BERMAZHAB ALA INTELEKTUAL & CENDIKIAWAN

Ada golongan muslimin yang mencari-cari keringanan dari para ulama atau mencari ajaran Islam yang paling mudah dan paling ringan serta cocok dengan keinginan hawa nafsunya dan tujuan pribadinya tanpa didasarkan pada keterangan yang benar menurut syari’at Islam. Mereka sering berdalil bahwa suatu masalah dalam agama (yang mereka hadapi itu) masih belum disepakati para ulama, oleh karenanya mereka tidak dapat disalahkan secara mutlak.

Ada beberapa orang yang pura-pura mengikuti pendapat para ulama, tetapi dia kemudian berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain atau dari satu pendapat ke pendapat lain untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Meskipun dia menutup-nutup dirinya dengan pengamalan syariat dan mengikuti para ulama, tetapi sebetulnya mereka hanya mengikuti (bahkan menyembah) hawa nafsunya sendiri. Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya ini telah disindir dan dicela oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya:
Dalam QS Shad: 26: “..dan janganlah kamu mengikuti hawa (nafsu), karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah “.
Dalam QS An-Nisa: 135: “...maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”
Dalam QS Al-Jatsiyah: 18: “Kemudian Kami jadikan kamu di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang dzalim”.
Dalam QS Al-Furqan: 43-44: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?. Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternah, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu)”.
Dalam QS Al-Maidah: 70: “Setiap datang seorang Rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak di-ingini oleh hawa nafsunya, maka sebagian dari para Rasul itu mereka dustakan dan sebagiannya lagi mereka bunuh “.
Didalam Al-qur’an Allah swt. mencela seseorang yang ‘alim (pandai) diantara kaumnya (tetapi suka mengikuti hawa nafsunya).
Dia berfirman dalam QS Al-A’raf: 176: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya (pasti) Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah..”.
Dan masih banyak lagi firman Allah swt. mencela orang yang sering mengikuti hawa nafsunya untuk melakukan kepentingan pribadinya sendiri.

Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas kita mengetahui secara pasti bahwa tidak mengikuti kehendak hawa nafsu termasuk inti dan pokok ajaran agama Islam. Sedangkan mencari-cari keringanan suatu masalah agama tidak lain adalah mengikuti keinginan hawa nafsunya terhadap suatu masalah tersebut.

Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar adalah perbuatan haram. Atas dasar itulah, setiap mujtahid (orang yang benar-benar mencari kesimpulan hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti) pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shahih dan kuat dalam madzhab imam (mujtahid) nya. Pendapat sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah di atas ini:

1. Al-Hafidh Ibn Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhlih II:112, telah meriwayatkan perkataan Sulaim At-Taimy; “Jika kamu mengambil rukhsah atau keringanan setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu segala kejahatan (dosa)”. Kemudian lanjutnya: “Ini kesepakatan atau ijma’, dan (saya) tidak mengetahui ada orang yang menentangnya”.

2. Imam Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab nya mengatakan: “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab apa saja yang dikehendakinya, maka akibatnya dia akan terus-terusan mengutip (mengambil) semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharamkan (sesuatu masalah) dan yang menghalalkannya, atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan taklif (beban)”.
Senada dengan pendapat Imam Nawawi ini disampaikan juga oleh Al-Hafidz Ibn Al-Shalah dalam kitabnya Adab Al-Mufty wa Al-Mustafty I:46.

3. ‘Allamah Al-Syathiby dalam Al-Muwafaqat-nya mengatakan: “...maka sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan atau rukhsah dari para ulama madzhab tanpa bersandar pada dalil syara’. Menurut Ibn Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu merupakan kefasikan (kedurhakaan) yang tidak halal (untuk dilakukan). Maksud Al-Syatiby kata-kata tanpa bersandar pada dalil syara’ ialah tanpa dalil syara’ yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan atau dalil yang muktabar. Jika tidak begitu maksudnya, maka ada orang yang meninggalkan sholat wajib dengan berdalil pada firman Allah swt. Al-Ma’un: 5; ‘Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat’.

4. Al-Hafidh Al-Dzhaby dalam Sayr A’lam Al-Nubala’ mengatakan: “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama) berbagai madzhab dan (mencari-cari) kekeliruan para mujtahid, maka tipislah agamanya”. Hal seperti ini juga dikatakan oleh Al-Awza’iy dan yang lainnya: “Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah dalam hal nikah mut’ah, orang-orang Kufah dalam hal nabidz (anggur), orang-orang Medinah dalam hal ghina (lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam hal ‘Ishmah (keterpeliharaan dari dosa) para khalifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada dirinya)”. Demikianlah pula orang-orang yang mengambil pendapat ulama yang mencari-cari siasat untuk menghalalkan jual-beli yang berbau riba atau yang mempunyai keleluasaan dalam masalah thalaq serta nikah tahlil dan lain sebagainya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya telah mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari ikatan taklif (beban).

5. Imam Al-Hafidh Taqiyyduddin Al-Subky dalam Al-Fatawa nya I: 147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan dari berbagai madzhab. Dia mengatakan: “Mereka menikmati (dirinya), karena dalam kondisi seperti itu mereka mengikuti hawa nafsunya dan bukan mengikuti agamanya”.

Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang suka memilih pendapat yang paling cocok buat dirinya dan mengikuti dari satu madzhab yang sesuai dengan pilihannya. Sebagian orang pada zaman sekarang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan pada hadits dari Siti ‘Aisyah ra yang menyatakan: “Setiap kali Rasulallah saw. dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah diantara keduanya”.
Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali. Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Al-Fath Al-Bari VI: 575 dalam syarh-nya mengatakan: Dua perkara (dua pilihan pada hadits tersebut) yang berhubungan dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam hadits ‘Aisyah): ‘Jika bukan perbuatan yang (mengandung) dosa’.
Jika yang dimaksud (dua pilihan) adalah urusan agama, maka tidak ada dosanya. Allah swt. mewahyukan kepada Rasul-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh mu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah, atau mengambil yang paling mudah dan ringan saja.
Rasulallah saw. pernah bertamu pada seseorang. Lalu seseorang ini berkata kepada Rasulallah saw.: Apakah aku harus menyediakan cuka (makanan asam) atau daging? Dalam keadaan seperti itulah (urusan duniawi) Rasulallah saw. akan memilih dan mengatakan; Berikanlah kepadaku yang paling mudah bagimu.

Dengan demikian, jelaslah bahwa mengikuti pendapat yang membolehkan untuk memilih-milih pendapat yang paling ringan dan mudah berdasarkan hadits Siti ‘Aisyah itu tidak menggunakan dalil yang tepat. Atau, mungkin dia berkeinginan untuk memasukkan kerancuan dan keraguan kepada hati orang-orang awam (biasa), bahwa apa yang dibawa dan dilakukannya itu boleh menjadi dalil bagi apa saya yang dia kehendaki. Kita muslimin tidak akan mengingkari samahat (keluwesan, kemudahan dan kelapangan) dalam syari’at Islam. Yang dimaksud samahat dalam syari’at Islam ini ialah keringanan yang diberikan oleh Allah swt., umpamanya:
a) Orang yang sakit diperbolehkan melakukan sholat dengan duduk, sambil berbaring, atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya.
b). Orang yang akan bersuci baik untuk menghilangkan hadats atau menghilangkan najis tetapi dia tidak mendapatkan air atau takut berbahaya jika menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk menggunakan tanah (tayammum) sebagai ganti air.

Dengan demikian, hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim dengan dalih adanya kemudahan, keluwesan dan keringanan dalam Islam ini, lantas boleh mencari-cari yang paling mudah atau paling ringan menurut pikirannya dari sekian banyak pendapat ulama, bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun. Ada sebagian orang yang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan sebuah hadits: Ikhtilaf ummatku adalah rahmat. Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafidh Al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghimari dalam kitabnya Al-Mughayyir Al-Ahadits Al-Maudhu’ah . Dia menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (dibuat-buat). Juga hadits yang lain: Sesungguhnya Allah menyukai untuk diterima rukhsah atau keringanan-Nya sebagaimana Dia suka dipenuhi ketetapan (yang) wajib-Nya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy dan lain-lainnya. Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada alasan untuk menggunakan hadits-hadits itu sebagai dalil bolehnya mencari-cari keringanan atau kekeliruan para ulama. Walaupun umpamanya hadits-hadits itu shohih, kita tidak bisa mensamakan maksud rukhsah/samahat Allah swt. tentang ber- tayammum bila tidak ada air atau ketika tidak boleh menggunakan air karena akan menimbulkan bahaya. Juga tidak sama maksudnya dengan bolehnya berbuka puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian, (dan tidak sama maksudnya dengan bolehnya atau rukhsah/samahat tentang qashar/penyingkatan sholat wajib bila dalam perjalanan,-- pen.) .

Hal-hal seperti itu berbeda dengan mencari-cari dan mengikuti segala keringanan dan perkataan atau pendapat dari para ulama. Boleh jadi para ulama itu benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah dalam masalah yang lain. Sudah tentu kita harus menghargai pendapat para ulama yang dalam ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya dan tidak terlalu fanatik buta, meskipun pendapat para ulama ini bertentangan dengan pendapat kita. Secara lahiriah, para mujtahid yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid sesungguhnya ingin mencari keridhaan Allah swt. dan berkeinginan untuk mendapatkan yang hak atau benar, asalkan pendapat- nya itu jauh dari hal-hal yang syadz atau aneh atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) kebanyakan ulama. Sedangkan orang-orang yang melakukan ijtihad mengenai hal-hal yang semestinya tidak perlu di-ijtihad, atau hal-hal yang bertentangan dengan ijma’ ulama, tidak sejalan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus kita jauhi. Apalagi orang-orang yang ijtihad ini menganggap dirinya seorang mujtahid yang jika ia salah tetap mendapat satu pahala dan jika ia benar mendapat dua pahala, seraya mengaku atau menyamakan dirinya sebagai kelompok ulama besar. Orang-orang ini kadang-kadang memperlihatkan keberaniannya/tanggung jawabnya dalam mengambil kesimpulan hukum Islam. Mereka ini sering juga mengaku dirinya sebagai seorang reformer (pembaharu) atau juga sebagai seorang innovator (seorang ahli pikir), padahal sesungguhnya dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa.

Maka bila kita berhadapan dengan orang-orang semacam ini, tidak perlu dipertimbangkan lagi dia sudah pasti berdosa karena telah sesat bahkan menyesatkan orang lain. Segala perkataannya harus ditinggalkan sejauh-jauhnya. Hanya milik Allah-lah segala urusan. Demikianlah tentang haramnya orang yang sering mencari-cari keringanan untuk suatu masalah hukum Islam. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. amin

Dialog Syeikh Sa'id Ramdhan degan anti madzhab

Kutipan dialog antara Syeikh Sa’id Ramdhan dengan kelompok anti madzhab yang terdiri dari seorang pemuda dan kawan-kawan nya yang sengaja datang mengunjungi Syeikh Sa’id Ramdhan. kita hanya akan mengutip beberapa yang penting2 saja untuk diketahui oleh si pembaca diantaranya adalah:

Syeikh Sa’id berkata: Bagaimana cara anda memahami hukum Allah? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid?

Anti madzhab menjawab: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.

Syeikh Sa’id: Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun? (Rupanya Syeikh Sa’id ingin mengetahui apakah pemuda ini langsung bisa menjawab atau Syeikh ini ingin tahu bagaimana cara pemuda itu mencari dalil-dalilnya, karena dirumah Syeikh ini ada perpustakaan, pen.).

Anti madzhab: Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati?

Syeikh Sa’id: Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.

Anti madzhab: Wahai Tuan! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain! (Rupanya pemuda ini kerepotan menjawab dan mencari dalil-dalilnya atas pertanyaan Syeikh ini walaupun didepan mereka ada perpustakaan., pen.)

Syeikh Sa’id: Baiklah..! Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits?

Anti madzhab: Ya benar!

Syeikh Sa’id: Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.

Anti madzhab: Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam: Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.

Syeik Sa’id: Apa kewajiban Mukallid?

Anti madzhab: Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.

Syeikh Sa’id: Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain?

Anti madzhab: Ya, hal itu hukumnya haram!

Syeikh Sa’id: Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya?

Anti madzhab: Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.

Syeik Sa’id: Dari tujuh macam qira’at, qira’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an?

Anti madzhab: Qira’at imam Hafash .

Syeik Sa’id: Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda?

Anti madzhab: Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja. (golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya! pen.) .

Syeikh Sa’id: Mengapa anda selalu menetapi qira’at imam Hafash?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an!

Anti madzhab: Karena saya belum mempelajari qira’at-qira’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash!

Syeik Sa’id: Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain!

Anti madzhab: Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.

Syeikh Sa’id: Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya?

Anti madzhab: Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa! Syeikh Sa’id: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebutkan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain!

Anti madzhab: Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi: “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.

Syeikh Sa’id: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan? (Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.) Dr. Sa’id melanjutkan: Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.

Anti madzhab: Bagaimana bisa demikian? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain!

Syeikh Sa’id: Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yang menyatakan demikian! (Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharamkan berpindah-pindah madzhab.).

Selanjutnya Syeikh Sa’id mengatakan: Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela. Demikianlah sebagian isi dialog antara Syeik Sa’id Ramdhan al-Buuti dengan anti madzhab. Setelah itu mereka melanjutkan dialog tentang masalah yang lain.

KEWAJIBAN MENGIKUTI [TAQLID] PENDAPAT ULAMA MAZHAB [MUJTAHID]

Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra]). Ulama golongan ini berkata: “Sesungguhnya ilmu figih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.

Ulama yang melarang taqlid ini telah membikin heboh dunia Islam karena beliau telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti salah satu dari empat madzhab. Nama ulama yang melarang ini adalah Syekh Khajandi yang menulis dalam kitabnya Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Madzhabin Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. Beliau ini juga mengatakan bahwa orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat. Mereka ini telah memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt. dalam surat At-Taubah: 31: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surat Al-Kahfi: 103-104: “Katakanlah (wahai Muhammad); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya.” Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya sangat keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang oleh ulama-ulama pakar dunia. Syekh ini sama halnya dengan golongan wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka. Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi yang sangat berbahaya dan membingungkan ummat Islam yang di kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh ini yang mengarahkan sesat, bodoh perilaku orang yang bertaqlid terhadap salah satu dari imam empat itu, walaupn yang taqlid itu tergolong orang awam.

Setiap dalil yang di tulis oleh Syeikh Khajandi akan kami tulis jawabannya langsung menurut Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuti dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’ .

l. Syekh Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut ini:
Pertama; hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu!
Kedua; hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata: ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
Ketiga; hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting. Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh ini menegas- kan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidaklah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk mengikutinya.

Jawaban: Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti mengomentari ucapan Syeikh Khayandi di atas sebagai berikut: “Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah saw kepada orang arab badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya tidaklah kitab-kitab shohih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan hadits yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama beberapa hari. Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya. Maka diutuslah Khalid bin Walid ke Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang-orang yang sekelas (sederajad ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat. (Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah saw. Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih sedikit. Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat- istiadat yang tidak ada sebelumnya. Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini. Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel) mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh Khajandi itu bisa mengatakan; ‘Adapun madzhab-madzhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat, ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘. Ucapan Syeikh ini sama persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert dimana dengan sombong dan kasar mengatakan; ‘Figih Islam yang ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang istimerwa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah’. Rasulallah saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi kesepakat- an bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulallah saw pun menyetujui kesepakatan mereka itu. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa ketika Nabi saw mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau saw.bersabda: ‘Apa yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah’. Rasulallah saw. kembali bertanya; ‘Jika tidak ada dalam Kitabullah..?’. Mu’az menjawab:’Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah’. Rasulallah bertanya lagi: ‘Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan saya tidak akan melebihkannya’. Mu’az berkata:’Rasulallahpun akhirnya menepuk-nepuk dada saya dan bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhai olehNya’. Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat. Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa madzhab-madzhab itu adalah ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikutinya? Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi yang hanya berargumentasi dengan beberapa dalil yang sudah kami kemukakan itu. Hukum Islam itu meluas dan mencakup hal-hal yang berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung melalui dilalah dhahirnya yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath. Mana saja diantara dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami hukum, maka itulah hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah tetap pada hukum tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun yang datang meminta fatwa kepadanya. Kalau benar bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulallah saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?

2. Syeikh Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah saw.

Jawaban: Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan tadi sebagai berikut: “Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw melalui haditsnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an dan hadits itu sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-qur’an dan hadits yang termasuk dalil-dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir dari keqath’iyyan (kepastian) dalil tersebut. Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan di atas maka pemahaman mereka yang termasuk mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam. Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..? Apakah jika pemahaman terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal diketika hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak akan pernah terjadi. Syeikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas memiliki persangkaan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan madzhab Rasulallah saw, dan kemunculannya hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah tersebut. Sebuah persangkaan yang sangat keterlaluan…!

3. Syeikh Khajandi berkata; Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran!

Jawaban: Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi berkata: Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur. Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan, maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari ucapan Syeikh yang gegabah. Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian masalah tersebut dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama kita.

Jadi walaupun masalah taqlid kepada salah satu madzhab diantara madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur nanti, bukanlah berarti dia harus disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan orang awam bertaqlid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis sebagaimana nanti akan diuraikan secara lebih rinci.
Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh ulama dan kaum muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur mereka.

Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa yang menjadi sasarannya hanya madzhab yang empat…? Apa bedanya madzhab imam yang empat ini dengan madzhab Zaid bin Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin ‘Abbas dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam? Apa perbedaan madzhab yang empat ini dengan madzhab ahlu al-ra’yi di Irak dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz dan pelopor berdiri- nya dua madzhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in yang terbaik? Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan madzhab-madzhab yang tersebut di atas adalah juga termasuk para mukallid…? Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan, bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasulallah saw....? Ataukah Syeikh ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari agama dan memecah-belah madzhab Rasulallah hanyalah madzhab yang empat itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan dapat berdampingan bersama madzhab Rasulallah saw…..? Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan terakhir di atas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling utamanya adalah satu kedustaan.

Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad
a. Firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya’: 7 yang artinya: “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”. Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaqlid kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah swt. dalam surat At-Taubah: 122 yang artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang). Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”. Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an jilid 8/293-294 diterangkan bahwa Allah swt. melarang manusia pergi berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah swt.
b. Ijma’ ulama bahwa para sahabat Nabi saw sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa.
Ibnu Khaldun berkata: ‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua: Ada yang termasuk mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang bertaqlid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti ketika menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti pasti menjelaskan dalil-dalil hukum itu. Rasulallah saw pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut, baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalahan yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, maka terhadap perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.
c. Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385 pada bab Taqlid dan Istifta’ bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaqlid, berkata sebagai berikut: “Kami berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa”.
d. Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata: ‘Ijma’ dimaksud adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in sebelum munculnya orang-orang yang menyimpang yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat, mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan para sahabat nabi yang bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.
e. Pada zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu
Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits. Diantara tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari.
Adapun tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi; ‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari. Antara tokoh-tokoh kedua madzhab di atas ini sering juga terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah bertaqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga perdebatan yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.
f. Syekh Abdullah Darras berkata: “Dalil logika untuk masalah ini adalah bahwa orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan caranya bersikap: Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taqlid. Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan hukum”. Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil,
maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur'an sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang yang mujtahid “.
Dalam hal ini As-Syatibi berkata: “Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam adalah seperti dalil-dalil syar’i bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi orang-orang awam yang taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena mereka tidak mampu mengambil pengertian dari Al Quran. Maka masalah meneliti dalil dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman: ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’ (Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.

Syekh Khajandi (dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat) telah menjadikan ucapan Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah sebagai dalil yang betul-betul telah mem- perkuat pendapatnya dan beliaupun tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan dari ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah demikian adanya. Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut di atas dan sanggahan/jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti terhadap ucapan Syeikh Khajandi.

1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’ seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukimin “. Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.

Jawaban: Terhadap kutipan tersebut, Dr. Sa’id Ramdhan mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata: “Ketahuilah! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “ Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.

2) Syeikh Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban: Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i. Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qawaa’idul Ahkam 11/135: “Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang taqlid kepada seorang imam (dalam satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian? Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni:
-a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan kebatalannya.
-b) Jika dua madzhab itu berdekatan (keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh pula berpindah-pindah. Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”. Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Qur’an maupun Hadits. Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi

3) Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qayyim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban: Syeikh Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul Qayyim akan berpendapat seperti yang tersebut di atas. Karena beliau (Ibnul Qayyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali.
Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168:Artinya: (“Rincian pendapat tentang taqlid dan pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni taqlid yang haram terdiri dari tiga macam: a). Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taqlid kepada nenek moyang. b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak. c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang ditaqlid”.
Kemudian Ibnul Qayyim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taqlid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut). Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qayyim yang panjang lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah berkisar pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul Qayyim mengatakan sebagai berikut: “Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela orang-orang kafir yang taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl: 43) yakni para ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka). Ayat An-Nahl: 43 ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama. maksud pernyataan Ibnul Qayyim di atas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini adalah taqlid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah namun sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia taqlid kepada orang yang lebih alim darinya, maka taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.

Pembelaan Nashiruddin al-Albani (wahabi) pada Syeikh Khajandi Pendapat Syekh Khajandi tersebut di atas mengenai pengharamannya untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang tersebut di atas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani dan dibela mati-matian, suatu hal yang meng- herankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain karena Syeikh Khajandi ini sepaham dan satu kelompok golongan dengannya dan al-Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.

I. Al-Albani mengatakan: “Sanggahan dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi itu tidak benar. Dia (Albani) pembela Syeikh Khajandi ini mengatakan juga bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab tertentu”

Jawaban: Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qayyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21: “Agama, figh dan ilmu tersebar ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Bahkan dalam sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama. Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi madzhab kedua imam tersebut.

II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini:
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”. Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ di atas adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud, Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “. Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama”. Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.

Jawaban: Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan takwil agar tetap dikesankan berada di atas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya bahwasanya seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah wafat. Dan karena dia seorang muslim maka haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhan (bersangka baik) kepadanya. Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhan kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albaniakan dibantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan!!. Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arabi seper empat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan mereka (para sufi)! Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II c di atas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap membantahnya. Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan, kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini mengatakan bahwa Ibnul Qayyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234 telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu.

Ibnul Qayyim berkata:  “(Faidah ke 48): Apabila seseorang memiliki dua kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil). Bila makna yang dikandung oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomendasi lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang), maka dia tidaklah boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadits itu “.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata:  “Semua yang dibicarakan di atas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah swt.: ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’ (An-Nahl:43) “.

III. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar. Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang di atas namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini. Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan ini [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata: “Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah: ‘Ketahuilah bahwa kaum muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu madzhab tertentu.

Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Quutul Qulub mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas mujtahidin tidaklah mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw.. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “. Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi!!. Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazmin: “Ibnu Hazmin berkata: ‘ Taqlid itu haram dan seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”. Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban: Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin bukanlah seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini: “Ketahuilah! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri. “ Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata: “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan: ‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalil mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu masalah”. Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalam Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah saw. dan mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah.

Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham mereka. Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu dicela oleh golongan ini. Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya mereka tidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah!

IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut: “Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara; Pertama, ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.

Jawaban: Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’. Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 3 halaman 253 guna melihat bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya. Berikut keterangannya: “(Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah memperhatikan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya “.
Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.

Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar: “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagai- mana anda sendiri telah melihatnya?
Bagaimana seorang muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid?

ALLAHUMMA IHDINA ILA SHIRATHAL MUSTAQIM

Siapa Sebenarnya Syekh Muhammad Nashirudin al- Albani

Pada abad ini diantara ulama yang dibanggakan dan dijuluki oleh sebagian golongan Wahabi/Salafi sebagai Imam Muhadditsin (Imam para ahli hadits) yaitu Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani karena menurut mereka ilmunya tentang hadits bagaikan samudera tanpa bertepi. Beliau lahir dikota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M. Begitu juga Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz di Saudi Arabia. Ada juga dari golongan Salafi ini berkata bahwa al-Albani sederajad dengan Imam Bukhori pada zamannya. Sehingga semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh beliau ini, sudah pasti lebih mendekati kebenaran.

Buat ulama-ulama madzhab sunnah selain madzhab Wahabi, julukan dan pujian golongan Wahabi/Salafi terhadap ulama mereka Al-Albani semacam itu tidak ada masalahnya. Hanya sekarang yang dipermasalahkan adalah penemuan ulama-ulama ahli hadits dari berbagai madzhab diantaranya dari Jordania yang bernama Hasan Ali Assegaf tentang banyaknya kontradiksi dari hadits-hadits dan catatan-catatan yang dikemukakan oleh al-Albani ini jumlahnya lebih dari 1200 hadits. Judul bukunya yang mengeritik Al-Albani ialah: Tanaqudlaat Albany al-Waadlihah fiima waqo’a fi tashhihi al-Ahaadiits wa tadl’iifiha min akhtho’ wa gholath (Kontradiksi Al-Albani yang nyata terhadap penshahihan hadits-hadits dan pendhaifannya yang salah dan keliru).

Kami mengetahui setiap manusia tidak luput dari kesalahan walaupun para imam atau ulama pakar kecuali Rasulallah saw yang maksum. Tujuan kami mengutip kesalahan-kesalahan Syeikh Al-Albani ini bukan untuk memecah belah antara muslimin tapi tidak lain adalah untuk lebih meyakinkan para pembaca bahwa Syeikh ini sendiri masih banyak kesalahan dan belum meyakinkan serta masih belum banyak mengetahui mengenai hadits karena masih banyak kontradiksi yang beliau kutip didalam buku-bukunya. Dengan demikian hadits atau riwayat yang dilemahkan, dipalsukan dan sebagainya oleh Syeikh ini serta pengikut-pengikutnya tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, harus diteliti dan diperiksa lagi oleh ulama madzhab lainnya.

Contoh-contoh kesalahan Syeikh Albani ini yaitu umpamanya disatu halaman atau bukunya mengatakan hadits .Lemah tapi dihalaman atau dibuku lainnya mengatakan hadits (yang sama itu) ....Shohih atau Hasan. Begitu juga beliau disatu buku atau halaman mengatakan bahwa perawi.... adalah tidak Bisa Dipercaya banyak membuat kesalahan dan sebagainya, tapi dibuku atau halaman lainnya beliau mengatakan bahwa perawi (yang sama ini) Dapat Dipercaya dan Baik. Begitu juga beliau disatu halaman atau bukunya memuji-muji perawi... atau ulama... tapi dibuku atau halaman lainnya beliau ini mencela perawi atau ulama (yang sama tersebut).

Juga diantara ulama-ulama pengeritik Al-Albani ini ada yang berkata; Kontradiksi tentang hadits Nabi saw itu atau perubahan pendapat terdapat juga pada empat ulama pakar yang terkenal (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hanbali) atau ulama lainnya! Perubahan pendapat empat ulama ini biasanya yang berkaitan dengan pendapat atau ijtihadnya sendiri. Misalnya; Disalah satu kitab mereka membolehkan suatu masalah sedangkan pada kitab lainnya memakruhkan atau mengharamkan masalah ini atau sebaliknya. Perubahan pendapat ulama ini kebanyakan tidak ada sangkut pautnya dengan hadits yang mereka kemukakan sebelum dan sesudahnya, tapi kebanyakan yang bersangkutan dengan pendapat atau ijtihadnya sendiri waktu mengartikan(menafsirkan) hadits yang bersangkutan tersebut. Dan seandainya diketemukan adanya kontradiksi mengenai hadits yang disebutkan ulama ini pada kitabnya yang satu dengan kitabnya yang lain, maka kontradiksi ini tidak akan kita dapati melebihi dari 10 hadits. Jadi bukan ratusan yang diketemukan!

Tapi yang lebih aneh lagi ulama golongan Salafi (Wahabi) tetap mempunyai keyakinan tidak ada kontradiksi atau kesalahan dalam hadits yang dikemukakan oleh al-AlBani tersebut tapi lebih merupakan ralat, koreksi atau rujukan. Sebagaimana alasan yang mereka ungkapkan sebagai berikut; umpama al-Albani menetapkan dalam kitabnya suatu hadits kemudian dalam kitab beliau lainnya menyalahi dengan kitab yang pertama ini bisa dikatakan bahwa dia meralat atau merujuk hal tersebut! Alasan ini baik oleh ulama maupun awam (bukan ulama) tidak bisa diterima baik secara aqli (akal) maupun naqli (menurut nash).

Seorang yang dijuluki ulama pakar oleh sekte Wahabi dan sebagai Imam Muhadditsin karena ilmu haditsnya seperti samudra yang tidak bertepian, seharusnya sebelum menulis satu hadits, beliau harus tahu dan meneliti lebih dalam apakah hadits yang akan ditulis tersebut shohih atau lemah, terputus dan sebagai- nya. Sehingga tidak memerlukan ralatan yang begitu banyak lagi pada kitabnya yang lain. Apalagi ralatan tersebut yang diketemukan para ulama bukan puluhan tapi ratusan!! Sebenarnya yang bisa dianggap sebagai ralatan yaitu bila sipenulis menyatakan dibukunya sebagai berikut; hadits ..…yang saya sebutkan pada kitab .… sebenarnya bukan sebagai hadits .....(dhoif, maudhu’ dan sebagainya) tapi sebagai hadits...... (shohih dan sebagainya). Dalam kata-kata semacam ini jelas si penulis telah mengakui kesalahannya serta meralat pada kitabnya yang lain. Selama hal tersebut tidak dilakukan maka ini berarti bukan ralatan atau rujukan tapi kesalahan dan kekurang telitian si penulis.

Golongan Salafi/Wahabi ini bukan hanya tidak mau menerima keritikan ulama-ulama yang tidak sependapat dengan keyakinan ulama mereka, malah justru sebaliknya mengecam pribadi ulama-ulama yang mengeritik ini sebagai orang yang bodoh, golongan zindik, tidak mengerti bahasa Arab, dan lain sebagainya. Mereka juga menulis hadits-hadits Nabi saw dan wejangan ulama-ulamanya untuk menjawab kritikan ini tetapi sebagian isinya tidak ada sangkut pautnya dengan kritikan yang diajukan oleh para ulama madzhab, selain madzhab Salafi (Wahabi) ini!! Alangkah baiknya kalau golongan Salafi ini tidak mencela siapa/bagaimana pribadi ulama pengeritik itu, tapi mereka langsung membahas atau menjawab satu persatu dengan dalil yang aqli dan naqli masalah yang dikritik tersebut. Sehingga bila jawabannya itu benar maka sudah pasti ulama-ulama pengeritik ini dan para pembaca akan menerima jawaban golongan Wahabi dengan baik. Ini tidak lain karena ke egoisan dan kefanatikan pada ulamanya sendiri sehingga mereka tidak mau terima semua keritikan-keritikan tersebut, dan mereka berusaha dengan jalan apapun untuk membenarkan riwayat-riwayat atau nash baik yang dikutip oleh al-Albani maupun ulama mereka lainnya. Sayang sekali golongan Salafi ini merasa dirinya yang paling pandai memahami ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw, paling suci, dan merasa satu-satunya golongan yang memurnikan agama Islam dan sebagainya. Dengan demikian mudah mensesatkan, mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sepaham dengan pendapatnya.

BAHAYA MEN-TRANSLIT ALQURAN & HADITS

Golongan Salafi/Wahabi percaya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya tekst) atau literal dan tidak ada arti majazi(takwil) atau kiasan didalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami hal tersebut di atas.

Dengan adanya keyakinan seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual atau literal dan jauh dari makna Majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah swt. (umpama Dia swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhluk-Nya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah swt duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) di atasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah diantara ummat Islam dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari Madzhab yang lain. Salafisme ini hanya berjalan atas tiga komposisi yaitu; Syirik, Bid’ah dan Haram. Mengartikan ayat-ayat Ilahi dan Sunnah secara tekstual, akan secara otomatis menolak atau menyembunyikan bagian dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang berlawanan dengan keyakinan mereka. Mereka juga kadang- kala kerepotan dan kebingungan untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadits Rasulallah saw. yang (kelihatannya) berlawanan dan mencari jalan sedapat mungkin agar yang berlawanan ini sesuai dengan keyakinannya. Umpama- nya, mereka mengatakan kita harus langsung minta pertolongan dan pengampunan pada Allah swt. tidak boleh melalui hamba-Nya, dan jika seseorang meminta pertolongan dari Rasulallah saw. atau hamba Allah yang beriman maka orang itu telah Musyrik , dengan berdalil pada Al-Qur’an dan hadits yang tekts atau kalimatnya seperti yang mereka katakan. Kemudian bila mereka membaca ayat Al-Qur’an dan hadits lainnya yang mengatakan Malaikat, para Rasul dan orang-orang yang beriman bisa sebagai penolong dan peminta ampun pada Allah swt., mereka kebingungan lagi untuk menafsirkannya karena ayat ini tidak sefaham dengan akidah mereka yang melarang orang mohon selain kepada Allah swt. Masih banyak lagi hal-hal serupa yang mereka larang berdasarkan pemahaman ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. secara tekstual, sehingga mereka sering berlawanan dengan pendapatnya sendiri. Jadi di lain tempat mereka mengatakan orang harus langsung minta pada Allah swt. serta tidak boleh melalui hamba-Nya tapi disisi lain mereka mengatakan boleh memohon melalui hamba Allah swt. selama mereka masih hidup mampu untuk menolongnya. Jadi ini tidak lain adalah taktik golongan ini sendiri karena ini adalah cara paling aman bagi mereka untuk menghindari pertentangan yang ada pada akidah atau keyakinan mereka.

Diantara contoh-contoh keyakinan orang Salafi yang sering berlawanan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw.:
Allah swt berfirman; bahwa Dia yang mengambil ruh pada saat kematian, seperti yang tercantum didalam surat Az-Zumaar (39):42; ‘Allah swt. memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya…sampai akhir ayat’.
Tapi dalam surat An- Nisaa (4):97; ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri…sampai akhir ayat’. Apakah kalau ada yang mengatakan bahwa malaikatlah yang mencabut nyawa itu syirik? Ataukah kita harus percaya bahwa ada kontradiksi dalam al-Qur’an? Tentu saja tidak, bukan Syirik ataupun kontradiksi, tapi maksud- nya bahwa manusia tidak boleh lengah atau lupa bahwa sebab utama yang menentukan nyawa manusia adalah Allah swt. Sedangkan ayat yang mengatakan bahwa Allah swt. yang mencabut nyawa adalah secara majazi atau kiasan dan malaikat termasuk didalamnya yang mencabut nyawa dengan seizin-Nya.

Golongan Salafi/Wahabi mengatakan kita harus minta tolong langsung pada Allah swt. tidak boleh melalui hamba-Nya yang beriman dengan berdalil firman Allah swt. diantaranya adalah; Dalam surat Al-Fatihah:5: ‘Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan’. Dengan berdalil dengan ayat ini mereka mengatakan; Apakah kita akan menyeru selain dari pada Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak pula mendatangkan madharat atau bahaya? Dengan kata lain mereka melarang kita minta tolong kecuali pada Allah swt. Padahal yang dimaksud ayat ini bahwa manusia harus mengetahui dan tidak boleh lengah sebab utama yang mendatangkan pertolongan adalah dari Allah swt. jadi bukan berarti kita tidak boleh minta tolong pada hamba-Nya. Karena kenyataannya terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulallah saw. yang secara jelas menunjukan bahwa pertolongan atau manfaat bisa dicari dari Rasulallah dan orang mukminin, juga dari mereka yang dikenal sebagai tanda-tanda Allah. Mari kita rujuk ayat-ayat yang berkaitan dengan keterangan di atas hanya Allah-lah sebagai pelindung.  Didalam surat An-Nisaa (4):123: ‘Dialah satu-satunya sebagai pelindung. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah’.  Dan surat An-Nisaa (4): 45: ‘Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu)’.  Dalam surat Al-Ahzab (33): 17; ‘Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah’.  Juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmudzi dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulallah saw. berkata:,‘Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimu mereka tidak akan dapat mencelakakanmu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu".

Golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya mengartikan ayat-ayat dan hadits di atas ini secara tekstual juga sehingga sampai-sampai mensyirikkan orang yang minta tolong atau pelindung pada Rasulallah saw. atau hamba-hamba Allah yang sholeh. Padahal maksud dari ayat dan hadits ini adalah manusia tidak boleh lupa bahwa sebab utama yang melindungi dan menolong manusia adalah Allah swt. Jadi bukan berarti manusia haram untuk minta pertolongan atau pelindungan dari hamba-Nya yang beriman dan meminta syafa’at pada hamba Allah yang diberi izin oleh-Nya.

Bila kita mempunyai akidah seperti golongan ini dan mengartikan makna ayat ilahi dan hadits secara tekstual, maka akan kerepotan dan kebingungan mengartikan ayat-ayat ilahi berikut ini dan hadits lainnya yang (kelihatannya) berlawanan dengan ayat dan hadits di atas.
Mari kita tela'ah ayat-ayat ilahi yang kelihatan berlawanan dengan ayat-ayat di atas tadi mengatakan bukan hanya Allah swt saja yang bisa menolong hamba-Nya sebagai berikut:
 Dalam surat Al-Maidah (5):55: “Sesungguhnya penolong kamu (Waliu-kum) adalah Allah, dan Rasul-Nya dan orang orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk/rukuk (kepada Allah).”
 Dalam surat At-Tahrim (66): 4: “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan), dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitupula) Jibril dan orang orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”..
 Dalam surat Al-Maidah (5): 56: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengkikut (agama) Allah, itulah yang pasti menang”.
 Surat An-Nisaa (4): 75: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang lalim penduduknya dan berilah kami pelindung (waliyan) dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong (nasira) dari sisi Engkau”.

Jadi jelas selain Allah swt. sebagai Pelindung dan Penolong ada hamba-hamba-Nya dengan seizin-Nya juga sebagai Penolong dan Pelindung. Kalau kita baca ayat An- Nisaa: 75 ini manakala Allah sudah cukup sebagai Pelindung (waliyan) dan Penolong (Nasira), kemudian mengapa orang minta kepada Allah supaya orang lain (yang disisi-Nya) menjadi pelindungnya dan penolongnya?

Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang juga bisa sebagai Waliyyan (Pelindung) kita dan Nashir (Penolong) bersama-sama dengan Allah?
Apakah empat ayat terakhir ini berarti Allah bukan satu-satunya wali (penolong) karena disamping Dia ada wali-wali yang lainnya?
Dan apakah ini juga berarti bahwa tidak cukup hanya Dia (Allah swt) sebagai wali?
Jika kita tetap memakai pengertian Syirik menuruti pendapat golongan Wahabi/Salafi ini maka kita secara otomatis dengan membaca ayat-ayatNya telah membuat Allah sendiri MusyrikNa‘udzubillahdan begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Qur’an.
 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim , Abu Dawud dan lainnya bahwa Rasulallah saw. bersabda: ِ '…Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya’.
Jadi maksud ayat ilahi yang mengatakan hanya Allah swt sebagai Penolong atau Pelindung dan hadits di atas ini ialah: Bila kita minta pertolongan dan perlindungan pada Malaikat, Rasulallah saw dan hamba-Nya kita tidak boleh lupa dan lengah bahwa sebab utama yang mendatangkan pertolongan dan pelindungan adalah Allah swt.

Jadi akidahnya adalah: Pada saat Allah berkata bahwa hanya Dialah satu-satunya dan cukuplah hanya Dia sebagai Wali (Penolong/Penjaga) itu maka Malaikat, Rasulallah saw dan orang orang beriman atas izin-Nya termasuk didalamnya.
Kita bisa lihat taktik golongan Salafi, hanya akan menukil ayat-ayat yang mana Allah menyatakan bahwa hanya Dialah sebagai Wali (Penolong). Dengan hanya merujuk ayat-ayat ini dan mengenyampingkan ayat-ayat lainnya [yang kelihatannya berlawanan] dengan ayat itu orang Salafi mencoba menciptakan kesan bahwa mempercayai Rasulallah saw. sebagai Wali (Penolong) adalah syirik. Sayangnya banyak saudara-saudara kita yang kurang begitu mendalam pemahamannya tentang Al-Qur’an mudah terpengaruh oleh taktik orang Salafi seperti ini.

Kata-kata Wali dalam al-Qur’an sebanyak tigapuluh empat kali, dalam pengertian bahwa hanya Dia satu-satunya Pelindung, atau jangan ambil Pelindung selain Dia, atau cukuplah Dia sebagai Pelindung. Dan dalam empat ayat didalam al-Qur’an Allah saw telah berkata bahwa Rasulallah, orang-orang beriman dan malaikat juga sebagai wali (penolong) kita.

Orang Salafi berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Allah-lah yang bisa dimohoni secara langsung. Dan telah Syirik jika berkeyakinan bahwa Allah mempunyai beberapa perantara antara Dia dan mahluk-Nya. Mereka berkata; Apakah Allah tuli Na’udzubillah sehingga Dia tidak bisa mendengar kita secara langsung? Apakah Dia buta sehingga Dia tidak bisa melihat kita? Juga Dia mengatakan bahwa tidak ada perantara disamping Allah. Diantara dalil-dalil yang mereka sebutkan adalah:
‘Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.’ (QS [50]: 16)
 ‘Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran’. (QS Al-Baqarah [2]:186)
 ...maka janganlah kamu berdo’a (menyembah) kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang’. (QS[72]: 18)
 ‘Hanya bagi Allah-lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.’ (QS Ar Ra’ad [13]:14)  “Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah. Katakanlah; ‘Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?”. Katakanlah: ‘Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya lah kamu di kembalikan’ “.(QS Az-Zumar [39]: 43-44).

Marilah sekarang kita teliti ayat-ayat ilahi lainnya yang mengatakan bahwa hamba-Nya yang beriman bisa menjadi perantara dan memberi syafa’at dengan izin-Nya.
 ‘Mereka tidak dapat memberi syafa’at, kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah’. (S.Maryam [19]: 87)
 ‘Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at, akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (baik/benar) dan mereka mengetahuinya (Muhammad) .’ (QS Az Zukhruf [43]: 86)
 “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.(QS An-Nisaa [4]: 64) Ayat An Nisaa: 64 ini, semua ahli tafsir (Mufassirin) termasuk golongan Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat ini diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan yang kemudian mereka sadar atas kesalahannya dan ingin bertaubat. Mereka meminta ampun secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana kita memahami firman Allah dalam hal ini:
 Alllah menolak untuk menerima permohonan ampun secara langsung tapi Allah memerintahkan mereka untuk terlebih dahulu mendatangi Rasulallah saw dan kemudian beliau saw memintakan ampun kepada Allah swt.
 Allah memerintahkan sahabat untuk bersikap seperti yang diperintahkan, menyertakan Rasulallah saw dalam permohonan ampun mereka, hanya setelah melakukan ini mereka akan benar-benar mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.

Dengan demikian apakah kita syirik(menyekutukan Allah) ketika berkata bahwa Rasulallah juga dapat memohonkan ampun atau memberi syafa’at atas izin-Nya.?
Apakah ada kontradiksi dalam al-Qur’an? Sudah tentu tidak. Jadi yang dimaksud adalah sebab utama pemberian ampun dan syafa’at adalah Allah swt, sedangkan Rasulallah saw dan orang yang beriman atas izin-Nya termasuk didalamnya.

Mari kita rujuk lagi ayat-ayat Ilahi mengenai pengampunan melalui hamba-Nya diantaranya:
 Surat Ali Imran (3):159:... "Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.”
 Surat An Nuur (24): 62: ....maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.
 Surat Muhammad (47): 19: ‘Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosa-mu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu’.
 Surat Al-Mumtahanah (60:12: ..., maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
 Surat Al-Munafiquun (63): 5-6; ‘Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasul memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri. Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.’

Dan masih ada ayat ilahi lainnya tapi cukup di atas ini, sebenarnya terdapat sepuluh ayat dalam al-Qur’an yang mana Allah swt. menyatakan bahwa hanya Dialah sebagai satu-satunya perantara. Dan terdapat tujuh ayat dalam al Qur’an yang menyatakan bahwa Rasulallah, orang-orang sholeh dan malaikat dapat menjadi perantara kita atas izin Allah. Masih terdapat banyak ayat al-Qur’an dan Hadits di mana mengatakan bahwa pertolongan, manfaat dan sebagainya bisa didapat (secara kiasan) dari selain Allah swt.
Dan orang tidak diperkenankan untuk mengartikan ayat-ayat tersebut secara tekstual, yang jika dilakukan akan menimbulkan kontradiksi.

Disamping ayat-ayat Ilahi di atas ini juga ada ayat ilahi yang menerangkan disamping Allah swt. pemberi karunia bahwa Rasulallah saw juga diberi izin untuk memberi karunia antara lain:
 Firman Allah swt. dalam surat Al-Hadid (57):29: ‘(Kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli Kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar’. Pada ayat Al-Hadid 29 ini golongan Salafi berusaha membuktikan dengan cara yang sama bahwa orang Kafir dan Ahli Kitab telah Syirik karena percaya hal-hal seperti ini. Oleh karenanya menurut mereka orang Ahlu Sunnah telah jatuh kedalam kemusyrikan karenanya. Sayangnya mereka tertolak sama sekali dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain diantaranya:
 Surat At Taubah (9): 59: “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)“.

Apakah kita telah syirik dengan mengatakan bahwa Rasulallah saw. dapat memberikan karunia bersama dengan Allah swt.?
 Surat At-Taubah (9):74: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi”.
Karena ayat-ayat seperti di atas ini menurut pendapat Salafi/Wahabi bertentangan langsung dengan pengertian mereka tentang Syirik, maka mereka berusaha menolak dan mengenyampingkannya. Mereka menolak menyebutkan ayat-ayat yang serupa itu karena takut pengikut mereka akan berpaling!

Beberapa contoh tentang ungkapan secara majazi atau kiasan di dalam Al-Qur’an:
 Allah menggunakan kata Karim untuk mensifati diri-Nya. Dalam surat An-Naml (27): 40; “Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
 Allah swt berfirman tentang Rasul-Nya dalam surat Al Haaqqah (69):40; ‘Sesungguhnya Al Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia’. Sesungguhnya kata Karim (Yang Mulia), ketika disifatkan kepada Allah itu maka itu merupakan arti literal atau arti sebenarnya. Dan ketika disifatkan kepada Rasulallah arti disana mengandung arti kiasan.

Apakah kita beranggapan Allah telah syirik na’udzubillah karena Allah telah memberikan sifat yang sama kepada selain-Nya.?
Allah swt menerangkan bahwa Rasulallah saw juga bersifat Rahiim/Penyayang terhadap sesama mukminin, sebagaimana firman-Nya dalam: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. (S. At-Taubah: 128) Kata-kata Rahiim adalah sifat Allah swt. yang literal atau sebenarnya, dan ketika disifatkan pada Rasul-Nya mengandung arti majazi/kiasan.

Apakah kita telah syirik dengan mengatakan bahwa Rasulallah saw.. Rahiim/Penyayang? Sudah tentu tidak! Buktinya masih banyak dalam ayat Al-Qur’an, yang tidak tercantum semua disini, bahwa Allah swt memberikan anugerah pada para Rasul-Nya dengan mensifati mereka dengan sifat-Nya diantaranya:
‘Qawi/kuat adalah sifat Allah, dan Al-Qur’an juga mengatakan bahwa Rasulallah saw juga mempunyai sifat Qawi.
’Alim adalah sifat Allah swt, yang mana Nabi Ismail as juga dikenal dengan sifat Alimnya.
Haliim adalah sifat Allah swt., Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. juga dikenal dengan sifat Halimnya. Syakur adalah sifat Allah swt., Nabi Nuh as dikenal dengan sifat Syakurnya’.

Jika orang Salafi (baca:Wahabi) tidak siap untuk menerima penggunaan ungkapan secara kiasan, maka bagaimana mereka akan menjawab mengapa Nabi Yusuf a.s menggunakan kata Tuanku (Robbi) kepada penguasa Mesir yang tercantum dalam surat Yusuf (12): 23;
padahal kata Rabbi sebutan untuk Allah swt.
ayat nya yaitu;''Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (Rabbi) telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang lalim tiada akan beruntung’. (QS.Yusuf : 23)''
Kata-kata Tuanku (Rabbi) dalam surat Yusuf ini sebagai ungkapan secara majazi atau kiasan dalam al-Qur’an, karena jelas kata Rabbi yang diucap- kan oleh Nabi Yusuf as. ditujukan kepada penguasa Mesir. Untuk lebih jelas kita bisa baca ayat sebelumnya Yusuf: 21 yang berkaitan dengan ayat 12: 23 ini, dan semua Mufasirin (ahli tafsir) mempunyai penafsiran yang sama tentang ayat ini.

Ayat ini secara tidak langsung bertentangan dengan keyakinan golongan wahabi mengenai Tauhid dan literalisme. Maulana Maududi seorang ulama dari Pakistan dalam buku tafsirnya yang terkenal Tafhimul Quran berusaha untuk merubah arti ayat tersebut supaya sesuai dengan keyakinannya dan keyakinan teman-temannya golongan Salafi. Sebagaimana yang dia tulis dalam bahasa Inggris: " Normally the "Mufassireen" (have committed a mistake and) taken from it that Yusuf (as) used the word of "rabi" (lord) for his Egyptian Master that how could he fornicate with his wife, as this would contravene his loyalty. But it is not suitable for the Prophets to commit a sin for the sake of others, instead of for the sake of Allah. And in the Qur'an too, there is no example that any of Rasool ever used the word of "lord" for anyone except Allah."
Yang artinya kurang lebih: “Pada umumnya para ahli tafsir (telah membuat kesalahan dan) yang karenanya (beranggapan) bahwa Yusuf as. menggunakan kata ‘rabbi’ sebagai sebutan pada penguasa Mesir saat itu, bagaimana mungkin beliau as.berhubungan intim (selingkuh) dengan isteri sang penguasa yang tentunya hal ini bertentangan dengan loyalitasnya. Tetapi tidaklah mungkin bagi para Rasul melakukan dosa demi orang lain dari pada demi Allah. Dan juga tidak ada contoh didalam al-Qur’an seorang Rasul yang menyebut selain Allah dengan sebutan ‘rabbi’ “.

Pernyataan beliau ini tidak konsekwen karena Al-Qur’an telah jelas dalam masalah ini dan hampir tidak satupun ahli tafsir mulai abad pertama hijriah hingga abad ini yang memahami ayat di atas seperti Maulana Maududi menyarankannya. Begitu juga dalam masalah tawassul Maulana Maududi ini lebih extreem daripada golongan Salafi , Saudi Arabia. Beliau merubah arti firman Allah swt. Surat Thaahaa dibawah ini karena bertentangan dengan keyakinannya. Ayat Thaahaa (20): 96; ‘Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku’.

Pemerintah Saudi Arabia menerbitkan Al-Qur’an dalam bahasa Urdu yang menerima/mengakui tentang barakah ini walaupun hal itu berlawanan dengan keyakinan mereka. Tapi Maulana Maududi berusaha dengan keras merubah arti ayat dan menolak untuk menerima tentang barakah dalam ayat ini. Hampir semua hadits Rasulallah saw. menginformasikan bahwa yang dimaksud dengan Rasul dalam ayat di atas adalah malaikat Jibril as. Semua ahli tafsir dari abad pertama tahun Hijriah hingga sekarang menerima yang adanya barokah dalam jejak Jibril as, tetapi Maulana Maududi menolak akan adanya barakah dalam jejak Jibril as. itu karena bertentangan dengan keyakinannya.!!

Setelah membaca keterangan-keterangan di atas insya Allah jelas bagi para pembaca bahwa Al-Qur’an dan Sunnah mempunyai arti harfiah atau literal (apa adanya tekst atau arti sebenarnya) dan arti majazi atau kiasan. Sebagian sifat yang ada pada Allah swt juga telah digunakan oleh Allah buat para nabi-Nya. Tapi ini tidak berarti bahwa para Nabi as telah menjadi pemilik sifat-sifat yang ada pada Allah swt. Mereka bukanlah pemilik, tapi hanya sekedar diberi sebagian nama sifat-Nya. Sifat-sifat pada Allah swt. ini adalah merupakan arti literal atau sebenarnya sedangkan yang disifatkan pada para Rasul-Nya mengandung arti kiasan. Begitupun juga halnya dengan syair-syair yang ditulis atau diucapkan oleh para sahabat dan ulama-ulama pakar lainnya yang ditujukan kepada Rasul saw atau pada waliyullah, orang-orang shalihin dengan menyebut kata-kata sebagai sifat Allah swt. (umpama Penolong, Pelindung dan sebagainya).

Golongan Wahabi/Salafi ini juga melontarkan kata-kata Syirik kepada penyair-penyair atau pengarang kitab-kitab: Diba’, Barzanji, Burdah dan lain-lain, yang didalam bait-bait syairnya terkandung sifat-sifat Allah swt. yang ditujukan pada Rasulallah saw. Padahal diantara sifat-sifat Allah swt (Pengampun, Penolong, Pengabul hajat dan....) yang ditujukan (oleh penyair-penyair ini) pada Rasulallah saw. tersebut adalah sebagai kiasan, sebagaimana firman Allah swt. yang menyebutkan juga sifat yang dimiliki-Nya pada para Malaikat, Nabi-Nya. Itu semua mengandung arti kiasan, sedangkan penyair dan pembaca serta pendengar syair itu tahu dan tidak lengah sebab utama yang memberi pelindungan dan penolongan dan sebagainya adalah Allah swt., sedangkan Malaikat, Rasulallah saw dan hamba-Nya yang shaleh termasuk didalamnya atas izin-Nya Dengan menafsirkan secara tekstual dan literal ayat Al-Qur’an dan Sunnah, golongan Salafi tidak bisa membedakan mana yang dimaksud arti sebenar-nya dan mana yang dimaksud arti kiasan. Mereka selalu berusaha menafsirkan ayat Al-Qur’an dan Sunnah menurut keyakinannya walaupun tafsirannya itu bertentangan dengan para ahli tafsir pakar di semua madzhab.

Dengan adanya penjelasan di atas mengenai keyakinan atau akidah golongan Salafi, maka kita bisa ambil kesimpulan bahwa Rasulallah saw dan para sahabat bukan dari golongan orang Salafi/Wahabi, ini disebabkan karena:
 Para sahabat sering menjadikan Rasulallah saw. dan hamba yang shaleh sebagai perantara antara Allah dan mereka, seperti halnya yang telah diterangkan di atas.
 Para sahabat sering memerlukan Nabi saw. untuk memohonkan pelindungan dan pengampunan dari Allah swt., walaupun Dia sendiri sanggup mendengar setiap ucapan dan panggilan para sahabat tersebut dan Dia juga lebih dekat di banding urat lehernya (para hamba-Nya).
 Rasulallah saw. tidak menolak permohonan para sahabat dan tidak berkata pada sahabat: Pergilah dan mintalah pada Allah swt. secara langsung!
Dengan adanya ayat-ayat ilahi yang telah diuraikan tadi menunjukkan kebiasaan para sahabat meminta agar Rasulallah saw berdo’a untuk mereka dan memintakan ampun pada Allah swt.. Bagaimana golongan Salafi ini sering mengatakan akan mengajarkan ajaran Islam yang paling murni dan mengikuti Salaf Shaleh, bila akidah mereka ini bertentangan dengan Rasulallah saw dan para sahabatnya?

Begitu juga dengan membaca keterangan singkat di atas kita sekarang bisa sedikit membaca perbedaan antara Akidah Salafi serta pengikutnya dengan Akidah madzhab sunnah wal jama’ah tentang cara memohon kepada Allah melalui Rasul-Nya atau melalui orang yang shaleh. Kita juga percaya perantaraan (tawassul) kepada Rasulallah saw. dan orang-orang yang beriman ini termasuk permohonan kepada Allah bukan permohonan pada hamba-Nya, dan ini merupakan cara yang baik untuk sampai kepada Allah swt. kesempatan untuk dikabulkannya do’a kita malah lebih besar . Dan faktanya telah dibuktikan oleh Al-Qur’an dan Hadits.
Contoh ini sama seperti kita berdo’a dirumah. Tapi jika do’a dilakukan ditempat-tempat sekitar Ka’bah maka barakah dari Masjidil Haram juga menyertainya dan kemungkinan untuk dikabulkannya do’a kita lebih besar.
Keyakinan orang-orang Salafi ingin menghapus kebiasaan-kebiasaan Islam ini yang di atas namakan sebagai Syirik, maka tentu saja hal ini tidak bisa diterima karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw.!
WALLAHUL MUWAFFIQ ILA AQWAMIT THARIQ