu Ibn Qayyim banyak menerima serangan dari para ulama semasanya, seperti juga para ulama tersebut diserang olehnya” <i>(ad-Durar al-Kâminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah )</i>.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Sementara Ibn Katsir menuliskan tentang sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES">“Ia (Ibn Qayyim) bersikukuh memberikan fatwa tentang masalah talak dengan menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibn Taimiyah. Tentang masalah talak ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luas antara dia dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin as-Subki dan ulama lainnya” <i>(Al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235)</i>.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Ibn Qayyim adalah sosok yang terlalu optimis dan memiliki gairah yang besar atas dirinya sendiri, yang hal ini secara nyata tergambar dalam gaya karya-karya tulisnya yang nampak selalu memaksakan penjelasan yang sedetail mungkin. Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia jadikan rujukan adalah selalu saja perkataan-perkataan Ibn Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut karena dalam pandangannya ia memiliki kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh karena itu telah terjadi perselisihan yang cukup hebat antara Ibn Qayyim dengan pimpinan para hakim <i>(Qâdlî al-Qudlât)</i>; Imam al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal dalam masalah kebolehan membuat perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melakukan lomba). Ibn Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat Imam as-Subki, hingga ia mendapatkan tekanan dan hukuman saat itu, yang pada akhirnya Ibn Qayyim menarik kembali pendapatnya tersebut.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Imam Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab <i>Kifâyah al-Akhyâr</i>, dalam karyanya berjudul <i>Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad</i> sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES">“Ibn Taimiyah adalah orang yang berpendapat bahwa mengadakan perjalanan untuk ziarah ke makam para Nabi Allah adalah sebagai perbuatan yang haram, dan tidak boleh melakukan qashar shalat karena perjalanan tersebut. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah secara terang-terangan menyebutkan haram safar untuk tujuan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah. Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh muridnya sendiri; yaitu Ibn Qayyim al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa suatu hari Ibn Qayyim mengadakan perjalan ke al-Quds Palestina. Di Palestina, di hadapan orang banyak ia memberikan nasehat, namun ditengah-tengah nasehatnya ia membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulannya Ibn Qayyim kemudian berkata: “Karena itu aku katakan bahwa sekarang aku akan langsung pulang dan tidak akan menziarahi al-Khalil (Nabi Ibrahim)”. Kemudian Ibn Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli (Nablus Syam), di sana ia kembali membuat majelis nesehat, dan di tengah nasehatnya ia kembali membicarakan masalah ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulan pembicaraannya Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang saat itu berdiri hendak memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun peristiwa itu dicegah oleh gubernur Nablus saat itu. Karena kejadian ini, kemudian penduduk al-Quds Palestina dan penduduk Nablus menuslikan berita kepada para penduduk Damaskus prihal Ibn Qayyim dalam kesesatannya tersebut. Di Damaskus kemudian Ibn Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab Maliki. Dalam keadaan terdesak Ibn Qayyim kemudian meminta suaka kepada salah seorang Qadli madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-Hanbali. Di hadapannya, Ibn Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan menyatakan keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahan-kesalahannya tersebut. Dari sini Ibn Qayyim kembali dianggap sebagai muslim, darahnya terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibn Qayyim dipanggil lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia sampaikan di al-Quds dan Nablus, tapi Ibn Qayyim membantah telah mengatakannya. Namun saat itu terdapat banyak saksi bahwa Ibn Qayyim telah benar-benar mengatakan fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibn Qayyim dihukum dan di arak di atas unta, lalu dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya kembali disidangkan dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibn Qayyim hendak dihukum bunuh. Namun saat itu Ibn Qayyim mengatakan bahwa salah seorang Qadli madzhab Hanbali telah menyatakan keislamannya dan keterpeliharaan darahnya serta diterima taubatnya. Lalu Ibn Qayyim dikembalikan ke penjara hingga datang Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah Qadli Hanbali tersebut datang dan diberitakan kepadanya prihal Ibn Qayyim sebenarnya, maka Ibn Qayyim lalu dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia kemudian dipukuli dan diarak di atas keledai, setelah itu kemudian kembali dimasukan ke penjara. Dalam peristiwa ini mereka telah mengikat Ibn Qayyim dan Ibn Katsir, kemudian di arak keliling negeri, karena fatwa keduanya -yang nyeleneh- dalam masalah talak” <i>(Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, h. 122-123)</i>.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Ibn Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, dalam berbagai permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul <i>Badâ-i’ al-Fawâ-id</i>, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybîh, yang lalu dengan dusta mengatakan bahwa bait-bait syair tersebut adalah tulisan Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim menuliskan:</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES">“Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk di atas arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy tersebut bersama-Nya” <i>(Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 39-40)</i>.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Tulisan Ibn Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya Imam ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat mengagungkan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, seperti anggapan Ibn Qayyim, tentu ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Pada bagian lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan: ”Mereka yang berpendapat bahwa langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah berada di dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya” <i>(Badâ-i’ al-Fawâ-id, h. 24)</i>.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul <i>Zâd al-Ma’âd</i>. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya langit tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span lang="ES">Syekh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab <i>Barâ-ah al-Asy’ariyyîn</i> dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:</span></div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><br />
</div><div style="line-height: 16pt; margin: 0cm 27pt 0pt; text-align: justify;"><span lang="ES">”Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini seperti apa yang diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan Arsy adalah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya jika dibanding dengan besarnya arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada saat yang sama berkeyakinan persis seperti keyakinan gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di arsy dan juga berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut adalah dalam pengertian hakekat, bukan majâz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyâbih tersebut tidak boleh ditakwil” <i>(Barâ-ah al-Asy’ariyyîn, j. 2, h. 259-260)</i>.</span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-54105592668055813912011-06-05T01:27:00.000+07:002011-06-05T01:27:22.781+07:00Para Ulama memerangi faham sesat Ibnu Taimiyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"> <div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Ia bernama Ahmad ibn Taimiyah, lahir di Harran dalam keluarga pancinta ilmu dalam madzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang baik dan tenang pembawaannya, ia termasuk orang yang dimuliakan oleh para ulama daratan Syam saat itu, juga dimuliakan oleh orang-orang pemerintahan hingga mereka memberikan kepadanya beberapa tugas ilmiah sebagai bantuan mereka atas ayah Ibn Taimiyah ini. Ketika ayahnya ini meninggal, mereka kemudian mengangkat Ibn Taimiyah sebagai pengganti untuk tugas-tugas ilmiah ayahnya tersebut. Bahkan mereka sengaja menghadiri majelis-majelis Ibn Taimiyah sebagai support baginya dalam tugasnya tersebut, dan mereka memberikan pujian kepadanya untuk itu. Ini tidak lain karena mereka memandang terhadap dedikasi ayahnya dahulu dalam memangku jabatan ilmiah yang telah ia emban. Namun ternyata pujian mereka terhadap Ibn Taimiyah ini menjadikan dia lalai dan terbuai. Ibn Taimiyah tidak pernah memperhatikan akibat dari pujian-pujian yang mereka lontarkan baginya. Dari sini, Ibn Taimiyah mulai muncul dengan faham-faham bid’ah sedikit demi sedikit. Dan orang-orang yang berada di sekelilingnyapun lalu sedikit demi sedikit menjauhinya karena faham-faham bid’ah yang dimunculkannya tersebut.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Ibn Taimiyah ini sekalipun cukup terkenal namanya, banyak karya-karyanya dan cukup banyak pengikutnya, namun dia adalah orang yang telah banyak menyalahi konsensus (ijma’) ulama dalam berbagai masalah agama. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh <i>al-Muhaddits al-Hafizh al-Faqih </i>Waliyyuddin al-‘Iraqi, sebagi berikut: “Ia (Ibn Taimiyah) telah membakar ijma’ dalam berbagai masalah agama yang sangat banyak, disebutkan hingga enam puluh masalah. Sebagian dalam masalah yang terkait dengan pokok-pokok akidah, sebagian lainnya dalam masalah-masalah furu’. Dalam seluruh masalah tersebut ia telah menyalahi apa yang telah menjadi kesepakatan ulama -sebagai Ijma’- di atasnya”.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarang- yang tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi faham-fahamnya tersebut adalah al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn Taimiyah, beliau menuslikan sebagai berikut:</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”<span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman',serif; font-size: 12pt;">[</span></span><i>ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah].</i><span style="color: black; font-family: Times;"></span><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2586368845123593089#_ftn1" name="_ftnref1" title=""></a> </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Di antara faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah dalam masalah pokok-pokok agama yang telah menyalahi ijma’ adalah; berkeyakinan bahwa jenis alam ini tidak memiliki permulaan. Menurutnya jenis (<i>al-Jins</i> atau <i>an-Nau’</i>) alam ini qadim bersama Allah. Artinya menurut Ibn Taimiyah jenis alam ini qadim seperti Qadim-nya Allah. Bagi Ibn Taimiyah yang baharu itu hanya materi-meteri <i>(al-Maddah)</i> alam ini saja. Dalam hal ini, Ibn Taimiayh telah mengambil separuh kekufuran kaum filosof terdahulu yang berkeyakinan bahwa alam ini Qadim, baik dari segi jenis maupun materi-materinya. Ibn Taimiyah mengambil separuh kekufuran mereka, mengatakan bahwa yang qadim dari alam ini adalah dari segi jenisnya. Dua faham ini sama-sama sebagai suatu kekufuran dengan kesepakatan (ijma’) para ulama, sebagaimana ijma’ ini telah dinyatakan di antaranya oleh al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam <i>Tasynif al-Masami’ Bi Syarh Jama’ al-Jawami’</i>. Karena keyakinan semacam ini sama dengan menetapkan adanya sesuatu yang azali kepada selain Allah, dan menetapkan sifat yang hanya dimiliki Allah bagi makhluk-makhluk-Nya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify;"> Faham ekstrim lainnya, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tersusun dari anggota-anggota badan. Menurutnya Allah bergerak dari atas ke bawah, memiliki tempat dan arah, dan disifati dengan berbagai sifat benda lainnya. Dalam beberapa karyanya dengan sangat jelas Ibn Taimiyah menuliskan bahwa Allah memiliki ukuran persis sebesar ‘arsy, tidak lebih besar dan tidak lebih kecil. Faham sesat lainnya, ia mengatakan bahwa seluruh para nabi Allah bukan orang-orang yang terpelihara <i>(ma’shum)</i>. Juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad sudah tidak lagi memiliki kehormatan dan kedudukan <i>(al-Jah)</i>, dan tawassul dengan <i>Jah </i>nabi Muhammad tersebut adalah sebuah kesalahan. Bahkan mengatakan bahwa perjalanan untuk tujuan ziarah kepada Rasulullah di Madinah adalah sebuah perjalanan maksiat yang tidak diperbolehkan untuk mengqashar shalat pada perjanan tersebut. Faham sesat lainnya; ia mengatakan bahwa siksa di dalam neraka tidak selamanya. Dalam keyakinannya, bahwa neraka akan punah, dan semua siksaan yang ada di dalamnya akan habis. Seluruh perkara-perkara “nyeleneh” ini telah ia tuliskan sendiri dalam berbagai karyanya, dan bahkan di antaranya di kutip oleh beberapa orang murid Ibn Taimiyah sendiri.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify;"> Karena faham-faham ekstrim ini, Ibn Taimiyah telah berulangkali diminta untuk taubat dengan kembali kepada Islam dan meyakini keyakinan-keyakinan yang benar. Namun demikian, ia juga telah berulang kali selalu saja menyalahi janji-janjinya. Dan untuk “keras kepalannya” ini, Ibn Taimiyah harus membayar mahal dengan dipenjarakan hingga ia mati di dalam penjara tersebut. Pemenjaraan terhadap Ibn Taimiyah tersebut terjadi di bawah rekomendasi dan fatwa dari para hakim empat madzhab di masa itu, hakim dari madzhab Syafi’i, hakim dari madzhab Maliki, hakim dari madzhab Hanafi, dan dari hakim dari madzhab Hanbali. Mereka semua sepakat memandang Ibn Taimiyah sebagai seorang yang sesat, wajib diwaspadai, dan dihindarkan hingga tidak menjermuskan banyak orang.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 16pt; text-align: justify;"> Peristiwa ini semua termasuk berbagai kesesatan Ibn Taimiyah secara detail telah diungkapkan oleh para ulama dalam berbagai karya mereka. Di antaranya telah diceritakan oleh murid Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Syakir al-Kutbi dalam karyanya berjudul <i>‘Uyun at-Tawarikh</i>. Bahkan di masa itu, Sultan Muhammad ibn Qalawun telah mengeluarkan statemen yang beliau perintahkan untuk dibacakan di seluruh mimbar-mimbar mesjid di wilayah Mesir dan daratan Syam (Siria, Libanon, Palestina, dan Yordania) bahwa Ibn Taimiyah dan para pengikutnya adalah orang-orang yang sesat, yang wajib dihindari. Akhirnya Ibn Taimiyah dipenjarakan dan baru dikeluarkan dari penjara tersebut setelah ia meninggal pada tahun 728 H.</div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-67335436024025535602011-05-21T02:32:00.001+07:002011-06-06T23:56:12.859+07:00Syi'ah Menghalalkan Zina [Mut'ah]<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><b>Mut’ah [ Zawaaj Muaqqat ] itu yang dimaksud adalah kawin kontrak. Waktunya terserah perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak. Boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh satu hari, boleh satu jam dan boleh sekali main. Sedang batas wanita yang di Mut’ah terserah si laki-laki, boleh berapa saja, terserah kekuatan dan minat si laki-laki. Mereka tidak saling mewarisi bila salah satu pelakunya mati, meskipun masih dalam waktu yang disepakati. Juga tidak wajib memberi nafkah (belanja) dan tidak wajib memberi tempat tinggal.</b><br />
<br />
<b>Mut’ah dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula tanpa talaq, tetapi habis begitu saja pada akhir waktu yang disepakati. Pelakunya boleh perjaka atau duda, bahkan yang sudah punya istri. Sedang si wanita boleh masih perawan atau sudah janda, bahkan menurut fatwa khumaini seseorang boleh melakukan Mut’ah sekalipun dengan WTS. Adapun tempatnya boleh dimana saja, baik di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah.</b><br />
<br />
<br />
<b>Apa hukumnya MUT’AH ?</b><br />
<br />
<b>Ahlus Sunnah Waljamaah sepakat bahwa Mut’ah hukumnya haram. Dan diantara perawi haramnya Mut’ah adalah Al-Imam Ali kw.</b><br />
<br />
<b>Oleh karena itu di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Khalifah-khalifah sebelumnya dan sesudahnya Mut’ah hukumnya haram.</b><br />
<br />
<b>Memang di Zaman Rasulullah SAW, diwaktu peperangan yang memakan waktu yang lama, dengan maksud menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Mut’ah pernah diperbolehkan, tetapi kemudian diharamkan</b><br />
<br />
<b>oleh Rasulullah SAW, setelah mendapat perintah dari Allah SWT.</b><br />
<br />
<b>Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda yg artinya :</b><br />
<br />
<b>“Wahai manusia sesungguhnya aku pernah membolehkan bagi kalian bersenang-senang dengan wanita (Mut’ah), maka ketahuilah bahwa Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa masih memilikinya, hendaknya dilepaskan dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan.”</b><br />
<br />
<br />
<b>Itulah sebabnya umat Islam tidak ada yang melakukan Mut’ah, sebab hukumnya sama dengan berzina.</b><br />
<br />
<b>Dalam hal ini Imam Ja’far Ash-Shadiq mengatakan :</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>المتعة هي عين الزنى ( البيهقى ) </b><br />
<br />
<b>“Mut’ah itu sama dengan zina.”(Al-Baihaqi)</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>Sebenarnya hampir semua aliran Syiah juga mengharamkan Mut’ah, terkecuali aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah saja yang memperbolehkan Mut’ah. Jadi golongan Syiah sendiri tidak sepakat dalam menghalalkan Mut’ah dan hanya satu aliran saja yang memperbolehkan Mut’ah, yaitu Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah atau Syiahnya Khumaini.</b><br />
<br />
<b>Sebagai contoh, Syi’ah zaidiyah mengharamkan Mut’ah, demikian juga Syi’ah Ismailiyah, mereka juga mengharamkan Mut’ah dan hanya Syi’ah Khomaini saja yang menghalalkan Mut’ah. Memang Syi’ah Imamiyah Itsnaasyariyah itu paling sesat diantara aliran-aliran Syi’ah yang lain.</b><br />
<br />
<br />
<b>Menurut ulama-ulama Syi’ah, bahwa yang mengharamkan Mut’ah adalah Kholifah Umar, benarkah?</b><br />
<br />
<b>Itulah orang-orang Syi’ah, mereka memang ahli dalam membuat hadist-hadist palsu dan ahli dalam membuat cerita-cerita guna menunjang dan menguatkan ajaran-ajaran mereka. Tetapi mereka tidak memikiran akibat dari cerita-cerita palsu mereka. Karena cerita-cerita semacam itu akan mempunyai resiko dan konsekwensi yang sangat besar.</b><br />
<br />
<b>Rasulullah saw pernah bersabda :</b><br />
<br />
<b>من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر </b><br />
<br />
<b>“Barangsiapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>Dengan demikian berarti Khalifah Umar telah kafir, karena dia telah mengharamkan Mut’ah yang halal (Khasya). Itulah tujuan ulama-ulama Syi’ah, mereka selalu membuat cerita-cerita palsu guna mendiskriditkan Kholifah Umar.</b><br />
<br />
<b>Tidakkah orang-orang Syi’ah itu tahu bahwa cerita-cerita semacam itu mempunyai resiko dan konsekwensi yang sangat besar dan berbahaya. Sebab bila Khalifah Umar merubah hukum Allah sampai membuatnya kafir, lalu dimanakah Imam Ali pada saat itu, padahal beliau dikenal sebagai penasehat Kholifah Umar, mengapa beliau berdiam diri dan tidak mengambil tindakan, bahkan setuju dan mengikuti serta melaksanakan hukum tersebut. Tidakkah ulama-ulama Syi’ah itu tahu bahwa : “ARRIDHO BILKUFRI KUFRON “.</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>Kemudian bila Kholifah Umar itu kafir, mengapa beliau diambil menjadi menantu Imam Ali, sampai mempunyai dua anak. Apakah ulama-ulama tersebut juga termasuk ulama-ulama Syi’ah yang berkata, bahwa yang di nikahi Kholifah Umar itu bukan Ummu Kulsum putri Imam Ali, tapi jin yang menyerupai Ummu Kulsum ?</b><br />
<br />
<b>Kemudian apabila Kholifah Umar itu kafir, bagaimana Imam Ali kok diam dan menyetujui Kholifah Umar dimakamkan di sebelah atau seruangan bersama Rasulullah saw.</b><br />
<br />
<b>Selanjutnya, disamping Imam Ali, para sahabat juga menjadi korban dari cerita-cerita tersebut dan mereka juga akan terkena sangsi. Sebab mereka juga menyetujui tindakan Kholifah Umar yang telah mengharamkan Mut’ah tersebut dan para sahabat itu tetap sholat (Mak’mum) di belakang Kholifah Umar.</b><br />
<br />
<b>Memang itulah diantara tujuan orang-orang Syi’ah, mereka benar-benar benci kepada para sahabat. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa para sahabat setelah Rasulullah saw wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja (Al-Kaafi).</b><br />
<br />
<b>Mana yang lebih besar dosanya, berzina apa melakukan Mut’ah?</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>Berzina adalah suatu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Karenanya orang yang telah melakukan Zina, dia akan merasa bersalah dan kemudian bertaubat, sebab dia merasa telah melanggar larangan Allah. Adapun orang yang melakukan Mut’ah, pertama dia mendapat dosa seperti dosanya orang yang melakukan perbuatan Zina. Kemudian jika dia menganggap Mut’ah itu halal, padahal Allah melalui RasulNya sudah mengharamkan Mut’ah, maka disamping dia mendapat dosanya orang yang berzina, dia juga mendapat dosa yang sangat besar, yaitu dosanya orang yang merubah hukum Allah, sesuatu yang haram dia halalkan.</b><br />
<br />
<b>Mengenai orang yang suka menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, Rasulullah saw pernah bersabda :</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>من حلل حراما او حرم حلالا فقد كفر</b><br />
<br />
<b>“Barang siapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>Dengan demikian jelas sekali bahwa melakukan Mut’ah dosanya lebih besar daripada berzina.</b><br />
<br />
<b>Tidak cukup menghalalkan Mut’ah, ulama-ulama Syi’ah Imammiyah Itsnaasyariyyah itu bahkan memberi kedudukan tinggi sederajat dengan Rasululllah saw, bagi orang-orang yang melakukan Mut’ah.</b><br />
<br />
<b>Dibawah ini kami bawakan satu hadist palsu, yang ada dalam kitab syi’ah “ Minhayus Shodiqin” halaman 356, sekaligus sebagai bukti penghinaan orang-orang Syi’ah kepada Rasulullah saw dan Ahlul Bait :</b><br />
<br />
<b>“Barang siapa melakukan Mut’ah sekali, maka derajatnya sama dengan derajat Husin, barang siapa melakukkan Mut’ah dua kali, maka derajatnya sama dengan derajat Hasan, barang siapa yang melakukkan Mut’ah tiga kali, maka derajatnya sama dengan derajat Ali dan barang siapa melakukkan Mut’ah empat kali, maka derajatnya sama dengan derajatku”.</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>Demikian kekurangajaran ulama-ulama Syi’ah, mereka mengukur derajad Rasulullah saw dan Ahlul Bait dengan perbuatan Mut’ah. Sungguh satu kebiadaban yang tidak ada taranya.</b></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2586368845123593089.post-56451576468427461012011-05-21T02:24:00.000+07:002011-05-21T02:24:25.735+07:00Masuk Islam Secara Kaffah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><b>Kecenderungan Mufassirin dalam menafsirkan perintah masuk Islam secara kaffah ada dua golongan yaitu :<br />
1. Perintah masuk Islam bagi seluruh umat manusia.<br />
2. Perintah terhadap umat Islam agar menerapkan syari’at secara penuh dengan segala kemampuannya.<br />
المراجع:<br />
التفسير الكبير للإمام فخر الدين محمد بن عمر الرازى {ط.دار الكتب العلمية}<br />
(يَاأيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا) بِِالألْسِنَةِ (أدْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَافَّةً) أى دُومُوا عَلَى الإِسْلاَمِ فِيمَا يَسْتَأنِفُوْنَهُ مِنَ العُمْرِ وَلاَ تَخْرُجُوا عَنْهُ وَلاَ عَنْ شَرَائِعِهِ .... الى أن قال ... قَالَ القَفَّالُ (كافة) يَصِحُّ أنْ يُرْجَعَ الَى المَأمُورِينَ بِالدُّخُولِ اى أُدْخُلُوا بِأجْمَعِكُمْ فِى السِّلمِ وَلاَ تَفَرَّقُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا - الى ان قال- وَيَصْلُحُ أنْ يُرْجَعَ اِلَى الإِسْلاَمِ كُلُّهُ اى فِى كُلِّ شَرَائِعِهِ، قالَ الوَاحِدِى رَحِمَهُ الله: هَذَا ألْيَقُ بِظَاهِرِ التَّفْسِيرِ لأنَّهُمْ أُمِرُوا بِالقِيَامِ كُلِهَا<br />
Terjemah :<br />
Firman Allah (artinya) : “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan”. Maksudnya tetaplah kalian semua diatas agama Islam sejak awal permulaan dan janganlah kalian keluar dar Islam dan syariat Islam -sampai perkataan mufassir- Imam Qaffal berkata : kata “kaaffah = keseluruhan” bisa kembalikan kepada mereka yang diperintah masuk Islam, sehingga maksudnya : masuklah kalian kesemuanya dalam agama Islam dan janganlah berpisah-pisah dan jangan pula berbeda-beda, -sampai perkataan mufassir- dan pastas pula kata “kaaffah = keseluruhan” dikembalikan kepada Islam, yakni seluruh syariat Islam. Al Wahidi ra berkata : pendapat ini lebih layak dengan dhahirnya tafsir karena mereka (orang-orang mukmin) diperintah melaksanakan keseluruhan syariat Islam. <br />
تفسير النسفى الجزء الأول ص. 104-105 <br />
يا أيها الذين آمنواادخلوا فى السلم وبفتح السين حجازى وهو الاستسلام والطاعة أي استسلموا لله وأطيعوه أو الإسلام والخطاب لأهل الكتاب لأنهم آمنوا بنبيهم وكتابهم أو للمنافقين لأنهم آمنوا بألسنتهم كافة لا يخرج أحدمنكم يده عن طاعته حال من الضمير فى ادخلوا أى جميعا أو من السلم لانها تؤنث كأنهم أمروا أن يدخلوا فى الطاعات كلها أو فى شعب الإسلام وشرائعه كلها وكافة من الكف كأنهم كفوا أن يخرج منهم أحد باجتماعهم<br />
Terjemah :<br />
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kalian semua didalam keselamatan” , salmi dengan dibaca fathah sinnya itu menurut Ahli Hijaz yang artinya menyerah dan taat. Maksudnya menyerahlah kalian kehadirat Alloh dan taatlah kepada-Nya. Atau Islam dan berarti pembicaraan ini ditujukan kepada Ahli Kitab, karena mereka Iman kepada Nabi-Nya dan Kitab-Nya,atau pembicaraan ditujukan kepada orang-orang munafik karena mereka beriman hanya dengan lisannya. Kata kaaffah (secara keseluruhan) artinya tak satupun dari kalian yang keluar dari taat kepada Alloh, sehingga lafadz Kaffah itu menjadi Haal dari dhomir yang ada pada Udkhuluu yang semakna denga jami’an yang artinya semua atau kaaffah menjadi haal dari Assilmi karena ia muannats. Seakan-akan mereka diperintah untuk melakukan seluruh ketaatan atau cabang-cabang Islam dan syariat-syariatnya. Lafadz Kaaffah dari kata Al Kaffa, seakan-akan mereka mencegah jangan sampai seorangpun dari mereka keluar sebabmereka telah berkumpul.<br />
التفسير المنير للدكتور وهبة الزحيلي جز 2 ص 340 ط : دار الفكر المعاصر<br />
الاسلام كل لايتجزء فمن امن به وجب عليه الأخذ به كله فلا يختار منه مايرضيه ويترك مالايرضيه او يجمع بينه وبين غيره من الأديان لأن الله تعالى امر باتباع جميع تعاليمه وتطبيق كل فرائضه واحترام مجموع نظامه بالحل او الإباحة والحظر او الحرمة <br />
Terjemah:<br />
Agama Islam sesuatu yang utuh yang tak boleh dipecah-pecah, maka barang siapa beriman kepada islam maka ia wajib mengambil keseluruhannya. Jadi dia tidak boleh memilih hukum Islam yang ia senangi dan meninggalkan hukum Islam yang tidak ia sukai atau mengumpulkan antara Islam dan agama-agama yang lain, karna Allah Ta’ala memerintahkan mengikuti seluruh ajaran-ajaran Islam, menerapkan semua kewajiban-kewajibannya dan memulyakan semua aturan-aturannya tentang halal dan haram.<br />
)2(. Apakah manifestasi berislam secara kaffah mengharuskan pemberlakuan syari’at Islam dalam kehidupan bernegara (konstitusional) dan kehidupan bermasyarakat (kultural) di Indonesia ?<br />
Jawaban :<br />
Penerapan syari'at Islam dalam kehidupan bernegara (konstitusi) dan dalam kehidupan bermasyarakat (kultur) adalah tanggung jawab bersama setiap muslim. Usaha menerapkan hukum Islam dalam konstitusi negara harus dilaksanakan dengan cara-cara yang jauh dari kekerasan. Tahapan amar ma'ruf nahy munkar adalah satu-satunya cara yang dapat ditempuh dalam memperjuangkan berlakunya hukum Islam dalam negara. <br />
<br />
بغية المسترشدين ص : 271<br />
وَالاسْلاَمُ لاَيَسْمَحُ المُسْلِمَ اَنْ يَتَّخِذَ مِنْ غَيْرِ شَرِيْعَةٍ الله قَانُونًا وَكُلُّ مَا يَخْرُجُ عَنْ نُصُوصِ الشَّرِيعَةِ اوْ مَبَادئِهَا العَلِيَّةِ اَو رُوْحِهَا التَشْرِيْعِيَّةِ مُحَرَّمٌ تَحْرِيْمًا قَاطِعًا عَلَى المُسْلِمِ بِنَصِّ القُرْانِ الصَّرِيْحِ <br />
Terjemah :<br />
Islam tidak memberi toleransi kepada orang Islam untuk menjadikan undang-unfang dari selain syariat Allah. Dan setiap sesuatu yang keluar dari nash syariat atau dasar-dasar syariat yang luhur atau (ruh) jiwa tasyri’iyyah adalah diharamkan secara pasti atas orang muslim berdasarkan dalil nash al Qur’an yang jelas. <br />
بغية المسترشدين:271 دار الفكر<br />
(فائدة) –الى ان قال- وَمِنْهَا تَجِبُ أنْ تكُونَ الأحْكَامُ كُلُهَا بِوَجْهِ الشَّرْعِ الشَّرِيْفِ وَأمَّا أحْكَامُ السِّيَاسَةِ فَمَا هِىَ إلاَّ ظُنُونٌ.<br />
Terjemah :<br />
(Faidah) sampai perkataan mushannif : Sebagian diantaranya, semua hukum harus memakai syariat yang mulia, sedangkan hukum siyasah (politik) tiada lain hanyalah menggunakan prasangka-prasangka.<br />
تفسير ابن كثير جز 2 ص : 16 <br />
وقال علي بن ابى طلحة عن ابن عباس قوله ومن لم يحكم بما انزل الله فاؤلئك هم الكافرون قال ومن جحد ما انزل الله فقد كفر ومن اقر به ولم يحكم به فهو ظالم فاسق<br />
Terjemah :<br />
Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah (artinya) : “ Barang siapa tidak menghukumi dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang-orang kafir”, bahwa barang siapa mengingkari hukum yang ditutrunkah Allah maka dia kafir dan barang siapa mengakui hukum Allah namun dia tidak menghukumi dengannya dia itulah orang dhalim dan fasik. <br />
غاية تلخيص المراد ص : 263 <br />
يجب على الحاكم الوقوف على احكام الشريعة التى اقيم لها ولا يتعداه الى احكام السياسة بل يجب عليه قصر من تعدى ذلك وزجره وتعزيره وتعريفه ان الحق كذا<br />
Terjemah :<br />
Wajib atas seorang hakim tetap konsisten pada hukum-hukum syariat sesuai tujuan dinobatkannya hakim itu dan jangan sampai melampaui sampai pada hukum-hukum siyasah (politik), bahkan ia wajib membatasi orang yang melanggarnya, mencegahnya, menta’zirnya dan memberitahu bahwa hukum yang benar adalah begini. <br />
)3(. Berdosakah orang Islam di Indonesia karena membiarkan tidak diamalkannya ajaran syari’at Islam oleh negara tempat ia menetap tinggal ?<br />
Jawaban :<br />
Bagi yang mampu dan mempunyai akses untuk perjuangan berlakunya hukum Islam maka harus benar-benar melaksanakan tanggung jawabnya, sehingga pabila mereka (yang mampu) tidak ada usaha untuk berlakunya syariat Islam di Indonesia maka berdosa. Bagi masarakat umum berkewajiban memberi dukungan penuh demi berlakunya hukum Islam. <br />
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قالَ سَمِعتُ رَسو لَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ مَن رَأى مِنكُمْ مُنكَرًا فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِه فَاِن لَم يَسْتطِعْ فَبِلِسانِه فَانْ لَمْ يَسْتطِعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الايْمَانِ (رواه البخارى )<br />
Terjemah :<br />
Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab dia berkata : aku mendengan Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia memberantasnya dengan tangan (kekuasaan) nya, lalu jika ia tidak mampu maka memberantasnya dengan lisannya, lalu jika tidak mampu maka memberantasnya dengan hatinya dan demikian itu peling lemahnya iman. (HR: Bukhari)<br />
الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص : 51<br />
وَقالَ الشَيْخُ عَبدُ القَادِرِ الجَيلانِى رضِيَ الله عَنهُ فَالمُنْكِرونَ ثلاثةُ اَقسَامٍ قِسْمٌ يَكُونُ اِنْكارُهُ بِاليَدِ وَهُمُ الأئِمَّةُ وَالسَّلاطِينُ وَالقِسْمُ الثانِى اِنْكارُهُم بِاللِسَانِ دُونَ اليَدِ وَهُم العُلمَاءُ وَالقِسمُ الثالِثُ اِنْكارُهُم بِالقَلْبِ وَهُم العَامَّةُ<br />
Terjemah :<br />
Syaikh Abdul Qodir Jailani berkata : <br />
Orang-orang yang menginkari (menentang) itu ada tiga macam :<br />
- Ingkar dengan kekuatan yaitu ingkarnya para pemimpin dan penguasa.<br />
- Yang kedua ingkar dengan lisan bukan dengan kekuatan yaitu ingkarnya para ulama’<br />
- Yang ketiga ingkar dengan hati yaitu ingkarnya orang-orang umum.<br />
حاشية الجمل شرح المنهج جز: 5 ص : 182 – 183 <br />
وبأمر بمعروف ونهى عن المنكر اى الامر بواجبات الشرع والنهي عن محرماته اذا لم يخف على نفسه او ماله او على غيره مقسدة المنكر الواقع<br />
Terjemah :<br />
Perintah kebagusan mencegah kemungkaran artinya perintah dengan kewajiban-kewajiban syara’ dan mencegah dari perkara yang diharamkan syara’. kalau memang dia tidak takut pada kerusakan yang terjadi pada dirinya, hartanya atau yang lain, dengan kerusakan yang nyata.<br />
تفسير البيضاوي ج: 2 ص: 328<br />
ومن لم يحكم بما أنزل الله مستهينا به منكراله فأولئك هم الكافرون لاستهانتهم به وتمردهم بأن حكموا بغيره ولذلك وصفهم بقوله الكافرون و الظالمون و الفاسقون فكفرهم لإنكاره وظلمهم بالحكم على خلافه وفسقهم بالخروج عنه <br />
Terjemah :<br />
Barang siapa menghukumi tidak sesuai hukum yang diturunkan Alloh bahkan dia malah menghinanya, dan menginkarinya, maka dihukumi Kafir. Karena dia menghina terhadap hukum dan menolaknya dengan gambaran dia menghukumi tanpa memakai hukumnya Alloh, karena itu Alloh mensifati mereka dengan predikat kafirun, dholimun, dan fasiqun. Sifat kafir karena mereka inkar dan aniaya dengan menghukumi dengan selain huku Alloh dan kefasikan mereka karena mereka keluar dari hukum-hukum-Nya. <br />
)4(. Bolehkah masing-masing WNI yang beragama Islam atau kelompok mereka menerapkan secara sepihak hukum publik yang menjadi bagian dari syari’at Islam (seperti hukum jinayat( ? <br />
Jawaban :<br />
Penerapan syariat Islam di bidang pemberlakuan hudud (hukuman mati, potong tangan, cambuk dan lain-lain) adalah hak prerogratif negara. Masyarakat umum tidak boleh melaksanakan sendiri-sendiri atau pada kelompok masing-masing.<br />
Tambahan:<br />
Bagi organisasi-organisasi Islam seperti NU, diharapkan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah untuk berlakunya hukum Islam dalam konstitusi negara.<br />
الفقه الإسلامى وادلته الجزء السادس ص:58<br />
ثَانِيًا لا يُقِيمُ الحُدُودُ إلاَّ الإمَامُ اَو مَنْ فَوَّضَ اِلَيهِ إلإِمَامُ بِاتِّفَاقِ الفُقَهَاءِ لأَنَّهُ لَمْ يَقُمْ حَدٌّ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله صلى الله عليه وَسَلمَ إلاَّ بِإذْنِهِ وَلا فِى أيَّامِ الخُلفَاءِ إلاَّ بِإذْنِهِمْ وَلأَنَّ الحَدَّ حَقُّ اللهِ تعَالى يَفْتقِرُ اِلى الإِجْتِهَادِ وَلا يُؤْمَنُ فِيه الحَيفُ فَلَمْ يَجُزْ بِغَيرِ إذْنِ الإمَامِ<br />
Terjemah :<br />
Kedua: tidak boleh menegakkan hukuman kecuali seorang imam atau orang yang dikasih kepercayaan (mandat) oleh imam. bitthifaqil fuqoha’ (sesuai kesepakatan ahli fiqih), karena had (hukuman) tidak ditegakkan pada masa hidupnya Nabi SAW, kecuali dapat izin dari beliau dan pada masa Khulafaur rasyidin kecuali dapat izin dari beliau-beliau. Karena hukuman (had) itu haqqulloh yang membutuhkan ijtihad (kesungguhan yang maksimal), dan padahal tak ada jaminan aman dari penyelewengan, karenanya maka tidak boleh (menghukum) kecuali dengan izin imam.<br />
الموسوعة الفقهية 3:167 <br />
اَلإسْتِبْدَادُ المُفْضِى اِلىَ الضَّرَرِ اَوِ الظُّلْمِ مَمْنُوْعٌ كَالإسْتِبْدَادِ فِى احْتِكَارِ الاَقْوَاتِ وَاسْتِبْدَادِ اَحَدِ الرَّعِيَّةِ فِيمَا هُوَ مِنَ اخْتِصَاصِ الاِمَامِ مِثلَ الْجِهَادِ وَالاِسْتِبْدَادِ فِى إقَامَةِ الحُدُودِ بِغَيْرِ إذْنِ الإمَامِ.<br />
Terjemah :<br />
Sewenang-wenang yang dapat menimbulkan terhadap dhoror (bahaya) atau dzolim itu dilarang, seperti sewenang-wenang menimbun makanan pokok, dan sewenang-wenangnya salah satu rakyat dalam urusan yang merupakan hak khusus imam, seperti jihad (berperang) dan sewenang-wenang menegakkan hukuman (had) dengan tanpa izinnya imam.<br />
الموسوعة الفقهية 17/240-242<br />
الشرط السادس: الإذن من الإمام:16 – اشترط فريق من العلماء فى المحتسب أن يكون مأذونا من جهة الإمام أو الوالي،وقالوا: ليس للآحاد من الرعية الحسبة والجمهور على خلافه الا فيما كان محتاجا فيه الى الاستعانة وجمع الاعوان وما كان خاصا بالائمة او نوابهم كاقامة الحدود وحفظ البيضة وسد الثغور اما ما ليس كذلك فان لآحاد الناس القيام به لان الادلة وردت فى الامر والنهي والدع عاماة - الى ان قال - واما جمع الاعوان وشهر الاسلحة قد يجر الى قتنة عامة ففيه نظر وقد ذهب الى اشتراط الاذن فى هذه الحالة جماهر العلماء لانه يؤدي الى الفتن وهيجان الفساد وكذلك ما كان مختصا بالأئمة والولاة فلا يستقل بها الآحاد كالقصاص، فإنه لا يستوفى إلا بحضرة الإمام ،لأن الإنفراد باستيفائه محرك للفتن<br />
<br />
<br />
Terjemah :<br />
Syarat No. 6 : Dapat izin dari imam. Sebagian Ulama’ mensyaratkan untuk relawan harus mendapat izin dari imam atau dari penguasa (wali). Para Ulama berkata: Bagi individu rakyat tidak boleh menjadi relawan ) eksekutor hukuman ). Kebanyakan ulama’ tidak sependapat dengan syarat diatas kecuali dalam urusan yang memerlukan bantuan dan mengumpulkan banyak pembantu dan urusan yang khusus bagi imam atau penggantinya seperti menegakkan hukuman, menjaga keutuhan/persatuan memperkuat benteng pertahanan dan mengirikan pasukan. Adapun hal-hal yang tidak seperti diatas bagi individu-individu manusia boleh melakukannya karena dalil-dalil tentang perintah, larangan dan pencegahan berlaku umum -sampai perkataan mushannif- adapun mengumpulkan pembantu-pembantu dan menghunus pedang itu bisa jadi menimbulkan fitnah yang merata, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Kebanyakan para ulama’ dalam hal yang seperti ini berpendapat harus mendapat izin dari imam karna bisa menimbulkan fitnah dan gejolaknya kerusakan. Dan demikian pula sesuatu yang khusus bagi imam dan penguasa, maka perorangan tidak boleh melakukan sendiri, seperti qishos (hukuman balasan sepadan) . Sesungguhnya seseorang tidak boleh melaksanakan (hukuman) kecuali adanya persetujuan dari imam, karena kesendirian dalam malaksanakan hukuman, akan dapat menimbulkan fitnah.<br />
)5(. Sesuaikah dengan prinsip ahkam sulthaniyah bila secara diam-diam sekelompok umat Islam di Indonesia membaiat dan mengesahkan amir/pemimpin Islam guna menjadi landasan legitimasi ibadah atau pengamalan agama kelompok tersebut ?<br />
Jawaban:<br />
Membaiat dan mengesahkan amir/pemimpin Islam dengan tidak mengakui terhadap keabsahan kepemimpinan yang sudah ada tidak sesuai dengan prinsip hukum bernegara menurut Islam.<br />
<br />
المراجع:<br />
كشاف القناع للبهوتى الحنبلى الجزء السادس ص:205 <br />
الرَّابِعُ قَوْمٌ مِنْ أهْلِ الحَقِّ بَايَنُوا الإمَامَ وَرَامَوْا خَلْعَهُ أي عَزْلَهُ أوْ مُخَالَفتَهُ بِتَأوِيْلٍ سَائِغٍ بِصَوَابٍ أوْ خَطَأٍ وَلهُمْ مَنْعَةٌ وَشَوْكَةٌ بِحَيثُ يَحْتاجُ فِي كَفِّهِمْ إلَى جَمْعِ جَيْشٍ وَهُم البُغَاةُ المَقصُودُونَ بِالتَّرْجَمَةِ فَمَن خَرجَ عَلَى إمَامٍ عَدْلٍ بِأحَدِ هَذهِ الوُجُوهِ الأرْبَعةِ بَاغِيًا وَجَبَ قِتالُهُ لِمَا تَقَدَّمَ أوَّلَ البَابِ <br />
Terjemah :<br />
Yang ke-empat: suatu kaum dari ahli haq (kebenaran) melawan terhadap imam dan menuduh bahwa ia telah terpecat/menentangnya dengan ta’wil yang benar/salah, dan mereka itu memiliki kekuatan dan kekuasaan, sekira imam butuh terhadap pasukan untuk mencegah mereka , maka kaum itu dikatakan AL Bughoh (penentang Imam) sebagaimana yang dikehendaki dalam terjemah/judul barang siapa memberontak terhadap Imam yang ‘adil dengan sebab satu diantara empat macam dengan jelas-jelas membangkang maka orang tersebut wajib diperangi karna adanya keterangan yang sudah dijelaskan diawal bab. <br />
التشريع الجنانى الإسلامى لعبد القادر عودة الجزء الثانى ص:675<br />
يشترط لوجود جريمة البغى الخروج على الإمام والخروج المقصود هو مخالفة الإمام والعمل لخلعه أو الإمتناع عما وجب على الخارجين من حقوق ويستوى أن تكون هذه الحقوق لله اى مقررة لمصلحة الجماعة او للأشخاص اى مقررة لمصلحة الأفراد فيدخل تحتها كل حق تفرضه الشريعة للحاكم على المحكوم وكل حق للحماعة على الأفراد وكل حق للفرد على الفرد فمن امتنع عن أداء الزكات فقد امتنع عن حق وجب عليهم ومن امتنع عن تنفيذ حكم متعلق بحكم الله كحد الزنا أو متعلق بحق الأفراد كالقصاص فقد امتنع عن حق وجب عليه ومن امتنع عن طاعة الإمام فقد امتنع عن الحق الذى وجب عليه وهكذا ولكم من المتفق عليه أن الإمتناع عن الطاعة فى معصية ليس بغيا وإنما هو واجب على كل مسلم لأن الطاعة لم تفرض إلا فى معروف ولا تجوز فى معصية. <br />
Terjemah :<br />
Disyaratkan wujudnya kejahatan makar adalah membangkang terhadap Imam. Pembangkangan dimaksud yaitu menentang imam dan melakukan yang mengarah kepada pemecatan imam atau menolak hak-hak yang wajib atas para pembangkang. Dan sama hak-hak ini bagi Allah ya’ni yang ditetapkan demi kemaslahatan orang banyak atau perorangan maksudnya ditetapkan demi kemaslahatan perorangan. Termasuk didalam hak-hak ini setiap hak yang diwajibkan syari’at bagi hakim atas orang yang dihukumi, setiap hak bagi golongan atas perorangan dan setiap hak bagi perorangan atas perorangan. Jadi barang siapa mencegah membayar zakat maka berarti dia mencegah hak yang wajib atas mereka dan barang siapa <br />
mencegah menegakkan hukum yang behubungan dengan hukum Allah seperti hukuman zina atau yang berhubungan dengan hak perorangan seperti Qishos maka ia mencegah haq yang wajib atas dia.<br />
Dan barang siapa menolak ta’at kepada imam maka berarti ia menolak hak yang wajib atas dia dan seterusnya. Bagi kalian dari hal yang disepakati ulama’bahwa sesungguhnya menolak taat didalam maksiat bukanlah pembangkangan akan tetapi suatu kewajiban atas setiap orang Islam, karena taat itu tidak wajib kecuali dalam kebaikan dan taat pada kemaksiatan tidak diperbolehkan.<br />
<br />
البيان في فقه الامام الشافعي جز 12 ص 9 ط: دار الكتب العلمية<br />
قال القفال وسواء كان الامام عادلا او جائرا فان الخارج عليهم باغ اذالإمام لاينعزل بالجور وسواء كان الخارج عليه عادلا او جائرا فان خروجه على الامام جور <br />
Terjemah :<br />
Imam Qaffal berkata : baik imam itu adil atau menyeleweng, maka membangkang kepadanya adalah bughat, karena imam tidak bisa terpecat sebab menyeleweng baik pihak pembangkang itu adil atau menyeleweng. Sebab membangkang kepada imam adalah perbuatan makar.<br />
)6(. Sebagai konsekuensi Islam kaffah haruskah dilakukan jihad guna menangkal praktek kemungkaran oleh WNI non-muslim, seperti lokalisasi PSK, penjualan/ konsumsi minuman keras, budidaya hewan babi, arena hiburan yang penuh ma’shiyat, dan lain sebagainya ? <br />
Jawaban:<br />
Sebagai konsekwensi Islam kaffah dalam rangka menangkal praktek kemunkaran wajib dilakukan jihad dalam pengertian أمر معروف نهى منكر sesuai dengan tahapan-tahapannya, dan harus berupaya untuk tidak menimbulkan kemunkaran yang lebih besar atau fitnah.<br />
المراجع:<br />
أحكام القرأن لإبن العربي ج : 1 ص : 382 ، مانصه :<br />
(وَلْتكُنْ مِنْكُم أمَّةٌ) دَليلٌ عَلى اَنَّ الأمْرَ بِالمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَن المُنكَرِ فَرْضٌ <br />
Terjemah :<br />
Firman Allah (artinya) : “Hendaklah diantara kalian terdapat ummat, yang mengajak kebaikan”. Ayat ini sebagai dasar perintah berbuat baik dan mencegah melakukan kemungkaran.<br />
التشريع الجنائ الاسلامى جز 2 ص :677 , ف : الشيخ عبد القادر عودة , ط : مؤسسة الرسالة <br />
ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الاربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للامر بالمعروف والنهي عن المنكر لان الخروج على الامام يؤدي عادة الى هو انكر مما فيه وبهذا يمتنع النهي عن المنكر لان منشروطه لايؤدي الانكار الى ماهو انكر من ذلك الى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام<br />
Terjemah :<br />
Sifat adil itu menjadi syarat untuk menjadi imam kecuali pendapat yang unggul, itu menurut empat Madzhab, dan menurut madzhab Syi’ah Zaidiyah. Haram keluar dari imam yang fasiq, lacut itu haram, walaupun adanya kelauar itu untuk perintah kebaikan dan mencegah kemungkaran. Karena keluar dari imam bisa mendatangkan kebiasaan ingkar dari perkara tersebut. Dengan demikian terlarang mencegah kemungkaran. Karena yang disyaratkannya iru tidak akan mendatangkan keinkaran lain yang lebih darinya. Sampai menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, meratanya kerusakan, kacaunya negara, menyesatkan masyarakat, merapuhkan keamanan dan merusak tatanan.<br />
<br />
بغية المسترشدين ، ص : 251، مانصه :<br />
وَلَهُ دَرَجَتَانِ . التَعْرِيفُ ثُمَّ الوَعْظُ بِالكَلامِ اللَّطِيفِ ثُمَّ السَّبُّ وَالتَعْنِيفُ ثمَّ المَنْعُ بِالقَهْرِ ، وَالأوَّلانِ يَعُمَّانِ سَائِرَ المُسْلِمِينَ وَالأخِيرَانِ مَخْصُوصَانِ بِوُلاةِ الأمُورِ اهـ.<br />
Terjemah :<br />
Baginya dua tingkatan, diperingatkan, dinasehati dengan ucapan yang halus, dicaci maki dan kekerasan kemudian dicegah dengan paksa.<br />
Sedangkan dua kewajiban yang pertama berlaku umum untuk semua orang Islam dan yang dua kewajiban yang akhir khusus bagi penguasa.</b></div>Unknownnoreply@blogger.com0